Secara sederhana, etika itu berkaitan dengan baik dan buruk. Dibedakan dengan istilah estetika yang bicara indah dan tidak indah, atau logika yang bicara benar dan salah.
Istilah "etika" secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir (Bertens, 2001:4). Dalam bentuk jamaknya, ta etha yang berarti adat kebiasaan (Handoyo, et al, 2016:1).
Menurut Oxfor Dictionary of English, etika (ethic) merupakan kata benda yang dalam bentuk tunggal diartikan sebagai seperangkat prinsip moral yang berkaitan dengan kelompok tertentu, bidang, atau bentuk prilaku tertentu. Sedangkan etika (ethics) dalam bentuk jamaknya diartikan sebagai prinsip-prisip moral yang mengatur prilaku seseorang dalam melakukan suatu kegiatan.
Seturut dengan pengertian di atas, K. Bertens mengartikan etika dalam tiga hal, yakni: pertama, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kedua, etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral (kode etik); ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik atau buruk. Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno (1987:14), etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Dari pengertian di atas, kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa etika merupakan cabang ilmu yang memeriksa atau menekankan pelaksanaan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran moral tertentu yang berlaku luas di suatu kelompok atau masyarakat. Ajaran-ajaran moral ini bisa diambil dari ajaran agama, filsafat, maupun dari kebudayaan suatu masyarakat.
Sementara itu, politik secara etimologis juga berasal dari bahasa Yunani polis yang berarti kota atau biasa juga dipadankan dengan Negara-kota (Takwin, 2011:vii).
Di awal tulisan ini saya sudah mengutip pernyataan Aristoteles dalam buku Politic (1995), bahwa politik adalah sebuah asosiasi tempat manusia bergabung yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan. Bagi Aristoteles, asosiasi yang paling tinggi dan bersifat inklusif itu adalah polis (kota) atau asosiasi politis.
Artinya, polis adalah tempat terbaik bagi bagi manusia yang memungkinkan seorang individu untuk mencapai tujuan terbaiknya. Hal ini didasarkan pada satu fakta bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang hanya bisa berfungsi optimal jika manusia hidup dalam sebuah asosiasi atau kebersamaan dengan manusia lainnya.
Tetapi karena ukuran populasi sebuah Negara-kota (polis) sudah cukup besar, terdiri dari beragam suku dan etnis, stratifikasi sosial yang kompleks, dan satu sama lain tidak saling kenal mengenal secara baik, maka untuk menjalin kehidupan bersama dibutuhkan sebuah pengaturan(Diamond 2015). Tanpa pengaturan akan terjadi sebuah kondisi (meminjam istilah Emile Durkheim) yang anomi, yakni kekacauan yang disebabkan oleh tidak adanya aturan.
Bagi Durkheim, situasi tanpa aturan akan membuat manusia kembali kepada insting hewaninya, saling memangsa satu sama lain demi kebutuhansurvive dan berketurunan.
Dalam konteks itulah pengertian politik ditegaskan, yakni sebagai sebuah pengaturan yang memungkinkan kehidupan dan kebaikan bersama dapat tercapai. Dalam sebuah kota yang ukuran populasinya sangat besar, tentu saja konflik antar masyarakat tidak bisa dihindarkan. Karena itu politik hadir sebagai sebuah pengaturan, untuk menciptakan keteraturan melaui hukum, distribusi kekayaan, institusi yang baik, dll.
Namun, ada juga orang yang melihat politik semata-mata sebagai usaha individu atau kelompok tertentu untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dalam pengertian seperti itu, politik tidak lebih dari upaya mencari kawan dan lawan. Politik di sini mengabaikan kebersamaan (harmoni) dan lebih cenderung pada penciptaan konflik atau disharmoni. Di sini pertanyaan sederhananya adalah: “saya dapat apa dari proses politik itu?”
Di sinilah etika politik hadir untuk menjawab tafsir politik yang cenderung pragmatis tersebut. Bahwa tujuan politik itu adalah untuk menciptakan harmoni dan keadilan dalam menempuh kehidupan bersama. Untuk itu, etika politik menganjurkan prinsip-prinsip moral dalam menjalankan pengaturan kehidupan bersama.
Thompson (2000) dalam buku “Political Ethics and Public Office” memahami etika politik sebagai praktik melakukan penilaian etis atas tindakan politik. Sepintas, Politik dan etika seperti dua hal yang berjauhan. Politik adalah dunia kekuasaan murni yang diatur dengan asumsi-asumsi kebijakan, sedangkan etika sebagai dunia prinsip murni yang diatur oleh imperatif moral.
Oleh sebab itu, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon artinya “binatang yang berpolitik”. Menurut pandangan Rocky Gerung, zoon politicon ini berarti sebagai pembeda antara manusia dan binatang. Hanya manusia yang mampu berpolitik, sebab hanya manusia yang mampu memikirkan tentang pengaturan dan keadilan dalam tatanan kehidupan bersama.
Ruang Publik dan Masyarakat Warga (Civil Society)
Istilah “publik” tidak berasal dari bahasa dan kultur Indonesia, bukan pula dari bahasa Yunani. Menurut Hardiman (2010) istilah publik ini adalah sebuah tradisi dan kosakata yang diadopsi dari Barat menjadi kosakata politik di negara kita, Indonesia.
Secara etimologis, istilah publik berasal dari bahasa Latin “publicus” yang artinya merujuk pada dua hal: 1) milik rakyat sebagai satuan politis atau milik Negara; 2) sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk atau dengan kata lain “umum” (Hardiman 2010:3).
Dari definisi di atas, sudah terkandung dua pengertian yang sangat penting untuk digarisbawahi: adanya sebuah ruang yang menjadi tempat untuk membicarakan hal-hal yang bersifat umum dan adanya subjek hukum, yakni masyarakat warga (civil society). Dalam sistem demokrasi keterlibatan masyarakat warga untuk membicarakan hal-hal yang bersifat publik itu adalah sebuah keniscayaan, sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat.
Menurut pandangan Jurgen Habermas, keterlibatan masyarakat warga untuk membicarakan kepentingan umum (volente generale) harus disalurkan melalui “ruang publik” atau Őffentlichkeit dalam bahasa Jerman atau public sphere dalam bahasa Inggris.
Ruang publik atau Őffentlichkeitdalam bahasa Jerman berarti “keadaan yang dapat diakses oleh semua orang” (Menoh 2015:85). Hal ini berarti bahwa ruang publik bukanlah institusi formal. Ruang publik adalah ruang informal dimana semua masyarakat warga dapat terlibat aktif berkomunikasi dalam membicarakan pandangan-pandangannya mengenai persoalan yang bersifat publik.
Menurut Habermas, ruang publik harus otonom, tidak berada dalam intervensi pasar dan kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk menjamin berlangsungnya proses komunikasi yang setara di antara sesama masyarakat warga (Hardiman 2009; 2011; Menoh 2015).
Di sini ruang publik dapat digambarkan sebagai jejaring komunikasi dari pandangan-pandangan (opini) masyarakat warga yang mengekspresikan sikap positif atau negatif. Aliran-aliran komunikasi yang berlangsung di ruang publik disebut sebagai opini-opini publik.
Ruang publik adalah arena tempat berlangsungnya perdebatan-perdebatan publik yang bebas dari intervensi pemerintah maupun pasar kapitalisme. Misalnya, warkop, blog, media sosial, dll. Menurut Habermas, ruang publik bukanlah sekadar ruang atau arena untuk menyampaikan pandangan dari masyarakat warga, lebih dari itu, masyarakat harus dapat mendramatisir sedemikian rupa problem-problem yang ada sehingga dapat didengar dan terhubung dengan para pengambil kebijakan.
Oleh sebab itu, ruang publik harus memenuhi dua syarat utama: harus bebas dan kritis. Bebas artinya semua orang dapat berbicara dan terlibat dalam perdebatan politik. Sedangkan kritis bermakna kedalaman dalam menyoroti proses-proses pengambilan kebijakan yang bersifat publik. Melalui cara ini, publik dapat terlibat secara langsung dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Melalui partisipasi kritis dalam ruang publik politis ini, maka kedaulatan rakyat itu bisa terwujud, bukan hanya dalam pemilu. Pemilu bukanlah satu-satunya locus kedaulatan rakyat. Selama ini ada ruang kosong kedaulatan antara satu pemilu dengan pemilu berikutnya.
Melalui konsep ruang publik ini, Habermas berusaha menunjukan locus lain pelaksanaan kedaulatan rakyat. Melalui ruang publik, masyarakat warga bisa berpartisipasi aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan dengan menggunakan kekuatan argumentasi.
Sering kali pemerintah yang terpilih dalam pemilihan merasa memiliki kuasa untuk menjalankan kebijakan dan program yang dianggapnya baik dan rasional secara monologis. Persetujuan rakyat dianggap telah selesai ketika suara mayoritas warga memilih mereka untuk menjalankan pemerintahan.
Bagi Habermas, kebijakan yang monologis itu tidak bisa dianggap legitim. Sebuah kebijakan dianggap legitim ketika kebijakan itu telah didiskusikan atau diambil dari intisari perdebatan (diskursus) masyarakat warga dalam ruang publik.
Oleh sebab itu, Habermas menyarankan agar lembaga-lembaga Negara harus terhubung dengan ruang publik untuk mengetahui persoalan apa yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat warga. Rakyat akan menjadi berdaulat jika lembaga-lembaga pemerintahan mau mendengarkan suara rakyatnya dalam diskursus di ruang publik. Para pengambil kebijakan dapat mengelolah berbagai persoalan publik melalui suara-suara sensitif yang muncul dalam diskursus ruang publik. Ini adalah konsekuensi dari Negara hukum demokratis (Menoh 2015:90).
Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah etika politik seperti apa persisnya yang mendukung gagasan Habermas di atas? Apakah etika politik tersebut dapat diterapkan dalam konteks percakapan di media sosial yang menjadi ciri khas generasi milenial? Berikut akan diuraikan jawabannya secara singkat.
Media Sosial (Ruang Publik Maya) dan Etika Politik Habermas
Jika pertanyaan yang diajukan adalah etika seperti apa yang menjadi dasar dari etika politik Habermas mengenai ruang publik dan diskursus publik yang telah dijelaskan di atas, maka jawabannya adalah “Etika Diskursus” (Diskursethik). Apa yang menjadi inti ajaran dari etika diskursus ini?
Untuk memahami etika diskursus yang ditawarkan oleh Jurgen Habermas, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai “diskursus praktis” dan paradigma intersubjektivitas yang menjadi dasar dari etika diskurusus Habermas. Namun, di sini saya tidak akan masuk terlalu jauh dalam kerumitan konsep-konsep filsafat.
Persoalan ini bisa dipelajari lebih lanjut di kesempatan lainnya. Yang penting untuk diuraikan secara sederhana di sini adalah soal ajaran yang mendasari etika politik Jurgen Habermas. Lalu kemudian menerapkannya pada konteks ruang publik maya atau cyberspace.
Diskursus praktis adalah proses penentuan dan legitimasi norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat secara rasional melalui proses komunikasi intersubjektif. Intersubjektif sendiri adalah proses saling memahami secara timbal-balik antara sesama subjek komunikasi. Tidak ada norma yang rasional dan legitim di luar prosedur komunikasi intersubjektif.
Sebuah pendapat yang sekalipun datang dari orang besar, berkuasa, dan berpendidikan tidak bisa dijadikan acuan moral tindakan masyarakat sebelum pendapat itu didiskusikan atau dimusyawarahkan bersama. Ukuran suatu pendapat itu dianggap rasional, baik dan legitim, ada sebagai hasil atau keputusan dari prosedur komunikasi atau permusyawaratan.
Karena penekanannya yang begitu besar pada prosedur komunikasi, maka gagasan Jurgen Habermas ini dikenal sebagai demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan. Tentu saja hal ini seturut dengan sila keempat (4) dalam Pancasila, yakni: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam persmuyawaratan/Perwakilan”. Gagasan Jurgen Habermas ini membantu kita memahami penerapan atau prosedur demokrasi permusyawaratan (deliberatif).
Sekarang permasalahan terakhir adalah bagaimana penerapan etika politik Habermas ini dalam media sosial atau ruang publik maya (cyberspace)? Berikut ini akan dijawab secara singkat.
Merujuk pada pengertian ruang publik di atas, media sosial dapat dikategorikan sebagai ruang publik dimana diskursus dan perdebatan atar masyarakat warga bisa berlangsung. Medsos begitu mudah diakses oleh siapapun dan memungkinkan semua orang dapat berkomunikasi dalam posisi yang setara. Media sosial menurut hemat saya adalah contoh paling ideal dari ruang publik yang otonom (bebas) dan kritis. Namun persoalan kritis ini juga tergantung pada kemampuan seseorang dalam menyoal kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Tapi, ideal di sini bukan tanpa masalah. Menurut Karlina Supelli (2010:329-346) ruang maya atau realitas virtual (virtual reality) merupakan sebuah ruang publik hibrida, yang maya sekaligus nyata. Satu sisi bersifat maya karena kehadiran subjek ada dalam ruang digital. Di sisi lain bersfat nyata karena subjek yang terlibat dalam media sosial adalah orang sungguhan dengan komunikasi yang aktual.
Bedanya, diskursus berlangsung di antara orang-orang melalui perantaraan piranti berbasis komputer. Persoalannya persis muncul di sini. Karena diantarai oleh piranti berbasis komputer (ruang maya), memungkinkan orang-orang yang terlibat diskusi menyamar sebagai apa saja. Kita misalnya sering menjumpai akun palsu dalam grup-grup diskusi di facebook, Twitter, dll.
Di ruang maya seperti ini, warga dapat dengan bebas memilih apa yang ingin ditampilkan dan disembunyikan dari mata publik maya atau netizen. Masyarakat warga yang menyamar dalam ruang publik maya ini dapat menyampaikan apa saja yang ada dalam pikirannya atau informasi apa saja, dari mana saja tanpa harus menunjukan siapa jati dirinya (tetap anonym). Sesorang bisa menjadi siapa saja bisa tanpa harus menampilkan diri, karena tujuannya hanya untuk berkomentar. Kita mengenal mode seperti ini sebagai buzzerdalam realitas politik kita saat ini.
Dunia maya ini menciptakan sebuah sifat ruang publik yang memungkinkan komentator tak bernama bermunculan. Mereka bisa berbicara apa saja semaunya tanpa harus peduli dan bertanggungjawab dengan apa yang dikatakannya. Tetapi akun palsu itu juga bukan tanpa manfaat dalam konteks dialog dalam ruang publik maya (media sosial, blog, dsb). Bisa jadi orang-orang memilih menyamarkan diri karena alasan tertentu, tetapi mereka ingin terlibat dalam diskurusus publik di media sosial.
Menurut saya, itu tidak masalah sepanjang argumentasi yang disampaikan itu rasional dan berdasar. Tetapi terkadang akun palsu di meedia sosial hadir hanya sekedar untuk berkomentar seenak hatinya mengucapkan ujaran kebencian karena tidak diketahui jatidirinya. Hal ini justru menujukan berkembangnya budaya illiteracy ketimbang budaya literacydalam dunia internet kita saat ini.
Tetapi ada juga masyarakat warga yang muncul di media sosial dengan jati dirinya yang asli dan dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Sepanjang dialog dalam media sosial berlangsung di antara sesama warga dengan jati diri yang asli atau palsu tetapi dengan argumentasi yang rasional menurut hemat saya itu sah-sah saja.
Akun palsu dalam konteks partisipasi demokrasi ini bisa dianggap etis, karena sekalipun menyamar ia tetaplah warga yang ingin berpartisipasi di ruang publik. Namun dalam konteks etika diskursus bisa dianggap kurang etis, karena lawan diskusi tidak diketahui jati dirinya dan mewakili unsur apa dalam masyarakat.
Catatan Penutup
Akhir-akhir ini, pengaruh media sosial dalam mengontrol isu-isu publik dianggap cukup efektif. Kecanggihan Teknologi Informasi (TI) dewasa ini telah meningkatkan kapasitas masyarakat warga untuk ikut berpartisipasi dalam proses demokratisasi sehingga locus pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak hanya berlangsung saat pemilu saja, melainkan juga berlangsung di antara satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Gerakan protes para facebooker terhadap kebijakan pemerintah sudah menjadi lanskap politik kita hari-hari ini. Bukan hanya dalam skala nasional, di daerah pun gerakan protes melalui media sosial ini sudah menjadi pemandangan biasa.
Sekalipun kehadiran publik dalam bentuk gerakan protes di media sosial masih sangat lemah dalam melawan dan mempengaruhi kuasa birokrasi, tetapi terbukanya akses dan munculnya kesadaran kuat dari masyarakat warga akan pentingnya mengawal jalannnya pemerintahan merupakan langkah maju dalam proses demokratisasi saat ini. Ini adalah hal yang tidak bisa kita bayangkan terjadi dalam rezim otoriter Orde Baru.
Daftar Pustaka
- Aristoteles. 2017. Politik. Terjemahan Saut Pasaribu. Yogyakarta: Narasi Pustaka Promethea.
- Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
- Diamond, Jared. 2015. The World Until Yesterday: Apa yang dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional.Jakarta: KPG.
- Handoyo Eko, Herna, Martien, Munandar, Moh. Aris. 2016. Etika Politik. Semarang: Widya Karya.
- Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
- Hardiman, F. Budi. 2010. “Pendahuluan” dalam Ruang Publik, Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Editor F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
- Hardiman, F. Budi. 2011. “Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif: Etika Politik Jürgen Habermas” dalam Empat Esai Etika Politik. Jakarta Pusat:www.srimulyani.net.
- Menoh, Gusti A.B. 2015. Agama dalam Ruang Publik, Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
- Supelli, Karlina. 2010. “Ruang Publik Dunia Maya” dalam Ruang Publik, Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Editor F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
- Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Kanisius.
- Suseno, Franz Magnis. 2010. “Masyarakat Warga” dalam Pemikiran Locke, Rousseau, dan Hegel dalam Ruang Publik, Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampaiCyberspace. Editor F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
- Takwin, Bagus. 2011. “Pengantar: Etika Politik: Menimbang Ulang Politik” dalam Empat Esai Etika Politik. Jakarta Pusat:www.srimulyani.net.
- Thompson, Dennis F. 2000. Etika Politik Pejabat Negara. Terjemahan Benyamin Melan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.