Bila Anda pemerhati cuitan di dunia maya, twitter terutama, sejenak dunia geger oleh sosok penceramah. Kalau saya katakan itu kontroversial, sepertinya ada benarnya.
Bagaimana tidak, beliau dengan bangga melabrak lawan politik, lawan ideologi, dan lawan bicaranya yang tidak sepaham menggunakan kata-kata yang bukan sarkastis lagi, namun cenderung langsung dan membabi buta. Si lawan sepertinya tidak mau mengalah juga.
Si lawan menyerang balik secara verbal, seperti memaki, menghina, melontarkan nada bercanda yang tidak sesuai tempatnya. Akhirnya saling menyerang. Penonton seperti saya ini kebagian yang geleng-geleng kepala saja, ingin tertawa tapi takut dikira menghina pula.
Bermunculan komentar dalam benak saya, "Kok gampang terpancing emosi?"; "Apakah tidak boleh misuh? Dia juga manusia biasa."
Tugas Penceramah
Tugas penceramah agama adalah memberikan keluasan ilmunya kepada para jemaah. Bagi penceramah, bagaimana agar kalimat demi kalimat yang dibawakan olehnya mengandung nasihat kebaikan. Sehingga, berdampak kepada tindakan mereka untuk melakukan nasihat yang dibawakannya.
Walaupun begitu, penceramah tetaplah manusia. Banyak lupa dan alpa. Namun sayangnya, di sini saya tidak ingin meng-ghibah dengan membahas cuitan kontroversial itu.
Saya akan mencoba memahami realitaa ini berbekal kepala dingin. Saya coba mengutarakan melalui sudut pandang saya sebagai pembaca bagaimana sebaiknya kita melihat fenomena tersebut. Tentu, ini versi saya.
Ada beberapa hal yang harus kita tengahi di dalam memandang fenomena ini, antara lain:
1. Perspektif tentang Ustaz
Sepertinya sudah umum dan menjadi kaidah di masyarakat bahwa seorang penceramah keagamaan seyogianya memiliki sikap yang baik dan benar.
Sikap yang baik adalah sikap yang menunjukkan keluhuran budi pekertinya sesuai tuntutan yang diajarkan oleh agama. Sikap yang benar adalah bertindak dan menyampaikan kebenaran risalah agama.
Kebanyakan masyarakat kita rupanya masih belum menerima penceramah di luar kaidah umum sehingga muncul istilah ustaz karbitan dan ustaz medsos. Satu lagi yang mungkin belum, ustaz huru-hara.
Para ustaz, terlepas tugas mereka sebagai penceramah, bukanlah sosok yang terlepas dari keburukan. Jiwanya, hatinya, lisannya, perbuatannya juga sangat mungkin dipengaruhi oleh nafsu-nafsu dunia, kebencian dan angkara murka.
Sikap yang diambil ustaz tidak bisa selamanya dijadikan contoh hidup untuk kita ikuti. Mau tidak mau, kita harus menyadari betul bahwa hanya Nabi Muhammad SAW sosok dengan perbuatan mulia dan dijaga Allah dari tindakan tercela dan dosa.
Paradoks memang. Namun, kita hidup di dunia yang mana bila kita tidak bijaksana dan hati-hati, hal yang benar bisa dikatakan salah, begitu pula sebaliknya. Bila mendapati masalah yang belum jelas, dipersilakan untuk tabayun sebelum memutuskan sesuatu yang hendak diperbuat.
Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. Bunyi hadisnya adalah "Innamaa bu'itstu li utammima makaarimal akhlaaq". Kita menjaga perbuatan dan lisan dari mencaci, memaki adalah bentuk akhlak yang baik.
Adapun kita harus keras terhadap orang kafir dan lembut terhadap sesama muslim seperti yang tercantum dalam surat Al Fath ayat 29, harus melihat konteks ayat itu diturunkan dan hubungan antar ayat. Tidak bisa serta-merta digunakan untuk bertindak di luar kendali dan mengabaikan perangai yang baik.
2. Kita Wajib Belajar Agama dengan Runtut
Agama adalah pegangan hidup. Kita wajib mempelajari agama dengan sebaik-baiknya. Nabi Muhammad yang menjadi teladan dalam hidup kita. Bagaimana cara mengenal Nabi? Mau tidak mau, perantara kita mengenal beliau adalah orang tua dan guru (ustaz/asatidz).
Kita hidup jauh di belakang Nabi, sehingga kita membutuhkan guru dalam memahami ajaran agama yang beliau bawa. Seorang guru yang baik akan terpancar keikhlasan dan ketawadhu'an di dalam mengajar. Bergurulah dan tertatap muka dengan guru-guru kita.
Bila belajar agama lewat media sosial, jangan belajar sepotong-sepotong dan tidak runtut. Ditakutkan adanya pemahaman yang salah terhadap teks agama yang menyebabkan kita tergelincir dalam jurang fitnah.
Selanjutnya, kita bisa mengembangkan diri untuk mengenalnya melalui sirahnya dan hadis-hadis yang beliau sampaikan melalui lisan para sahabat, tabiin dan tabiu tabi’in. Ilmu alat dalam memahami ayat dan hadis pun harus dipelajari untuk mendapatkan pemahaman yang kuat terhadap agama.
3. Kita Membutuhkan Kontrol Sosial Keagamaan
Ustaz dan para pemuka agama lainnya adalah salah satu eksekutor dalam kontrol sosial, moral dan agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang melanggar norma akan mendapat sanksi sosial. Sebagai contoh, kita harus menyebut lonte dan pelacur kepada perempuan yang fakta dan realitasnya bekerja dengan menjual diri.
Tentu, tidak tepat kita mengatakan perempuan keren. Perempuan yang disebut lonte seharusnya malu dan dia tidak mengulangi perbuatannya kembali. Demikian, baik masyarakat dan pemuka agama memiliki tanggung jawab dalam menangani permasalahan moral keagamaan di masyarakat.
Permasalahan saat ini, kita tidak bijak dalam menentukan tempat dan konteks pembicaraan kita. Untuk itulah para ustaz diharapkan mampu menjadi eksekutor yang bijaksana.
4. Apa pun Bentuknya, Ustaz Dibutuhkan oleh Masyarakat
Agama Islam adalah agama yang kompleks. Di dalamnya mengatur urusan tauhid, beribadah, bermuamalah, berpolitik, dan banyak lagi. Agama Islam adalah acuan semua lini kehidupan. Adapun urgensi ustaz adalah merekalah yang mendakwahkan ajaran dan nilai agama.
Kita membutuhkan seribu macam ustaz untuk berbagai kemajemukan masyarakat. Bagaimana harus bersikap terhadap orang muslim atau bukan, sudah diatur di dalam kitabnya. Adapun bila kita dapati perbuatan mereka tidak mencerminkan perbuatan yang baik, janganlah perbuatannya diambil sebagai tauladan.
Dari pemaparan singkat di atas, tidak perlu lagi kita mengerutkan dahi apalagi terpancing emosi. Sudahlah, ada baiknya kita menjauhi hiruk pikuk suasana bersosial media yang tidak sehat dengan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat lainnya.