Agama dalam sebagian besar wilayahnya, tidak melulu menyentuh soal ibadah. Lebih daripada itu, agama adalah sesuatu yang hidup bersama dengan kemanusiaan.
Agama yang terjebak dalam institusi sosiologis memiliki kecenderungan statis dan melembagakan ritus-ritus transcendent yang miskin manfaat, namun ekslusif. Akibatnya, agama menjadi kehilangan realitas aksiologisnya dalam kerja kemanusiaan.
Itulah mengapa agama akan tetap ‘membutuhkan’ prototype ideal yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip, pedoman-pedoman maupun norma-norma yang ada di dalamnya. Prototype ideal itulah yang jamak disebut sebagai prophet (nabi). Dengan kata lain, diperlukan upaya membumikan prinsip-prinsip profetik menuju sebuah transformasi kerja kemanusiaan.
Kritik yang saat ini muncul atas adanya kerja kemanusiaan adalah adanya pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung mengkooptasi nilai dari kemanusiaan itu sendiri. Ada ambisi-ambisi yang justru menurunkan derajat ‘amaliah’ kerja kemanusiaan. Sebagai contoh adalah ambisi-ambisi politik dan kekuasaan yang masuk dan mengaburkan makna dari kerja kemanusiaan.
Kepentingan-kepentingan materialistic seperti kekuasaan secara dramatis telah memanipulasi situasi dan kondisi sehingga kerja kemanusiaan berubah menjadi kerja elektoral. Selain ambisi politik kekuasaan, kooptasi nilai juga dilakukan melalui dunia entertainment.
Betapa sebuah penderitaan terkadang menjadi cara untuk mendulang rating dan keuntungan. Meskipun pada satu sisi, ada bantuan diterima secara nyata namun di sisi lain ada sebuah ‘iba’ yang dipertontonkan kepada publik. Hal ini bisa jadi miskin simpati dan empati kepada si penerima bantuan. Kerja kemanusiaan didorong menjadi satu komoditas yang dapat ditransaksikan.
Pengamatan ini tentu membutuhkan refleksi batiniah yang lebih mengedepankan aspek manusia sebagai makhluk yang tidak dapat lepas dari unsur ilahiyah. Manusia tidak berdiri sebagai manusia, namun sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Artinya, ada refleksi futuristic melampaui kehidupan dunia, sehingga apa yang dilakukan manusia dalam kerja kemanusiaan memiliki tendensi yang lebih jauh yakni akhirat. Dalam konteks inilah, agama mendapatkan tempatnya dalam kerja kemanusiaan. Agama memiliki tanggungjawab transformatif atas kerja kemanusiaan.
Sejauh kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok lepas dari konteksnya sebagai pengabdian pada Tuhan, sepanjang itulah kerja kemanusiaan akan kehilangan titik pangkal dan maknanya. Perlu upaya keras untuk menemukan kembali makna hakiki atas kerja kemanusiaan.
Manusia yang tergabung dalam satu kelompok tertentu maupun dalam konteks individu perlu mengupayakan kesalehan dan melihat ke dalam diri yang paling dalam menuju makna sejati. Kebermaknaan yang sejati inilah dalam banyak hal sejalan dengan agama, terutama karena bangsa Indonesia telah berikrar dalam satu pemahaman yang sama yaitu sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dimensi aksiologis dari agama dan kerja kemanusiaan, dengan sedikit menafikan aspek ritus keagamaan, hakikatnya telah mengkristal menjadi prinsip-prinsip yang secara nyata telah dipraktikan dalam kehidupan seorang nabi (prophet). Dimensi ini bersifat universal, artinya dalam penampakan luarnya, prinsip-prinsip tersebut ‘disepakati’ sebagai prinsip yang berlaku umum dalam hubungan kemanusiaan.
Sayangnya, prinsip-prinsip tersebut secara perlahan terdegradasi sehingga terlepas dari nilai-nilai Ketuhanan. Oleh karena itu, perlu upaya bersama untuk membumikan kembali prinsip-prinsip profetik demi tercapainya transformasi kerja kemanusiaan.
Prinsip-prinsip profetik yang dimaksud antara lain yaitu shiddiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan dengan keteladanan) dan fathonah (cerdas). Keempat prinsip tersebut secara berkesinambungan menjadi mata rantai yang bekerja demi transformasi kerja kemanusiaan.
Pertama, shiddiq secara bahasa berarti benar dan jujur. Namun pemahaman lebih jauh oleh para ahli agama, shiddiq bermakna membenarkan dengan hati, lisan dan perbuatan. Hal ini semakna dengan iman. Dengan demikian, maka prinsip shiddiq tentu melahirkan sebuah kekuatan mental psikologis dalam kerja kemanusiaan.
Orang yang mampu menginternalisasi prinsip shiddiq tentu pantang untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak sejalan dengan hati dan perkataannya. Kerja kemanusiaan memerlukan shiddiq agar dalam praktiknya manusia tidak terjebak oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Shiddiq akan membawa pada konsep bahwa kerja kemanusiaan harus diperjuangkan secara benar, sejalan dengan hati, perkataan dan perbuatan. Hal ini akan meminimalisir manipulasi-manipulasi subyektif atas kerja kemanusiaan.
Prinsip kedua adalah amanah. Secara bahasa, amanah berarti dapat dipercaya atau kepercayaan. Ada dua subyek yang harus ada dalam kepercayaan, yaitu pihak yang memberi kepercayaan dan pihak yang mendapat kepercayaan. Dalam bahasa agama, pihak yang memberi kepercayaan dalam bentuknya yang paling sakral dan paling agung adalah Tuhan. Kehidupan manusia pada dasarnya merupakan titipan Tuhan kepada manusia.
Tuhan mempercayakan kepada manusia untuk mengelola kehidupannya agar tercipta kemakmuran dan keadilan. Oleh karena itu, dalam konteks yang lebih sederhana Tuhan mempercayakan umatnya yang dalam kondisi lemah dan memerlukan bantuan kepada manusia yang dikaruniai kelebihan dan kekuatan. Dalam bencana alam misalnya, Tuhan pada hakikatnya menitipkan sebagian kelapangan untuk diberikan kepada para korban.
Hal ini tentu saja memiliki makna yang mendalam karena Tuhan sebagai sumber kelapangan memberi kepercayaan kepada manusia untuk disalurkan atas nama-Nya kepada korban. Akan menjadi masalah apabila kepercayaan atau amanah ini kemudian dikhianati. Manusia secara penuh kesombongan menempatkan dirinya dengan berbagai ambisi dan kepentingan kepentingan mengaburkan peranan Tuhan sebagai sumber kelapangan dan menggantinya dengan ‘diri’ manusia yang lemah dan rapuh.
Dengan demikian, memahami prinsip amanah ini menjadi sebuah keniscayaan dalam kerja kemanusiaan. Amanah dalam kerja kemanusiaan menanamkan prinsip bahwa manusia adalah penyalur dan perantara dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepercayaan yang diberikan Tuhan.
Prinsip ketiga adalah tabligh. Secara bahasa tabligh berarti menyampaikan. Konteksnya secara lebih luas dapat dimaknai sebagai menyampaikan atau mengajak sekaligus memberikan sebuah keteladanan mengenai kebenaran. Prinsip ini, menampilkan bahwa kerja kemanusiaan harusnya berakibat keluar, yakni keluar dari kungkungan diri sendiri. Kemanfaatan hakiki seyogyanya dirasakan dan disampaikan secara benar kepada umat manusia.
Dengan demikian, kritik di atas menjadi jelas bahwa kerja kemanusiaan yang dipenuhi kepentingan politik, kekuasaan, elektoral, rating dan keuntungan sudah tidak dapat lagi mendapatkan tempat. Prinsip tabligh ini memiliki ciri lemah lembut, kasih sayang, tidak diskriminatif, tidak menjelek-jelekkan, tetap menjunjung harga diri, harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu, sangat relevan apabila prinsip tabligh menjadi nilai dalam kerja kemanusiaan. Terlebih lagi, tabligh juga memiliki muatan keteladanan. Artinya, ada sifat transformatif yang melekat di dalamnya, baik transformatif dalam arti sempit (diri sendiri) dan transformatif dalam arti yang lebih luas (bagi kemanusiaan).
Prinsip keempat adalag fathonah. Secara bahasa, fathonah berarti cerdas. Bukan hanya terkait kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan emosional, sosial dan spiritual. Dalam muaranya yang lebih tinggi, cerdas yang dimaksud adalah kebijaksanaan (hikmah). Sehingga apa yang dilakukan manusia dengan prinsip fathonah akan melahirkan pemahaman yang utuh dan mampu memadukan segala potensi kecerdasan yang dimiliki.
Hal ini tidak terlepas dari tepancarnya cahaya Tuhan. Prinsip fathonah ini menjadi refleksi bahwa kerja kemanusiaan seharusnya mampu menyucikan jiwa manusia dari belenggu kepentingan duniawi. Alhasil, kerja kemanusiaan tidak lagi sebuah kerja untuk manusia tetapi pengabdian untuk Tuhan. Dengan demikian, visi teologis dapat diterapkan dalam kerja kemanusiaan yakni visi kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.
Keempat prinsip-prinsip tersebut, secara praktis telah diterapkan oleh nabi (prophet). Keempatnya secara dinamis saling menguatkan dan saling melengkapi. Betapa shiddiq menjadi fondasi awal agar manusia dapat diberikan amanah. Sedangkan amanah hanya dapat dipertanggungjawabkan secara benar apabila manusia dibekali oleh prinsip tabligh dan fathonah. Keempatnya ibarat mata rantai yang saling berputar pada sebuah poros keikhlasan demi terwujudnya transformasi kerja kemanusiaan.