Di mana pun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia. ~ Heinrich Heine, Penyair Jerman

Buku dengan beragam sudut pandang yang terkandung di dalamnya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan dan kemajuan sebuah bangsa dan negara. Semakin tinggi minat warga negara membaca buku, maka semakin tinggi pula pengetahuan dan gagasan yang dihasilkan untuk mencapai peradaban.

Dengan membaca buku mampu membuka cakrawala imajinasi dan membongkar kebekuan-kebekuan cara berpikir. Istilah ‘buku merupakan jendela dunia’, yakni dengan membaca buku juga kita (sebagai pembaca) tengah membaca semesta, kita seolah bertamasya ke ruang-ruang imajinasi dan menelusuri pengetahuan-pengetahuan dari yang purba hingga modern.

Sebagai medium untuk menyimpan memori sejarah, menyampaikan pesan/informasi, menyuguhkan ide/gagasan, dan berbagi ilmu pengetahuan, buku juga dapat menjadi medium perlawanan terhadap penguasa. Maka tidak heran, kehadiran sebuah buku tidak selalu disambut baik oleh penguasa dalam suatu negara.

Bagi penguasa yang antikritik, kehadiran sebuah buku yang mengandung imajinasi perlawanan merupakan ancaman bagi kelanggengan kekuasaannya.

Dalam sejarah dunia, peristiwa penghancuran sebuah buku dan pembakaran perpustakaan seperti pemusnahan perpustakaan Iskandariyah, pemusnahan perpustakaan Baghdad, pembakaran buku dan pembantaian cendekiawan pada masa Dinasti Qin di Cina, pemusnahan Naskah kuno Maya oleh penakluk dan Pendeta Spanyol, pembakaran buku Nazi, pembakaran rekaman Beatles, dan pemusnahan perpustakaan nasional Sarajevo, dan lain sebagainya merupakan bentuk ekspresi ketakutan yang dibalut dengan kebencian terhadap karya-karya tertentu.

Di Indonesia, sejarah kebencian terhadap buku telah dimulai pada era kolonial, berlanjut pada masa Orde Lama dan mengalami kulminasi pada masa Orde Baru. Kebencian terhadap buku di Indonesia seringkali diekspresikan dalam beragam bentuk, mulai dari pelarangan penertibannya hingga diekspresikan dengan cara langsung membakar buku, menghancurkan perpustakaannya, hingga memenjarakan atau mengasinkan penulisnya.

Orde Baru dengan berbagai kompleksitas dinamikanya menyimpan peristiwa sejarah yang menyedihkan bagi eksistensi buku. Buku-buku yang dianggap menjadi ancaman terhadap “kemapanan kekuasaan” di buru dan dilarang beredar di Indonesia dengan dalih bertentangan dengan pancasila dan mengancam terjadinya disintergrasi bangsa. 

Inilah masa-masa kelam di mana negara menjadi aktor utama yang menyalurkan hasrat kebencian terhadap buku. Negara memaksa rakyatnya untuk mengakses satu versi tunggal produk pemikiran dan membungkam setiap pemikiran-pemikiran kritis. 

Tak hanya pelarangan, tindakan represif pada masa Orde Baru juga diikuti dengan penyitaan buku secara paksa dan bahkan penangkapan bagi penulisnya. Salah satu buku yang paling dibenci oleh Orde Baru ialah buku karya Pramoedya Ananta Toer karena dianggap telah menyebarkan paham komunisme, marxisme dan leninisme.

Warisan sejarah kebencian terhadap buku terus berlanjut sampai era Reformasi. Semangat reformasi yang digulirkan pada 1998 yang mengusung agenda kebebasan berekspresi telah mendorong lahirnya reformasi konstitusional yang memperkuat jaminan hukum positif perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Namun, kebebasan intelektual untuk menghasilkan dan menikmati sebuah buku masih dibatasi oleh negara.

Dalam buku berjudul Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (yang merupakan hasil Penelitian dari Iwan Awaluddin Yusuf, Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, Saifudin Zuhri) mencatat beberapa buku yang dilarang terbit oleh Kejagung pada era reformasi.

Antara lain, Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning tahun 2002, Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay tahun 2003, Menembus Gelap Menuju Terang karya Muhammad Ardhi Husein tahun 2005, Kutemukan Kebenar­an Sejati dalam Alquran karya Maksud Simanungkalit tahun 2006, Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat karya Sendius Wonda tahun 2007. 

Pada akhir tahun 2009, Kejagung mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan 5 buku, yakni (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950- 1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, MM; dan (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Drs. H Syahrudin Ahmad. 

Kebencian terhadap buku mencerminkan ketakutan penguasa yang mengalami krisis intelektual. Hal ini bertentangan dengan teks pembukaan dalam UUD yang berbunyi, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. 

Pelarangan beredarnya buku memiliki implikasi bagi publik, terutama saluran informasi yang seharusnya bisa diakses men­jadi terganggu. Ini juga berarti menghambat bahkan menutup informasi dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya terjadi pembodohan massal.

Indonesia butuh generasi pembaca yang meramu ilmu pengetahuan dari berbagai macam sumber yang akan membentuk imajinasinya tentang peradaban. Maka dalam hal ini negara beserta perangkat kekuasannya tidak boleh membatasi hak masyarakat Indonesia untuk menikmati beragam pemikiran yang dituangkan dalam buku, apalagi menyeret masuk dalam lumpur kebencian terhadap buku. 

Negara harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk memberikan kebebasan intelektual terhadap warga negara, agar diskursus akademis selalu aktif bahkan di ruang publik sekalipun.

Dalam momentum memperingati Hari Buku ini, sudah saatnya kita harus melepaskan diri dari doktrinasi kebencian terhadap buku yang sudah lama mencengkram dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Bagaimana pun bentuk dan isi sebuah buku harus dihargai sebagai sebuah karya intelektual seseorang yang tidak boleh dipasung hanya karena tidak sesuai dengan selera penguasa.

Karena pada dasarnya, tidak ada buku yang mengancam negara apalagi negara yang sudah konsekuen menganut sistem demokrasi. Dalam demokrasi kritisisme adalah jantung dari demokrasi itu sendiri.