Manusia adalah spesies yang membingungkan ketika berhadapan dengan tindakan kekerasan. Percayalah, kita tidak benar-benar membencinya. Kita membencinya hanya jika ia dialamatkan kepada mereka yang memiliki kesamaan atribut dan nilai dengan kita. 

Ketika dilakukan kepada yang kita labeli berbeda, kita diam-diam memberi sorak-sorai dukungan. Kita menyebut pelaku kekerasan dari pihak kita sebagai pahlawan, memberinya medali kehormatan.

Kita spesies bengis. Anda hanya perlu membuka catatan sejarah, menonton berita kriminal, atau laporan penelitian kelautan dan hutan. Kita menggunakan kamar gas beracun, virus mematikan, bahkan pemerkosaan massal sebagai strategi militer. 

Kita mengutuk kekerasan ini. Tapi kita juga ingin menyaksikan orang tertentu disiksa dan dihukum mati. 

Wawasan Biologi terhadap Perilaku Manusia

Anehnya, kita spesies yang juga mampu menunjukkan perilaku altruistik dan kasih sayang mengagumkan. Lalu, bagaimana kita bisa memahami hukum biologi dari perilaku kita yang luar biasa kejam dan luar biasa penyayang itu, serta berbagai bentuk perilaku yang melayang dalam ambiguitas di antara dua spektrum ini?

Pertama-tama adalah memahami aspek motorik perilaku. Skenarionya seperti ini: otak memberi perintah pada tulang belakang dan otot supaya melakukan tindakan tertentu dan hore, sekarang Anda mencium kening pasangan atau di lain waktu menamparnya.

Namun, yang teramat sulit adalah memahami makna di balik perilaku. Dalam beberapa situasi, tindakan menembak mati orang bisa berarti tindakan kejam dan di sisi lain dianggap sebagai aksi heroik. 

Atau, mencium kening dapat berarti kasih sayang mendalam, serta dapat berarti kepura-puraan untuk menyembunyikan dalam-dalam pengkhianatan. Memahami makna di balik perilaku selalu dihadapkan dengan memahami konteks perilaku.

Pemahaman Multilevel Perilaku Manusia

Mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan? Untuk memiliki pemahaman yang lebih utuh, tidak cukup hanya merujuk ke dimensi hormon, genetika, atau pengalaman masa kanak-kanak sebagai basis penjelasan. Setiap keping perilaku kita dihubungkan oleh rangkaian kausalitas bertingkat. 

Mari membuat skenario. Anda berada dalam kengerian situasi kerusuhan. Lalu seseorang berlari ke arah Anda. Anda tidak yakin, entah ekpresi wajahnya adalah ekspresi ketakutan, kemarahan, atau agresi. Dia meraih sesuatu. Semua berlangsung cepat. 

Senjata api berada di genggaman Anda dan dalam sekejap pecah bunyi letusan. Orang itu seketika tergeletak bersimbah darah. Tubuh Anda menggigil dan berlumuran keringat, detak jantung meningkat cepat. "Apa penyebab perilaku menarik pelatuk ini?" Pertanyaan sulit dan berlapis. 

Pertanyaan ke-1: Apa yang terjadi di otak Anda satu detik sebelum penembakan? Di sini kita memasuki wilayah otak yang bernama amigdala: markas besar rasa takut dan kekerasan. Komando bertubi-tubi untuk menembak dikirim dari sini.

Pertanyaan ke-2: Aktivitas apa yang dihadapi pemberi komando di amigdala satu detik sebelumnya? Tentu suara dan pemandangan ngeri kerusuhan berkontribusi. Tapi, Anda akan cenderung salah mengira apa yang diraih orang itu sebagai senjata, padahal HP, jika orang itu laki-laki, berbadan besar, dan dari ras tertentu. 

Terlebih lagi jika Anda tengah didera rasa sakit, kelaparan, dan kelelahan, frontal cortex di otak Anda tidak bekerja dengan baik. Ini adalah markas besar pemikir tingkat tinggi dan bijaksana yang seharusnya dengan tepat waktu mengirim utusan ke amigdala dan bertanya, "Kamu yakin dia berbahaya dan bersenjata?"

Pertanyaan ke-3: Seperti apa kondisi biologis Anda beberapa jam/hari sebelumnya? Di sini kita memasuki wilayah hormon, testoteron misalnya. Terlepas dari jenis kelamin, jika level testoteron di darah meningkat, maka Anda akan cenderung menganggap wajah seseorang dengan eskpresi netral sebagai ekspresi mengancam. 

Level testoteron dan hormon stres yang meningkat membuat amigdala lebih aktif dan frontal cortex bekerja lebih lamban.

Pertanyaan ke-4: Bagaimana dengan beberapa minggu/bulan sebelumnya? Apakah ini relevan? Hei, kita sekarang memasuki wilayah neural plasticity, yakni kemampuan otak dan sistem saraf untuk berubah sebagai akibat dari input pengalaman. 

Jika dalam bulan-bulan sebelumnya Anda didera stres dan trauma, amigdala akan memperbesar wilayahnya untuk menampung pasukan neuron yang mudah terprovokasi. Sebaliknya, peran frontal cortex makin melemah. Semua ini memengaruhi keputusan satu detik untuk menembak yang Anda lakukan.

Pertanyaan ke-5: Bagaimana jika mundur ke belakang lagi, ke masa remaja? Pada masa ini, semua bagian otak berkembang secara maksimal, kecuali frontal cortex yang masih dalam kondisi setengah matang. Area ini tidak akan matang sepenuhnya sampai Anda berusia sekitar 25 tahun. 

Versi frontal cortex yang Anda miliki di momen penembakan dipahat oleh lingkungan dan pengalaman pada masa remaja dan dewasa awal.

Pertanyaan ke-6: Bagaimana dengan masa kanak-kanak/kandungan? Ini masa pembentukan otak. Input pengalaman yang diterima di masa ini menghasilkan yang disebut perubahan epigenetika. Dalam beberapa situasi, proses ini secara permanen mengaktifkan gen tertentu dan mematikan yang lain. 

Misalnya, jika Anda terpapar oleh hormon stres dalam jumlah banyak melalui Ibu dalam kandungan, epigenetika membentuk amigdala menjadi versi yang lebih mudah terprovokasi di masa dewasa. Jadi, Anda juga akan memiliki level hormon stress yang meningkat.

Pertanyaan ke-7: Bagaimana dengan masa fetus? Ini masa ketika Anda merupakan sekumpulan gen. Gen berperan penting tetapi tidak bersifat deterministik karena gen bekerja secara berbeda di lingkungan berbeda. Misalnya, jika memiliki varian gen MAO-A, Anda punya kecenderungan berperilaku antisosial dan melakukan kekerasan. 

Terlebih lagi jika Anda juga mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak misalnya, gen dan lingkungan saling berinteraksi. Tindakan pembunuhan yang Anda lakukan merefleksikan interaksi gen dan lingkungan Anda.

Pertanyaan ke-8: Apakah bisa mundur lebih jauh lagi, ke masa berabad-abad lampau? Tentu. Seperti apa perilaku leluhur Anda? Jika mereka termasuk masyarakat dengan ‘budaya kehormatan’ (culture of honor), mereka dipenuhi kelas kesatria, aksi saling bunuh untuk membalas penghinaan atau dendam, dan sejenisnya. 

Menariknya, struktur nilai masyarakat ini menjadi lantai dasar pembentuk nilai masyarakat tempat Anda dibesarkan, sebuah sistem psikis, ketidaksadaran kolektif warisan (archetype dalam psikologi Carl Jung).

Pertanyaan ke-9: Apakah perlu mundur sampai masa jutaan tahun lampau? Jika membahas gen, kita juga harus membicarakan evolusi gen dengan melihat pola gen lintas spesies primata. Beberapa spesies berevolusi dengan level agresi yang sangat rendah dan beberapa yang lain mengembangkan level agresi tingkat tinggi. 

Menariknya, kita mengambang di antara dua kutub ekstrem ini dengan potensi untuk tertarik ke salah satunya.

Kesimpulan: Jika benar-benar ingin memahami perilaku, entah perilaku paling mengerikan atau mengagumkan atau yang mengambang di antaranya, Anda harus mempertimbangkan berbagai hal dalam bentangan satu detik sampai jutaan tahun sebelumnya. Jadi, yang bisa disimpulkan adalah, “Wow, sungguh rumit!!!

Ilmuwan/pemikir memang akan sangat berhati-hati untuk menghukumi sesuatu. Jadi, kita perlu belajar rendah hati sebelum menyimpulkan bahwa kita tahu apa penyebab dari suatu perilaku, khususnya ketika terkait perilaku yang kita hakimi dan kutuk dengan sangat keras.

Apakah mungkin mengubah potensi perilaku mengerikan yang kita miliki sebagai spesies yang membingungkan ini?

Catatan: Tulisan saya sarikan dari buku dan kuliah Robert Sapolsky, profesor biologi dan neurologi di Stanford University, yang berjudul Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst.