Kapan sih pemilihan gubernur Jawa Barat yang berikutnya? Saya, kok, kudet perkara jadwal pesta demokrasi di provinsi tercinta ini.

Seingat saya, semenjak punya hak pilih, saya belum pernah berkontribusi pada pilkada di Jawa Barat. Gara-garanya, saya selalu sedang bertugas jauh dari rumah. Pak Aher menang dua kali, saya tak punya andil. Kang Ridwan Kamil menang, saya juga tak punya andil. Karena itu, saya bertekad di pilkada berikutnya akan menggunakan hak pilih saya sebaik-baiknya. Caranya dengan mempelajari pilihan-pilihan yang ada sejak sekarang.

Kang Dedi Mulyadi, saat ini bupati Purwakarta, adalah salah satu pemimpin daerah di Jawa Barat yang menarik perhatian saya. Terus terang, saya sudah bosan dengan tipikal pemimpin-pemimpin yang isi kepalanya cenderung sektarian, sok-sok toleran padahal pada banyak praktiknya tetap cuplek. Kabar tentang Kang Dedi terasa menyejukkan di tengah kepemimpinan Jawa Barat saat ini yang, yaa, you know, lah.

Kang Dedi berani membela para penghayat kepercayaan yang tidak termasuk dalam enam agama yang “diakui” di Indonesia. Kang Dedi tidak gentar melawan FPI yang ingin memberangus budaya lokal yang dianggap haram dari sudut pandang agama. Kang Dedi punya inisiatif menyediakan ruang ibadah bagi semua agama di sekolah-sekolah. Terobosan-terobosan yang masih sangat langka dilakukan di Indonesia oleh pemimpin daerah.

Saya pikir, patut dilestarikan juga makhluk seperti ini, apalagi di ranah perpolitikan Jawa Barat yang punya prestasi menjadi provinsi dengan level intoleransi tertinggi. Bahkan di sini, selevel Kang Ridwan Kamil saja masih riweuh melarang Valentine. Kira-kira bisa, nih, orang ini diharapkan mengubah wajah Jawa Barat.

Tapi, oh, tapi… semalam Kang Dedi Mulyadi sukses membuat saya patah hati. Gara-gara salah satu twitnya, yang memuat gambar dirinya sedang menegur seorang remaja perempuan yang mengenakan jilbab plus celana jins robek-robek. Lengkap dengan caption, “Saat yang lain prihatin membantu orang tua, ada siswi naik motor, pakaian ke atas di kerudung, ke bawah celananya sobek2. Entah mode darimana?”

Aneh bagi saya, seorang Dedi Mulyadi yang pluralis dan toleran melakukan hal seperti itu. Rasanya seperti punya pacar yang selalu bilang, “Saya akan selalu menghargai semua keputusan yang kamu buat, sayang.”, tapi suatu hari ketika saya memakai baju yang tak sesuai dengan seleranya, dia marah-marah. Di tengah kerumunan orang, pula.

Apa, sih, Put, lebay amat. Kang Dedi kan cuma ingin mendidik.

Tapi apa iya, yang beliau lakukan itu sungguh mendidik dan sungguh adil – terlepas dari niat baik yang masih saya sangkakan ada dalam hatinya?

Public Humiliation

Alasan pertama dan paling sederhana dari patahnya hati saya adalah karena dengan twit dan foto yang ia sebarkan itu, Kang Dedi sudah melakukan suatu bentuk public humiliation. Mempermalukan seseorang di depan publik.

Ketika melihat gestur si remaja perempuan itu, saya tidak tega. Dia menutupi mukanya, entahlah di baliknya menangis atau tidak. Jangankan remaja, usia di mana yang namanya self-consciousness, pencarian jati diri, dan pembentukan nilai diri masih terombang-ambing serta seringkali diremehkan yang lebih dewasa. Kita saja, misalnya, jika salah dresscode untuk menghadiri pesta, bisa sampai malu setengah mati. Apalagi jika ada orang yang menegur terbuka lalu menyebar foto “kesalahan” kita ke mana-mana.

Tapi bentuk “didikan” yang vulgar seperti ini memang banyak dianut oleh orang Indonesia. Mulai dari memarahi anak di depan umum, “keisengan” mem-posting “aib” orang di media sosial, kebiasaan bergosip yang tidak-tidak soal artis, bullying pada remaja seperti Awkarin, sampai kegemaran mengarak bugil pasangan-pasangan yang melakukan seks di luar nikah. Demi merasa menjadi yang lebih bermoral.

Kita kira cara yang demikian akan menimbulkan efek jera. Bagi banyak orang Indonesia, mendidik sama artinya dengan membuat kapok, bukannya membuat paham apalagi memberikan kesadaran dan pilihan. Peduli amat sama dignity.

Menyedihkan, punya hobi, kok, mempermalukan orang lain.

Hak Atas Tubuh, Ruang Privat, dan Superioritas Moral Keagamaan

Beberapa rekan punya pendapat cukup keras tentang posisi tangan Kang Dedi di atas paha si remaja perempuan yang mengenakan jins robek-robek. Beberapa berpendapat bahwa itu pelecehan seksual. Menurut hemat saya, masih terlalu pagi untuk menyimpulkan sedemikian. Satu foto tak bergerak tak akan mampu betul-betul menggambarkan konteks. Karena itu, saya tidak akan membahas mengenai pelecehan seksual.

Yang ingin saya kritik adalah perkara teguran terhadap pakaian itu sendiri.

Bagi saya, pakaian (dan juga agama dalam arti penghayatan iman) adalah ranah dan hak privat. Seorang teman tak menyetujui pandangan saya ini. Dia berargumen, selama pakaian itu tidak termasuk simbol-simbol komunitas termasuk agama, dia menjadi hak privat. Kalau ada simbol yang melekat, kita harus tunduk pada tuntunan yang berlaku, karena “sudah ada tuntunannya”. Teman saya yang lain berpendapat, memakai jilbab dipadu celana robek-robek itu bak kentut di tempat umum. Boleh, tapi tidak etis.

Tapi di situlah masalahnya. Argumen-argumen di atas memosisikan agama sebagai sesuatu yang berada di atas manusia. Agama yang memilih, mengatur, dan membentuk manusia beserta seluruh pilihannya. Alih-alih manusia yang punya kebebasan memilih sesuai dengan nuraninya. Manusia untuk agama, bukan agama untuk manusia.

Agama, lho, ya. Agama tidak selalu ekuivalen dengan Tuhan (pakai T besar).

Kalau kita mau sedikit saja berpikir adil, kita harus mengakui bahwa agama dan segala simbolisasinya punya andil besar pada pembentukan nilai-nilai moralitas yang subyektif. Si A dan si B bisa berantem karena denominasi gereja si A memakai wine betulan dalam ibadat, sedangkan denominasi si B cukup pakai jus anggur. Si C dan si D bisa berantem karena C memilih melepas jilbabnya, sedangkan D memilih memakai jilbab panjang.

Mana yang benar? Ya, cuma Tuhan (dengan T besar) yang tahu. Yang bisa kita tahu selama belum ketemu Tuhan sendiri hanya sebatas ini: A, B, C, dan D menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing dengan cara berbeda-beda. Begitu banyak kitab suci. Dalam kitab suci yang sama pun, ada begitu banyak tafsir dan interpretasi.

Sedihnya, salah satu yang paling sering terimbas “perang” tafsir dalam agama ini adalah tubuh perempuan. Seperti yang juga dialami oleh si remaja perempuan yang ditegur Kang Dedi. Secara obyektif, apa yang dilakukan si remaja perempuan dengan pakaiannya bukan sesuatu yang akan merugikan siapa-siapa. Yang jadi korban cuma ego dari orang-orang yang menginterpretasikan cara berpakaian itu sebagai sesuatu yang salah.

Teman saya bilang, daripada dia memakai jins robek-robek digabung jilbab, lebih baik lepas saja jilbabnya sekalian. Saya jadi ingin bertanya, apakah betul sedari awalnya si remaja perempuan mengenakan jilbab dengan kehendak bebas dan kesadarannya sendiri? Apakah ia memilih memakainya setelah mengetahui betul pilihan-pilihan yang tersedia? Ataukah ia memakai jilbab hanya karena lingkungan sekitarnya mendesaknya dengan alasan-alasan moral?

Jika ia tidak betul-betul bebas, paham, dan punya privilege untuk memilih saat memutuskan mengenakan jilbab itu, mengapa ia dikenai hukuman untuk perlekatan simbol yang tidak dipilihnya dengan sadar? Mengapa moralitasnya harus dipertanyakan karena itu? Ini persis seperti persoalan jilboobs dan burqini.

Even more, tubuh seseorang sesungguhnya adalah milik orang itu sendiri. Saya tak akan bosan-bosan mengatakan ini. Si pemilik tubuh adalah yang paling berhak untuk menentukan nilai, simbol, dan segala perlakuan yang ingin ia lekatkan pada tubuhnya – sejauh tidak melanggar hak atau otoritas orang lain.

Sayangnya, kendali agama pada tubuh perempuan sering bersikap tak adil. Ia menafikan otoritas ini, merongrong privasi dan kebebasan memilih, menciptakan pagar-pagar yang cenderung subyektif dan menghakimi.

Sungguh absurd bagi saya ketika Kang Dedi Mulyadi, orang yang bersikap toleran bahkan merangkul kelompok-kelompok minoritas keagamaan, justru terjebak dalam politik simbol yang menafikan otoritas perempuan atas tubuh mereka.

***

Begitulah. Tak disangka, satu twit seperti itu bisa membuat saya menulis opini sepanjang ini. Kepada Kang Dedi Mulyadi dan siapa pun yang satu visi dengan beliau, punten jika kritik ini dirasa frontal. Apa boleh buat. Saya merasa harus bicara – bukan cuma demi KTP Jawa Barat di dompet saya, tapi terutama karena hati nurani saya memberitahu ada yang salah.

Bagi saya, sayang kalau orang selevel Kang Dedi Mulyadi terjebak dalam politik populisme yang sedangkal mengubek-ubek moralitas tubuh perempuan. Sayang kalau Kang Dedi sudah capek-capek melawan ormas radikal, ujung-ujungnya masih gampang digaet isu pakaian perempuan. Sayang kalau Kang Dedi sudah mendapuk diri sebagai seorang pluralis, tapi sulit membedakan ranah publik dan privat. Sayang kalau Kang Dedi sudah membebaskan umat beribadah sesuai agamanya, tapi alpa memberikan respek pada dignity dan kebebasan individu.

Dan sayang kalau di pilkada berikutnya, saya terpaksa golput lagi hanya karena urusan yang seharusnya sudah lama bangsa beradab ini selesaikan bersama-sama.