Dalam satu pekan terakhir, isi koran, media daring, sampai televisi menyiarkan informasi tentang wacana dukungan menunda Pemilu 2024. Partai koalisi besar setara PKB, PAN, dan Golkar, bahkan sudah menyerukan dukungan atas nama pemulihan ekonomi.
Melihat dinamika yang saat ini bergulir, saya justru terlempar pada ingatan tiga tahun lalu yaitu 2019. Apa yang saya lakukan 2019 lalu? Apakah saya menolak untuk memilih? Apakah saya ikutan golput? Jika saya memilih, apakah saya sebagai bagian dari negara +62 ini sudah mengawasi pemerintahan dengan baik? Ataukah lagi-lagi, atas nama pandemi saya memberikan apologia kepada diri sendiri untuk tidak terlalu update pada situasi ekonomi dan politik karena sibuk melindungi diri dari virus?
Beragam pengalaman-pengalaman panas sebelum Pemilu, dari mulai debat dengan sahabat sampai keluarga menyeruak. Saya ingat betul, sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, saya secara mandiri telah memilih atas kehendak bebas saya dan atas pertimbangan pribadi saya. Namun yang menarik, dalam proses mengenang 2019, saya juga teringat pada momen-momen saya berani berdebat dengan teman-teman saya yang memilih si A, atau si B, atas preferensi keluarga.
"Duh, grup keluargaku tuh berantem terus," dan demi mengurangi gesekan teman saya itu memilih seseorang dalam Pemilu atas arahan bapak, ibu, paman atau bibinya.
"Gue kayanya ampe dikutuk sama keluarga gua karena beda sendiri," ada juga kawan saya yang mengakui hal ini. Dia berani berpendapat berbeda dengan risiko mersa diasingkan dari keluarga. Jujur, saya tentu berada pada golongan yang seperti ini, saya berani berbeda dan #PilihBeda dari keluarga saya.
Ini masih cenderung aman. Saya pernah membaca dari feeds media sosial Instagram, ada sepasang suami istri yang memutuskan cerai hanya karena berbeda pilihan presiden. Saya sampai geleng-geleng kepala.
Dari upaya menggali ulang memori dan menempatkan pada kotak-kotak yang berbeda, saya pun berkesimpulan, ada yang salah dari cara kita berdemokrasi. Setidaknya, dari sejumlah contoh diatas, kita bisa bersepakat bahwa setiap individu sebenarnya punya panggilan, punya kehendak, untuk memilih secara bebas. Sayangnya, menurut saya, itu tidak terjewantahkan dengan baik.
Dalam diskusi dengan seorang kawan yang kebetulan kami bersama-sama mengelola platform politik, @_mosi.id, kawan saya tersebut berkata bahwa kondisi-kondisi ketidakbebasan memilih disebabkan karena Indonesia mau tak mau masih melekat dengan struktur komunal masyarakat khas 'kultur Timur'. Artinya, nilai-nilai individu harusnya melebur. Atau, pilihan lainnya, nilai yang dia anut, harus mampu menggeser nilai lama dan menjadi tatanan baru yang akhirnya diakui sebagai nilai bersama.
Lebih lanjut, saya menggali lagi ingatan tentang apa itu menjadi berbeda? Selain berani berbeda pilihan, konsekuensi lanjutan yang banyak terjadi pada 2019 lalu adalah berani tidak memilih. Artinya, ada banyak opsi #PilihBeda untuk kita menjewantahkan demokrasi. Namun yang belum banyak tergali adalah implikasi atas pilihan-pilihan tersebut terhadap masa depan masyarakat kita.
Sudah banyak orang yang membahas dan mengulas tentang menjaga demokrasi, maka biarkanlah orang-orang itu mengambil bagiannya untuk menjelaskan kepada Anda tentang demokrasi. Saya lebih tertarik untuk mengajak Anda mengkaji ulang pilihan-pilihan Anda, apapun itu, pada 2019, dan implikasinya pada kehidupan Anda saat ini.
Mengapa begitu? Pada akhirnya, saya menilai kata 'demokrasi' sendiri memiliki definisi dan prasyarat, yang jangan-jangan, belum sempurna berkembang dan terpenuhi di masyarakat kita.
Dikutip dari beragam pakar, demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara. Saya akan mengulang bagian ini, "setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara."
Mari kita membayangkan fase hidup manusia. Usia dewasa adalah usia manusia yang dianggap sudah memiliki kemampuan mengambil keputusan, dan itu ditandai pada kisaran 17 tahun. Itu juga yang melatarbelakangi Pemilu di Indonesia baru bisa dilakukan oleh orang yang sudah berusia minimal 17 tahun.
Sayangnya, dalam praktiknya, saya perlu rendah hati mengakui referensi umur seharusnya tidak menjadi pertimbangan tunggal maturitas politik dan pengambilan keputusan. Sekali lagi, dengan rendah hati, saya terpaksa mengakui, contoh-contoh kasus di atas adalah bentuk dari ketidakdewasaan seseorang dalam mengambil keputusan.
Secara umum dapat disimpulkan, jangan-jangan, sebagai individu kita tidak berani #PilihBeda karena terikat dengan aturan sosial-komunal tersebut. Tak heran jika ada kawan saya di usia kami yang sudah quarter life, masih bisa menjawab 'Kalau kata nyokap gue... Kalau kata bapak saya..' atau ketika saya dan suami berbeda pilihan, kita cerai saja.
Autokritik lain yang juga terpikirkan dari definisi diatas yang saya dapatkan adalah tentang pengambilan keputusan untuk mempengaruhi kehidupan bernegara. Tahun 2019, adalah tahun yang paling menggemaskan dalam sejarah saya nyoblos, karena tingginya kecenderungan orang untuk golput. Bahkan menghadirkan opsi lain pasangan Nurhadi-Aldo. Penyebab utama kecenderungan golput ini tentu saja akumulasi kemarahan, kekecewaan, dan depresi karena merasa terperangkap, bahkan aksi menolak memilih sebagai bentuk perlawanan.
Setelah saya mencoba berpikir lebih dalam lagi soal itu, saya harus memasukkan opsi tidak memilih sebagai pilihan. Namun dalam definisi harafiah demokrasi, tidak memilih itu secara otomatis tereliminasi. Kenapa? Pilihan tersebut tidak memenuhi prasyarat "Keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara." Keputusan golput kerap identik dengan ketidakmampuan untuk intervensi terhadap kebijakan publik karena tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Argumen pembela golput, adalah cara ini bisa melahirkan gerbong alternatif dalam kancah politik dan kebijakan. Pertanyaan saya; apakah opsi alternatif itu berhasil di Indonesia? Atau setidaknya pernah terjadi? Negara lain boleh saja sudah berhasil, jika sampai saat ini belum berhasil, artinya ada yang perlu dikaji dan direfleksikan kembali.
Ah! Saya akan lanjut menuliskan tentang opsi alternatif ini pada artikel lainnya. Agar sekiranya dalam naskah ini kita fokus pada opsi #PilihBeda dan mengapa itu penting.
Saya tiba pada kesimpulan, pilihan berani memilih karena ikut-ikutan, maupun tidak memilih memiliki kelemahan sendiri terhadap jalannya demokrasi. Saya bisa mengujinya dari kondisi kita saat ini. Kebijakan publik yang tidak ramah kelompok marjinal, konflik kepentingan dalam rantai oligarki, semuanya adalah sebuah konsekuensi dari pilihan-pilihan tidak bebas dan demokrasi yang belum memenuhi kualifikasi maturitas.
Saya pun berandai-andai, kapankah masyarakat Indonesia punya kehendak memilih politik secara bebas sesuai kebutuhan dan kepentingannya sendiri? Misalnya, saya mau mengutamakan mereka yang memperjuangkan kesetaraan gender karena saya perempuan. Atau, saya mau memilih mereka yang punya nilai-nilai terhadap toleransi antar umat beragama, suku dan ras yang berbeda karena saya adalah triple minoritas di negara ini.
Saya ingin kembali memasuki 2024 dengan debat-debat dewasa, alasan personal saya memilih si A, alasan personal Anda memilih B. Siapapun yang menang nantinya, kita kawal baik untuk kepentingan saya, maupun kepentingan Anda. Artinya, menjadi penting untuk mengatakan politik itu haruslah personal bukan semata hal komunal. Semoga saja, pernyataan ini tidak memerlukan waktu yang lama untuk bisa terjadi apalagi sampai merobohkan kultur Timur yang komunal dan masih kita banggakan sebagai identitas Indonesia.
Guna mencapai maturitas politik personal, saya ingin berdiri bersama mereka yang memperjuangkan Pemilu 2024 tidak boleh ditunda, apapun alasannya. Perubahan tidak terjadi atas kendali rezim tertentu. Perubahan dan perbaikan terjadi atas kendali dan kesepakatan personal memperbaiki hidupnya dan hidup bernegara.
Ingat, politik itu personal, jadi Anda punya kebebasan untuk #PilihBeda dan otentik tentang siapa Anda, dan apa yang Anda butuhkan dari Indonesia. Saya ingin memilih sebagai individu bebas, unik, berbeda, dan menuntut 2024 tetap Pemilu.