Selasa, 29 Januari 2019, saya berkesempatan mengikuti Workshop & Kelas Menulis Cerita Kertas bersama Qureta dan APP Sinar Mas. Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari—hari pertama merupakan kunjungan ke kawasan PT OKI Pulp and Paper Mills, sementara hari selanjutnya dilaksanakan di Hotel Swarna Dwipa, Palembang.

Workshop ini adalah kesempatan emas yang mempertemukan saya dengan para pembicara hebat. Salah satunya adalah Okky Madasari. Beliau merupakan seorang pengarang yang meraih penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2012, sebuah ajang penghargaan bergengsi bagi dunia kesusastraan Indonesia.

Selain Okky, pembicara lain dalam workshop ini adalah Luthfi Assyaukanie. Ia merupakan pendiri dan CEO Qureta. 

Di sisi lain, beliau juga seorang dosen yang banyak mempublikasikan buku dan artikel di jurnal. Tentunya sudah tidak diragukan lagi sepak terjang Luthfi di dunia tulis-menulis.

Meeting room yang dingin terasa semakin dingin menyaksikan Okky berdiri langsung di hadapan saya. Saya merasa ini akan menjadi peristiwa besar bagi saya untuk terus memperjuangkan impian menjadi seorang penulis besar seperti beliau.

Okky menyampaikan bahwa ketika kita menemukan suatu peristiwa yang ingin ditulis, terkadang kita terlalu fokus pada sesuatu yang terlihat oleh mata. Akan tetapi, hal yang selalu menjadi daging dari sebuah cerita adalah manusianya. 

"Mendeskripsikan orang-orang yang kita temui akan menjadi feature yang menarik untuk diceritakan."

Beliau kembali menambahkan, kisah yang memikat akan selalu diperoleh dari bagaimana si penulis membangun sebuah argumen yang diperkuat oleh data-data yang ditemukan di lapangan. Ini menjadi tantangan bagi penulis agar jeli dan teliti mencari sumber untuk dikembangkan dalam sebuah cerita.

Jika Okky lebih banyak mengarahkan peserta untuk menulis secara praktis, Luthfi sebagai pembicara pertama lebih banyak menjelaskan materi secara teoritis. Di awal, beliau menceritakan latar belakang terbentuknya Qureta.

Banyak orang yang masih tidak tahu makna dari nama Qureta itu sendiri. Luthfi menjelaskan bahwa pemberian nama website biasanya dilatarbelakangi ketersedianya domain di internet. 

Qureta sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti "oase". Harapannya, beliau ingin menjadikan Qureta layaknya mata air kehidupan di lahan tandus.

Di tengah kegersangan media yang dipenuhi berita hoaks yang menebar fitnah dan kebencian, Qureta ingin hadir sebagai platform yang menyejukkan. Artinya adalah Qureta ingin menjadi media teks alternatif untuk bacaan-bacaan yang bersifat objektif dan bernilai secara kualitas.

"Untuk apa Qureta hadir sebagai suatu platform? Apa pentingnya membuat platform?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Luthfi cukup menggelitik. Kami sudah lama mengenal media internet, namun tidak banyak yang kami ketahui tentang pentingnya membuat platform.

Platform memiliki peran penting di dunia jurnalisme. Seperti halnya ungkapan yang dipopulerkan oleh Bill Gates: Content is king.

Artinya, jika ingin membuat media yang berhasil, maka buatlah isi yang berkualitas. Konten yang berkualitas akan mendapatkan reputasi yang baik di dunia penerbitan.

Semenjak media teks merambah di era digital, konten tak lagi menjadi raja. Kini platform yang berkuasa dalam lanskap media. 

Lain halnya dengan media tradisional, platform media digital mampu menyesuaikan kualitas tiap konsumen dari setiap data kunjungan. Oleh karenanya, platform yang baik akan selalu berada pada posisi teratas dalam mesin pencarian di internet.

Qureta sendiri merupakan platform media teks berjenis User Generated Content (UGC) di mana tulisan dalam media diisi oleh para pengguna. Dengan prinsip penyuntingan minimal, semua pengguna berhak mengirim tulisan. 

Namun, semua tulisan akan masuk ke redaksi untuk diseleksi agar layak dipublikasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa Qureta tetap menyajikan konten tulisan yang berkualitas dibandingkan platform berbasis UGC lainnya.

Di penghujung materi, Luthfi menyampaikan adagium terkenal dari Imam al-Ghazali: "Jika kau bukan anak raja, maka menulislah.” Adagium yang singkat, namun menyirat makna yang begitu mendalam.

Menulis adalah tiket termurah untuk naik kelas. Suatu hal yang membuat orang biasa menjadi luar biasa adalah melalui guratan pena yang dihasilkan.

Sesi terahir dalam Workshop & Kelas Menulis ini adalah penyampaian kesan dan pesan oleh para peserta. Ara salah satunya.

Ia menjadikan menulis sebagai pekerjaan komersial. Akan tetapi, melalui workshop ini, Ara mendapatkan banyak ilmu mengenai tata cara menulis yang selama ini sering dianggap sepele oleh banyak orang.

Nova, peserta lain dalam workshop ini pun mengakui, banyak penulis yang mengabaikan paragraf pertama hingga kedua, dan menganggapnya hanya sebagai paragraf pembuka. Namun, faktanya adalah banyak sekali pembaca yang membaca artikel hanya bertahan di kedua paragraf tersebut karena jenuh dengan panjangnya bacaan.

Melalui workshop ini, Nova belajar bagaimana menjadikan paragraf pertama dan kedua dalam tulisan mampu memenjarakan mata para pembaca, sehingga mereka akan terus membaca artikel sampai tuntas. Tentunya dengan menjadikan kedua paragraf tersebut tampak menarik dan memikat hati para pembacanya.

Tak terasa sesi demi sesi kami lewati dengan cepat. Yang terpenting usai menyelesaikan workshop ini adalah terus menulis.

Tidak ada trik jitu untuk bisa menulis kecuali menulis itu sendiri. Menulis terus-menerus akan membuat candu bagi penulisnya. Dan tentunya akan melatih kemampuan menulis kita menjadi lebih baik, menarik, dan memenjarakan mata pembaca.