Hukuman mati bukanlah jawaban untuk mengurangi korupsi di Indonesia. Dalam artikel ini, penulis meyakinkan Anda bahwa hukuman mati bukanlah hukuman yang tepat bagi para koruptor.
Berita tentang korupsi sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pemerintah tidak duduk diam. Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun, upaya tersebut tampaknya tidak berhasil.
Pada tahun 2021, pemerintah akan mengambil berbagai langkah seperti: kewajiban pelaporan kekayaan, penguatan sistem integritas internal pemerintah dan pemberantasan korupsi di tingkat unit layanan.
Namun, upaya tersebut tampaknya tidak berhasil. Sayangnya, tingkat korupsi di Indonesia masih mengecewakan. Angka IPK Indonesia mencerminkan upaya pemerintah yang terus menerus gagal di pemberantasan korupsi.
Hal ini menimbulkan anggapan bahwa hukuman mati diperlukan bagi para koruptor di Indonesia. Ketika banyak upaya antikorupsi gagal, apakah hukuman mati bisa menjadi pencegah bagi para koruptor?
Hukuman mati bagi koruptor sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat (2) yang berbunyi,
“Apabila tindak pidana korupsi dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Ayat tersebut membuat hukuman mati bagi koruptor sah secara undang-undang.
Namun dalam praktiknya, tidak ada orang koruptor yang pernah dijatuhi hukuman mati. Sejauh ini, Presiden dan DPR belum mencapai kesepakatan tentang penerapan hukuman mati untuk korupsi. Padahal, setting ini baru sebatas pembahasan.
Bagi saya, belum ada titik terang penyelesaian pidana mati bagi korupsi, antara lain karena pidana mati sudah tidak relevan lagi dengan situasi saat ini. Hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang sangat berat, berat dan sewenang-wenang.
Hukumannya sudah berat, tapi manfaatnya belum jelas. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Fariduddin dan Tetono tentang keterkaitan penerapan hukuman mati dengan kenaikan indeks harga konsumen.
Menurut Fariduddin dan Tetono, tidak ada kaitan antara penjatuhan pidana mati dengan partisipasi kenaikan indeks harga konsumen.
CPI (Corruption Perception Index) adalah indeks persepsi korupsi yang memeringkat negara-negara di dunia berdasarkan total persepsi korupsi di posisi publik dan politik.
Fariduddin dan Teton berusaha mendapatkan data CPI dari negara-negara yang menggunakan hukuman mati untuk korupsi, seperti Iran, Kuba, Vietnam, Korea Utara, dan China.
Data ini kemudian dianalisis untuk menarik kesimpulan apakah hukuman mati bagi koruptor efektif dalam memberantas korupsi.
Pada 2018, Iran menghukum Vahid Mazloumin dan Mohammad Esmail Ghasemi karena korupsi. Namun, angka CPI Iran menurun antara 2017 dan 2021.
Tidak seperti Kuba, indeks harga konsumen Kuba berfluktuasi antara 2019 dan 2021 setelah hukuman mati Arnaldo Ochoa Sanchez dan empat pejabat pemerintah lainnya
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penggunaan hukuman mati belum terbukti efektif dalam menekan kasus korupsi. Sebab, tidak ada bukti konkrit perbaikan CPI di negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman mati jelas tidak efektif menekan kasus korupsi. Menurut penulis, ada tiga poin utama mengapa hukuman mati bagi koruptor bukanlah langkah yang tepat untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Pertama, hukuman mati tidak segera memperbaiki keuangan publik. Bukan malah untuk mengembalikan posisi keuangan negara dari korupsi.
Kegembiraan melihat orang koruptor dijatuhi hukuman mati hanya sesaat kecuali diikuti dengan kepedulian negara yang terus-menerus. Untuk apa membunuh pencuri uang negara jika hasilnya tidak memperbaiki
Kedua, berdasarkan pengalaman di Indonesia sendiri, penerapan hukuman mati terhadap kejahatan nonkorupsi seperti narkoba dan terorisme tidak efektif memberantas kejahatan itu sendiri.
Menurut studi tahun 2020 oleh Institute for Economics and Peace (IEP), terorisme telah menyebar lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Hukuman mati sebenarnya tidak mewujudkan rasa takut terhadap hukum.
Padahal, inilah inti dari hukuman mati, untuk menyebarkan keputus asaan dan ketakutan di masyarakat agar kesalahan yang sama tidak terulang. Jika kasus sebelumnya dianggap tidak valid, mengapa kita mengulangi kesalahan yang sama?
Ketiga, hukuman mati tentu melanggar hak asasi manusia, karena kita sebagai manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain dengan alasan apapun.
Pada dasarnya hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap orang sejak lahir sampai akhir hayatnya. HAM berasal dari Tuhan. Keberadaannya sudah ada dan kewenangannya terutama di Indonesia, bahkan di dunia.
Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak boleh dipertanyakan dan dihormati. Oleh karena itu penulis mengecam keras hukuman mati bagi koruptor atas pelanggaran hak asasi manusia, karena itu adalah hukum dasar dari identitas kemanusiaan kita.
Hukuman yang tepat untuk korupsi seharusnya adalah yang mampu memulihkan perekonomian negara dengan tetap memberikan efek jera bagi pelakunya.
Oleh karena itu, tidak perlu dikatakan bahwa korupsi harus dihukum setidaknya sebanyak yang diperolehnya. Selain itu, para koruptor juga harus dilarang kembali menduduki jabatan.
Selain itu, para koruptor juga harus dilarang kembali menduduki jabatan publik. Para koruptor harus dilarang mengangkat dirinya sebagai wakil rakyat atau mengabdi pada instansi pemerintah
Terakhir, para koruptor harus menerima hukuman penjara yang adil dan tegas.
Mengingat masih banyak koruptor di Indonesia yang masih lolos dari hukuman bebas penjara, maka hukuman penjara harus diperkuat agar tidak ada yang “kabur” dari hukuman. Supaya dapat menimbulkan efek jera pada masyarakat.
Artikel ini menimbulkan banyak pertanyaan "mengapa". Apa tujuan dari hukuman mati? Manfaatnya dapat diabaikan, tetapi risiko dan tanggung jawabnya sangat besar karena nyawa manusia dipertaruhkan.
Ada banyak cara untuk memberantas korupsi tanpa mengorbankan nyawa manusia.