Hingga detik ini, saya selalu bertanya-tanya apa gunanya mereka memberikan label negatif kepada orang lain yang tidak sama keyakinannya, kesepemahamannya dengan apa yang mereka yakini? Saya paham bahwa setiap orang yang memiliki keyakinan pada suatu agama, memiliki hak untuk menjaga agama yang mereka yakini.

Hanya, yang saya tak paham adalah mengapa harus dengan cara menunjukan orang lain dalam posisi yang salah supaya mereka dapat (merasa) berlaku benar? Dengan cara menyatakan bahwa orang lain adalah kafir, misalnya.

Ada yang aneh bila dipikirkan secara logis, tidak kah mereka lupa bahwa apapun makna dalam konsep ‘kafir’ itu, ketika mereka sudah labelkan kepada orang lain, maka yang terjadi adalah tindakan tersebut menjadi tindakan yang tidak terpuji. Saya lebih memilih ungkapan “tidak terpuji” karena lebih universal bila diukur dengan norma sosial yang dianut oleh masyarakat kita.

Sesungguhnya bukan hanya tidak terpuji tetapi juga tidak bertanggung jawab. Tidak hanya bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri tetapi juga khususnya kepada orang lain. Mengapa tidak bertanggung jawab?

Ada prinsip kerja teoritis ketika kita melakukan label kepada orang lain dan apa efeknya terhadap orang lain. Secara sosiologis, ketika masyarakat melakukan labelisasi negatif kepada individu, secara tidak langsung label itu akan mempengaruhi persepsi individu yang dilabel terhadap dirinya sendiri tentang segala hal yang dituduhkan kepadanya.

Ia akan berada dalam satu tahap di mana bertarung bukan dengan masyarakat tetapi justru dengan bayangan dirinya sendiri. Efeknya bisa jadi dua: ia terus mengkonfirmasi bahwa dirinya tidak sama dengan yang dituduhkan atau ia mulai menyesuaikan diri dengan apa yang dituduhkan.

Persoalannya adalah masyarakat hanya melabel saja tanpa ada tindak lanjut setelahnya atau yang biasa kita dengar dengan istilah, “people always judging”. Artinya, sejak awal tendensi untuk memberikan label negatif seperti kafir kepada nonmuslim menjadi sangat tidak berdasar. Tidak lebih dari sekedar ujaran ketidaksukaan, ujaran prasangka semata tanpa ada maksud yang lebih substansial atau membangun dari itu.

Kita hanya meninggalkan ungkapan negatif seperti kafir kepada individu non muslim tanpa pernah tahu apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan oleh individu tersebut setelahnya. Mungkinkah mereka sakit hati? Mungkinkah mereka bersedih atau biasa saja?

Mudahnya, menyatakan atau memosisikan orang lain dengan istilah kafir adalah tindakan yang sama mengejeknya dan sama buruknya ketika kita menyatakan bahwa orang lain itu jelek, bodoh, dekil, hitam, jahat, miskin, payah dan segala diksi yang buruk. Ini bukan soal perbedaan makna antar kata, tetapi keputusan tindakan untuk menggunakan kata-kata negatif tersebut.

Bila kita ingin lebih kritis menanggapi persoalan ejekan kafir, saya menawarkan solusi untuk melakukan konfirmasi kepada para pengejek itu. Pertama, kita harus menyadari bahwa dalam setiap ejekan sejak awal membuat seseorang berkesempatan memainkan jarak moril dengan objek yang diejek.

Misalnya begini, katakanlah ada situasi di mana seseorang mengatakan kepada temannya, “Ih, gembel banget sih dandanan loe. Gak kekinian banget!” Artinya, sejak awal ia tidak hanya melakukan kritik terhadap tampilan orang lain tetapi juga ingin menyatakan bahwa penampilan dirinya tidak seburuk (atau minimal lebih baik) dari orang yang dikritiknya.

Begitu juga dengan tindakan rasis bukan? Misal begini, “Dasar item dekil ga pernah mandi!” Artinya, kita tidak hanya mengejek soal warna kulitnya tetapi juga menunjukkan ada tendensi untuk mengatakan bahwa orang itu jauh lebih bersih dari temannya yang berkulit hitam.

Tindakan mengejek orang lain kafir pun juga sama buruknya. Ejekan “Dasar kafir laknat!” hanya menunjukkan persoalan bahwa orang lain jauh lebih buruk secara agamis dan sudah pasti dilaknat oleh Tuhan yang Maha Kuasa sedangkan dirinya aman karena tidak kafir (tetapi selalu mengatakan khilaf sebagai insan yang berbuat salah dan kemudian mendapat ancaman pidana).

Pertanyaan saya bukan “Apa salahnya mereka kafir?” tapi pertanyaan saya, “Mengapa harus mengatakan, menyatakan dan memposisikan mereka kafir?”. Dan, saya rasa inilah yang membuat masyarakat semakin jengah.

Bagi para punggawa moral yang merasa hanya agamanya dia saja yang terhina, solusi yang bisa saya tawarkan adalah lakukanlah konfirmasi dan konfrontasi etis habis-habisan dengan diri Anda sendiri sebelum mulut dan jari melontarkan kata kafir terhadap kelompok non-kepercayaan Anda.

Pertama, bila kita ingin menyatakan orang lain kafir yang kemungkinan besar masuk neraka dan diazab di dunia, tanyalah apakah Anda tidak termasuk golongan tersebut hanya karena tidak memiliki ciri-ciri yang sama dengan mereka?

Kedua, terlepas dari status kafir yang ingin dialamatkan, tidakkah Anda berpikir bahwa kafir atau tidaknya seseorang sebetulnya tidak ada manusia yang sebaik dan seburuk secara total? Ketiga, siapakah Anda untuk mengelompokkan seseorang itu kafir atau bukan? Apakah ada legalitas hukum yang bisa dipertanggungjawabkan untuk menunjukkan bahwa diri Anda layak untuk menyatakan bahwa orang lain adalah kafir?

Bila jawaban Anda adalah “karena ada rujukan Alim Ulama, keterlibatan pada organisasi dan parlemen agamis, karena statusnya adalah Muslim”, maka jelaslah bahwa Anda kekanak-kanakan karena hanya mengandalkan modal untuk memojokkan orang lain.

Keempat, katakanlah orang yang ingin Anda label itu adalah benar-benar sesuai dengan kriteria dan tolak ukur “kafir” yang dimaksud. Lalu, bila benar bahwa seseorang itu kafir dan Anda sudah mengerahkan apapun untuk membuatnya tidak kafir lagi dan gagal? Lantas, kalau begitu apa yang akan Anda lakukan? Sweeping? Lakukan aksi bela-belaan lagi sembari mencari nomor tanggal simbolik cantik untuk melakukan aksi?

Kelima, bila ternyata Anda salah bahwa orang yang diposisikan kafir ternyata bukan? Anda harus memiliki kemungkinan ini, karena kalau Anda merasa terlalu pasti dan benar, maka Anda totaliter-absolutis sekali.

Oh ya, sebagai penutup, sedikit pesan pada fans fanatik anti-kafir, bila Anda merasa bahwa orang-orang kafir itu akan memperburuk akhlakul karimah para calon penerus generasi agama dan berpotensi memecah belah bangsa, sebetulnya Anda tenang saja tak perlu terus menerus mengejek orang dengan sebutan kafir.

Sebabnya, seburuk-buruknya negara, ia tetap memiliki segala perangkat institusional yang lengkap dan bisa diandalkan untuk mengurusi kalau-kalau terjadi hal-hal yang tak diinginkan kok. Terakhir, tentu tanpa adanya atribut status kafir ataupun tidak, Tuhan akan tetap menjatuhkan hukuman bagi hambanya yang berbuat salah (dan itu seadil-adilnya) juga memberikan imbalan keberkahan bagi setiap kebaikannya (seadil-adilnya pula).