“Program Nawa Cita yang dikampanyekan oleh Presiden, pada kenyataannya tidak terealisasi. Pengonversian lahan masih eksis sampai-sampai sulit untuk dibendung.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh Edo Rahman, Manajer Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, pada saat diminta tanggapan mengenai masifnya pertambangan illegal.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat keempat global sebagai negara penghasil batu bara ter-akbar di dunia. Tak ayal, hal tersebut menjadi spotlight bagi pelaku tambang untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memang berfokus terhadap investasi berdalih eskalasi perekonomian nasional. Sehingga beliau gencar menggalakkan skema deregulasi dan debirokratisasi.
Pengabsahan UU Minerba Mei 2020 silam menuai polemik di tengah masyarakat. Revisi UU Minerba dianggap memboncengi beberapa pasal titipan predator tambang.
Sebagai contoh, pasal yang berlabel kontroversial adalah pasal 169A--bagian ketentuan peralihan. Sebelum dilakukan perubahan, pasal ini mensyaratkan perusahaan tambang melakukan sistem lelang ketika kontrak pertambangan telah habis. Akan tetapi, dalam perubahan terbaru, syarat lelang dihapus.
Tak pelak perubahan tersebut disambut kritikan keras oleh peneliti lingkungan dan akademisi . Menurut mereka, jika perpanjangan izin tambang dilakukan tanpa melalui sistem lelang, dapat membuka kesempatan eksploitasi bagi pelaku tambang.
Sementara itu, pemerintah bersikukuh bahwa investasi pertambangan adalah strategi transisi terbaik menuju negara maju. Kehadiran tambang dianggap memberi dampak positif bagi masyarakat seperti: terciptanya lapangan pekerjaan; masuknya investasi; dan dampak trickle down effect lainnya. Nampaknya imajinasi pemerintah terlalu tinggi hingga lupa akan aspek rentan lain yang akan muncul akibat kegiatan tambang.
Sebanyak 1.735 lubang bekas galian tambang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Lahan hijau disulap oleh perusahaan tambang menjadi hamparan tanah tandus lengkap dengan ratusan bulldozer. Udara bersih mendadak terkontaminasi kepulan asap dan debu perusahaan. Jernihnya air sungai telah berubah hitam pekat bercampur bau yang menyengat.
Kerusakan lingkungan ini lahir dari perselingkuhan korporasi tambang dengan pemerintah melalui produk legislasi berwatak ekonomistik. Sangat kentara bahwa pemerintah tak memprioritaskan kontinuitas hidup masyarakat.
Ambiguitas “Membangun”
Pernyataan Edo Rahman, manajer Walhi Nasional, mengandung kritik terhadap program yang diusung Joko Widodo kala itu. Jokowi menawarkan sembilan agenda prioritas dalam memimpin Indonesia 2014-2019. Salah satu agenda dalam program tersebut adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah juga desa.
Pada saat kampanye, konotasi “membangun” adalah memperbaiki ketertinggalan daerah dan desa terpencil sehingga dapat eksis mengikuti perkembangan zaman, baik dalam segi sosial maupun pemerintahan. Setelah terpilih menjadi presiden, nampaknya terjadi pergesaran makna “membangun”-- yakni membangun fasilitas pertambangan.
Sebagai contoh: daerah Samboja, terletak di Kutai Kartanegara. Wilayah tersebut terdapat pertambangan batu bara illegal. Kegiatan pertambangan itu ditolak keras oleh masyarakat setempat. Masyarakat mengklaim bahwa kegiatan tambang dapat merusak sumber air bersih dan menghancurkan irigasi persawahan.
Benar saja, pertambangan ini memang terletak di bibir bendungan sebagai wadah pengirigasian ±450 hektar sawah. Sawah tersebut juga tempat masyarakat mengadu nasib, mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), provinsi Kalimantan Timur termasuk kedalam daerah dengan eksploitasi tambang illegal besar. Masih di Kalimantan Timur, tepatnya aktivitas pertambangan batu bara illegal Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Aktivitas tambang telah menghancurkan 48.000 hektar vegetasi. Padahal hutan ini telah masuk dalam kawasan konservasi, sudah seharusnya perusahaan tersebut terjerat sanksi.
Penurunan kualitas lingkungan ditandai dengan penurunan kualitas fisik, kimia, dan biologi (Kurnia, 2001). Praktik pertambangan illegal menerapkan Gophering/Coyoting method, yaitu cara kerja penambang tanpa persiapan terlebih dahulu. Mereka hanya fokus terhadap pencarian bijih tanpa standarisasi.
Menariknya, kegiatan tambang illegal yang terpampang nyata mengakibatkan kerusakan lingkungan, seolah terlindungi oleh elite politik. Hal ini terbukti dari terus bertambahnya tambang yang lolos izin karena memiliki politically exposed persons. Elite politik banyak terlibat dalam kasus ini, bahkan sebagai pemilik saham.
Seperti yang dilakukan Kutai Energi, bagian dari grup PT Toba Sejahtera, milik Luhut Binsar Pandjaitan. Kutai Energi telah melakukan land clearing terhadap lahan milik warga Kecamatan Loa Janan. Akibatnya, akses penghidupan rakyat hancur dan sungai sebagai sumber air tercemari. Masyarakat telah menggugat dan memenangkan gugatannya, akan tetapi tak ada iktikad reklamasi lahan.
Daerah aktivitas tambang selalu meninggalkan dampak kerusakan ekosistem sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal. Dimana terdapat suatu aktivitas yang bersifat alamiah, kimia, fisik, serta biologi, maka disitulah terjadi sebuah perubahan (Soemarwoto, 2005). Secara garis besar, pengelolaan tambang di Indonesia terkesan ngawur dan srampangan. Statement ini bukanlah tanpa dasar. Hal ini dapat dibuktikan melalui beberapa fakta lapangan yang terjadi.
Pertama, peninggalan lobang galian. Setelah berhenti beroperasi, perusahaan tambang tidak menutup kembali lobang bekas tambang. Lobang dibiarkan begitu saja sehingga pada saat musim penghujan lobang tersebut akan tergenang air. Parahnya lagi, disekitaran lobang tidak ada tanda peringatan bahaya sama sekali.
Ini dapat menyebabkan tenggelamnya anak-anak dan kecelakaan. Jatam mencatat dari Januari 2011-Maret 2019 di Kalimantan Timur setidaknya terdapat 32 anak-anak yang tewas tenggelam di dalam lobang bekas tambang.
Kedua, pencemaran air. Proses tambang selalu menghasilkan polutan atau limbah beracun. Pemegang izin membuang limbah kedalam sungai dengan dalih efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Tentu ini perbuatan yang keliru.
Ketiga, pembukaan lahan oleh penambang illegal menciptakan degradasi kehidupan flora dan fauna. Perusahaan mengklaim bahwa mereka sudah melakukan pembukaan lahan dengan metode tebang pilih. Namun, pernyataan tersebut hanyalah bingkai proseduralisme agar perusahaan “terlihat” berlogika kelestarian lingkungan. Keempat, polusi udara akibat debu dengan asap hasil produksi.
Masyarakat sekitar pertambangan menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) karena setiap hari menghirup udara yang tidak sehat. Umumnya, penderita berasal dari kategori anak-anak. Kelima, struktur tanah akan berubah seiring dengan erosi. Kapasitas infitrasi dan penyerapan air tanah pun ikut berkurang.
Pada akhirnya, pertambangan berdalih kesejahteraan adalah pengklisean utopis. Realitanya, kegiatan tambang merupakan “bisnis jahat” yang lebih banyak melahirkan kerugian. Janji kampanye pemerintah bak bius bagi masyarakat yang menciptakan halusinasi kesentosaan.
Kiranya, dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tambang untuk kesejahteraan hanyalan igauan semata. Untuk menjadi negara maju tidak hanya melalui posisi stationer dengan memanfaatkan semua sumber daya alam yang ada (Tarigan, 2005:48). Melainkan pembatasan kekuasaan sehingga mengurangi dampak korupsi, menjaga stabilitas hukum-polik-ketertiban masyarakat, serta memperbaiki pendidikan. Kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara. Apabila rakyat sakit, seharusnya negara hadir sebagai perawat—bukan penjahat.