Hari ini kita tengah berada pada masa-masa yang membahagiakan, sebab kita tengah berada pada hari yang istimewa yakni hari raya Idul Adha. Pada hari-hari ini, yakni mulai tanggal 10 Dzulhijjah dan 3 hari setelahnya (hari tasyrik), kita dianjurkan untuk ber-qurban dengan cara menyembelih salah satu hewan ternak, baik itu kambing ataupun sapi, bagi siapa saja yang mampu untuk melaksanakannya.
Adapun tujuan kita dalam menyembelih binatang ternak ini tidak lain adalah untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Itulah sebabnya penyembelihan binatang ternak ini biasa disebut juga dengan qurban, di mana istilah ini berasal dari bahasa Arab yang artinya "dalam keadaan yang dekat."
Secara istilah, makna qurban tersebut adalah dalam keadaan yang dekat dengan Allah SWT. Itulah kiranya keadaan yang diharapkan manakala seseorang menyembelih binatang ternak itu secara tulus ikhlas pada hari raya Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik ini, yakni agar keadaan mereka menjadi semakin dekat dengan Allah SWT.
Jika kita mempelajari sejarah mengenai disyariatkannya ibadah qurban ini, kita tentu tidak dapat melepaskan diri dari peristiwa ber-qurban yang pernah dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim AS. Pada suatu ketika Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih putera beliau yang amat dikasihi, yakni Nabi Ismail AS. Hal ini sebagaimana diterangkan di dalam QS As-Shaffat ayat 102 berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
"Maka, ketika Nabi Ismail sudah mencapai usia yang dewasa, Nabi Ibrahim bertanya kepadanya; 'Wahai Anakku, sesungguhnya aku pernah bermimpi bahwa aku sedang menyembelihmu. Apa pendapatmu mengenai hal ini?"
Mendapati pertanyaan yang demikian dari bapaknya, maka Nabi Ismail pun menjawab:
قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Wahai Bapakku, tunaikanlah apa yang telah diperintahkan (oleh Allah kepadamu). In syaa Allah, jika Allah menghendaki engkau akan mendapatiku termasuk dalam golongan orang-orang yang sabar."
Mendapat jawaban yang penuh keyakinan dari puteranya ini, maka Khalilullah Nabi Ibrahim pun semakin yakin akan perintah Allah untuk menyembelih putera kandungnya ini.
Begitu Nabi Ismail sudah bersiap membaringkan pelipisnya di atas tanah, begitu juga Nabi Ibrahim bersiap untuk menyembelih leher putera beliau dengan pisau yang paling tajam, maka Allah pun memerintahkan malaikat Jibril AS untuk menggantinya dengan seekor domba yang besar. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS As-Shaffat ayat 107 berikut:
وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
"Dan Kami gantikan Ismail itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar."
Berdasarkan kisah Khalilullah Ibrahim AS dan keluarganya ini, kiranya ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil.
Pertama, begitu tingginya ketaatan Nabi Ibrahim beserta keluarga beliau kepada Allah, sehingga manakala Allah telah memerintahkan sebuah hal kepada mereka, maka mereka pun dengan sungguh-sungguh akan lekas melaksanakan perintah Allah itu dengan tanpa keraguan.
Sebab mereka meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih berharga di dunia ini dibandingkan dengan keimanan, ketaqwaan dan ketaatan mereka dalam menjalankan perintah-perintah Allah.
Kedua, melalui peristiwa ini kita juga dapat meneladani metode yang digunakan oleh Nabi Ibrahim AS dalam mendidik keluarga dan anak beliau agar menjadi bagian dari golongan yang diridhai oleh Allah, yakni beliau menggunakan metode diskusi atau musyawarah. Sebelum beliau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah, beliau sempat meminta pendapat dan pertimbangan dari puteranya, yakni Ismail AS mengenai wahyu yang pernah disampaikan untuk beliau melalui mimpi.
Dan ternyata, istri beserta anak beliau pun secara langsung dapat meyakini atau mengimani bahwa mimpi tersebut sejatinya merupakan perintah dari Allah yang memang benar adanya.
Melalui kisah beliau dan keluarganya ini, kiranya kita juga dapat belajar mengenai pentingnya diskusi atau musyawarah dalam menyelesaikan bermacam persoalan secara bersama-sama, baik itu dalam lingkup keluarga, dalam lingkup bermasyarakat maupun bernegara. Sebab dengan bermusyawarah kiranya kita akan memperoleh sudut pandang dan pertimbangan yang lebih luas mengenai ragam permasalahan yang biasa hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Adapun perihal ketiga yang dapat kita ambil pelajaran dari peristiwa ber-qurban-nya Nabi Ibrahim tersebut adalah mengenai diharamkannya mengalirkan darah manusia secara batil. Sebab esensi dari keberadaan ajaran agama Islam adalah menjamin keamanan dan keselamatan bagi pihak lain. Dengan kata lain, menjadi sangat jelas bahwa tindakan menzhalimi orang lain apalagi menghilangkan nyawa seseorang secara batil, hal tersebut merupakan perihal yang jelas salah adanya.
Selain itu, peristiwa tersebut sekaligus menjadi penegas bahwa bentuk-bentuk pemujaan yang pernah terjadi pada masa sebelumnya, di mana dalam ritualnya adalah dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai sesembahan, hal tersebut merupakan ritual yang salah dan sesat karena telah diajarkan oleh iblis dan para sekutunya.
Sebab, agama Islam yang sangat luhur ajarannya telah memerintahkan untuk menghargai dan menjaga setiap nyawa manusia dan bukan bertindak yang sebaliknya.
Demikianlah kiranya diantara hikmah yang dapat kita pelajari seiring hadirnya hari raya Idul Adha ini. Semoga momentum penuh dengan keberkahan ini dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Amin yaa Rabbal 'aalamiin.