Perekonomian Disusun Sebagai Usaha Bersama atas Asas Kekeluargaan - Undang - Undang Dasar tahun 1945 Republik Indonesia pasal 33 ayat 1
Apabila kita membicarakan mengenai perekonomian Indonesia, ada sebuah filosofi dasar bernegara yang tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tersebut, sebagai hal yang menjadi landasan bagi negara kita dalam menyusun rancangan ekonomi, yaitu di UUD pasal 33, utamanya berada di ayat 3.
Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara dan Dipergunakan untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat.
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam Indonesia bukan hanya kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, seperti cadangan gas, minyak bumi, batu bara dan berbagai mineral serta logam tanah lainnya.
Kekayaan yang dimiliki juga mencakup kekayaan laut, keanekaragaman hayati, juga potensi suburnya lahan yang dimiliki oleh Indonesia, belum lagi menghitung luasan hutan yang dimiliki sebagai kekayaan dari negara kita. Hal ini juga tercermin melalui besaran ekspor Indonesia, baik sektor migas maupun non migas.
Menurut catatan kementerian perdagangan, nilai ekspor non migas terbesar ada di ekspor bahan bakar mineral (batu bara), lemak dan minyak hewan nabati (CPO) juga besi dan baja. Hal yang patut dicatat, Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar kedua di dunia, di bawah China.
China adalah negara pengimpor batu bara terbesar di dunia, sehingga secara net export, Indonesia adalah negara dengan jumlah batu bara terbesar yang diekspor. Peningkatan nilai volume ekspor batu bara dan minyak sawit yang terjadi pada periode tahun 2020 - 2021 sebagai kombinasi dari peningkatan harga rata - rata acuan batu bara (dari $50 ke >$200) dan minyak sawit (dari < MYR 4500 ke MYR > 6000) digambarkan dengan positifnya neraca dagang Indonesia, yang menurut catatan BPS positif selama 21 bulan berturut - turut (tautan berita : 'Jempol' Buat Neraca Dagang RI! Surplus 21 Bulan Nggak Pakai Setop (detik.com) )
Bagaimana dengan dampak yang dirasakan oleh masyarakat, sebagai hasil dari nilai ekspor yang semakin membesar?
Kita dapat meninjau pertanyaan di atas melalui beberapa sudut pandang, baik dari tingkat pengangguran maupun rata - rata penghasilan yang dimiliki masyarakat, baik sebelum covid maupun pasca pandemi covid yang semakin mereda, agar dapat mengetahui gambaran umum dampaknya bagi masyarakat secara luas.
Apabila kita melihat jumlah pengangguran terbuka yang disadur dari data BPS untuk periode 2011 - 2021, kita dapat melihat bahwa jumlahnya cenderung berkurang dan stabil di angka 7 juta untuk periode sebelum pandemi COVID - 19. Efek dari pandemi COVID - 19 sangat terasa, tercermin dari peningkatan jumlah pengangguran terbuka sebesar 2.6 juta orang, meski trennya menurun di 2021. Hal ini dapat lebih kita pahami, apabila kita meninjau beberapa peristiwa penting pada periode 2011 - 2021,.
Peristiwa penting terkait ekonomi global yang terjadi pada masa itu ialah Subprime Mortgage pada tahun 2007, periode volatilitas harga minyak bumi pada 2010 sampai puncaknya di 2014 pada $110 kemudian jatuh sekitar 70% pada 2016, Brexit di 2016, perang dagang pada 2018 dan mini resesi pada 2020 yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
Peristiwa - peristiwa penting terkait ekonomi global terlihat dapat dilalui oleh negara kita dengan baik, apabila kita mengacu pada data - data jumlah pengangguran terbuka yang jumlahnya relatif stabil. Bagi mereka yang masih bekerja pun, ada peningkatan penghasilan yang cukup baik, sehingga secara umum kesejahteraan meningkat. Hal ini tergambarkan melalui rata - rata upah buruh di berbagai sektor pada periode 2015 - 2021 seperti data dari BPS di bawah ini.
Upah buruh yang konsisten naik ini, dengan rata - rata kenaikan majemuk sebesar 8.94% per tahun jika menghitung pertumbuhan periode sebelum covid-19, atau sekitar 4.77% jika memasukkan periode covid - 19 dalam perhitungan. Hal yang patut diperhatikan adalah adanya penurunan kesejahteraan dari buruh, dikarenakan pukulan ekonomi yang memang secara global melanda berbagai sektor ekonomi.
Bagaimana dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto kita? Apakah distribusi kenaikan ekonomi negara kita memang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat? Kita bisa membandingkannya dengan PDB Indonesia pada periode yang sama, yaitu pada tahun 2015 sebesar Rp 11.556.332 (dalam milyar rupiah) , tahun 2019 sebesar Rp 15.832.657 (dalam milyar rupiah) dan tahun 2021 sebesar Rp 16.970.789 (dalam milyar rupiah). Hal ini mengindikasikan rata - rata kenaikan majemuk sebesar 8.19% untuk pertumbuhan di periode pra-pandemi, dan 6.61% untuk periode pasca pandemi.
Jika kita melihat perbandingan pertumbuhannya, maka terlihat bahwa sebelum pandemi, pertumbuhan yang diterima oleh buruh dalam bentuk upah rata - rata pertumbuhannya lebih besar daripada pertumbuhan PDB, dengan selisih mencapai 0.7%. Jika kita melihat pertumbuhannya setelah pandemi, akan terlihat bahwa pertumbuhan upah buruh menjadi lebih kecil, karena memang rataan upahnya menurun, dengan selisih nyaris mencapai 2%.
Selisih pertumbuhan yang ditunjukkan secara statistik ini menunjukkan bahwa recovery ekonomi nasional dampaknya belum merata dirasakan oleh masyarakat. Sejauh ini, dampaknya dirasakan kepada non buruh, baik itu pedagang , UMKM maupun korporasi. Hal ini ditranslasikan kepada data dari rasio gini, yaitu rasio ketimpangan, yang terlihat pada grafik di bawah ini.
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa faktor besar dari ketimpangan yang terjadi di Indonesia, dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan derajat ketimpangan yang terjadi di daerah perkotaan. Daerah perkotaan memiliki pengaruh yang lebih besar, dipengaruhi oleh faktor jumlah orang yang tinggal di kota jika dibandingkan dengan pedesaan, juga bagaimana sebaran UHNWI (Ultra High Net Worth Individual) sebagian besar, kalau tidak bisa dibilang semua, berada di kota.
Bagaimana dengan mereka yang berada di desa? Kita dapat melihat berdasarkan data di atas bahwa ketimpangan yang ada di desa lebih sedikit terjadi. Ketimpangan - ketimpangan yang terjadi, baik di desa maupun di kota ini tentunya perlu kita perbandingkan dengan apa yang menjadi cita - cita para pendiri negara ini, terutama kondisi ketika Indonesia baru merintis cita - cita kemerdekaan.
Kapitalisme di Negeri Sendiri - Bung Karno
Cita - cita Indonesia mengenai kesejahteraan rakyatnya tergambar dalam sila ke 5 dari Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perwujudan dari sila ini merupakan salah satu perjuangan yang masih terus berjalan, baik sejak masa perjuangan kemerdekaan, hingga setelah masa kemerdekaan. Ketimpangan - ketimpangan yang ada, memiliki derajat yang lebih ekstrim tingkatnya ketika masa perjuangan kemerdekaan. Pada masa itu, peperangan menghadapi ketimpangan juga dilakukan, dengan titik berat perlawanan dilakukan terhadap kapitalis yang berasal dari luar Indonesia.
Bagaimana dengan ketimpangan akibat kapitalisme yang diinisiasi oleh pelaku dalam negeri? Apakah kita juga harus memeranginya? Bagaimana kerasnya perlawanan yang harus dilakukan?
Hal ini sudah pernah disinggung oleh bung Karno dalam tulisannya di tahun 1928, yang berjudul "Kapitalisme di Negeri Sendiri". Pada masa itu, ia menuliskan mengenai perbedaan perlawanan terhadap kapitalisme di Eropa, yang berakar pada pergerakan Marxisme dibandingkan dengan perlawanan terhadap kapitalisme dalam konteksnya di Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa itu, penguasaan modal sebagian besar dikuasai oleh bangsa asing. Kapitalis mayoritas direpresentasikan oleh para penjajah dari Belanda, yang ratusan tahun sebelumnya direpresentasikan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Hal ini membuat perlawanan terhadap ketimpangan dan kapitalisme memiliki sebuah gambaran yang jelas sebagai common enemy yang harus ditumbangkan sesegera mungkin, dengan cita - cita kemerdekaan Indonesia sebagai puncaknya.
Bagaimana dengan pemilik modal yang berasal dari dalam negeri, dan bukan orang asing? Apakah kita harus melawannya juga?
Ya! Kita juga harus anti isme yang menyengsarakan Marhaen itu. Seorang nasionalis , justru karena ia seorang nasionalis, haruslah berani membukakan mata di muka keadaan - keadaan yang nyata itu.
Inilah pernyataan yang ditekankan oleh bung Karno menyikapi kapitalisme yang menyengsarakan kaum Marhaen, untuk konteks yang terjadi pada masa itu, sesuai dengan keadaan nyata yang terjadi.
Keadaan nyata yang dimaksud oleh bung Karno dalam tulisan itu adalah mengenai upah 10 - 12 sen sehari untuk buruh pabrik tembakau pada tahun 1928 dan rata - rata upah buruh pada tahun 1930 adalah 8 sen per hari untuk yang bekerja pada pemerintah Belanda, dengan kondisi harga beras pada saat itu adalah 7 sen per kg (berdasarkan pidato Indonesia Menggugat Bung Karno). Kondisi ini merupakan hal yang miris, dimana 1 keluarga hanya mampu membeli tidak sampai 2 kg beras per hari, belum termasuk kebutuhan lainnya.
Kondisi yang dialami oleh para buruh ini jauh lebih baik, apalagi setelah Indonesia merebut kemerdekaan dan memiliki kondisi ekonomi dan politik yang jauh lebih stabil. Kita bisa membandingkan hal ini dengan masa terakhir pemerintahan Presiden Soeharto. Melansir data dari BPS yang dikutip dari Rindu Era Soeharto yang Serbamurah Halaman 1 - Kompasiana.com, kita dapat menghitung perbandingan upah minimum, dengan harga beras yang ada pada medio tahun 90an dan awal 2013, hingga saat ini.
Pada tahun 1992, UMR dari pekerja adalah Rp 20.330 per bulan, dengan harga beras sebesar Rp 675 per kg. Hal ini berarti nilai UMR dapat memenuhi kebutuhan sekitar 30 kg beras. Jika nilainya kita bandingkan dengan tahun 1996, maka harga beras naik sekitar 63% di harga Rp 1.100,- dan UMR naik sekitar 81% di Rp 36.820. Hal ini menandakan perbaikan kemampuan yang signifikan, dengan nilai UMR yang naik lebih tinggi daripada kenaikan harga beras, sehingga kemampuan buruh dalam membeli beras naik menjadi 33.5 kg, sekitar 10% peningkatan taraf hidup dalam selang waktu 4 tahun, atau kenaikan majemuk sekitar 2.8% per tahun. Hal yang perlu dijadikan catatan, kita dapat melihat mencuatnya
Apakah hal ini berlanjut di masa saat ini?
Apabila kita membandingkan jumlah beras yang bisa dibeli dalam sebulan oleh para buruh, maka kita dapat melihat kenaikan signifikan dalam kemampuan buruh dalam membeli beras, menjadi sekitar 226 kg dalam sebulan di tahun 2021. Ini merupakan peningkatan sebesar 7.94% per tahun selama 25 tahun. Kenaikan ini lebih baik daripada rata-rata inflasi sebesar 6% dalam 10 tahun terakhir.
Kenaikan kemampuan dan standar penghidupan buruh dari metrik ini menunjukkan adanya penghasilan lainnya yang bisa dialokasikan untuk pengeluaran lainnya. Apabila sebelumnya seseorang yang memiliki gaji UMR pada tahun 1996 ingin membeli motor bebek membutuhkan dana 117 bulan gaji UMR ( hampir 10 tahun gaji) , maka pada tahun 2021 untuk membeli motor bebek standar membutuhkan dana 4 bulan gaji UMR.
Kenaikan standar hidup ini sekaligus perkembangan informasi ini pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia memikirkan untuk meningkatkan penghasilannya melalui berbagai penghasilan sampingan, mewujudkan cita - cita bagi kaum Marhaen yang dipaparkan oleh bung Karno, dalam hal berdikari di bidang ekonomi.
Penghasilan - penghasilan sampingan dalam hal mewujudkan berdikari di bidang ekonomi yang dilakukan masyarakat bermacam - macam bentuknya, seperti membuka warung di rumah, melakukan berjualan secara mandiri, bahkan mencari passive income dari berbagai macam tawaran yang ada.
Passive income yang biasa dilakukan bentuknya bermacam - macam, dalma bentuk berbagai tawaran investasi. Tawaran investasi yang ditawarkan kepada masyarakat awam bermacam - macam, mulai dari berbagai macam bentuk 'investasi' bodong berbentuk money game, yang banyak menjerumuskan, hingga berbagai macam obligasi, surat hutang negara, bahkan hingga saham dan crypto currency.
Mari kita kembali kepada bagian awal tulisan, mengenai pembahasan dari bagian Undang - Undang Dasar pasal 33 mengenai sumber daya alam Indonesia dan pemanfaatannya, maka perlu adanya suatu gerakan bersama untuk mewujudkan hal di atas.
Sumber daya alam yang sudah dikuasai oleh berbagai korporasi besar maupun oleh berbagai perusahaan kecil lainnya perlu digunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat, melalui perlawanan secara bertahap terhadap ketimpangan di Indonesia.
Perlawanan terhadap ketimpangan otomatis disesuaikan dengan konteks jaman yang ada. Penduduk Indonesia, yang sedianya bisa berdagang atau dapat mempelajari metode berdagang dengan baik, tentunya perlu memaksimalkan kemampuannya berdagang, baik jasa ataupun produk, agar dapat berdikari di bidang ekonomi.
Sementara itu, bagi mereka yang kemampuan berdagangnya tidak dapat dijadikan sebagai penopang utama kebutuhan hidup dan sekiranya harus terus bekerja, maka ia perlu menyisihkan sebagian pemasukannya untuk menghasilkan uang kembali, dalam bentuk investasi.
Perlawanan terhadap ketimpangan yang dilakukan melalui investasi, tentunya bukan melalui investasi yang serampangan, apalagi investasi melalui instrumen investasi bodong yang marak diberitakan. Investasi yang dilakukan sebaiknya melalui investasi resmi yang ada di Indonesia, yaitu di pasar modal Indonesia, yang berisikan berbagai instrumen investasi, seperti surat hutang, reksadana dan saham. Hal ini sudah dilakukan Jepang, yang mayoritas hutangnya dimiliki oleh masyarakatnya sendiri.
Metode perlawanan melalui investasi di pasar modal ini tentunya perlu dilakukan dengan adanya edukasi yang terstruktur, masif dan sistematis kepada masyarakat dalam penggunaan dana dengan bijak supaya masyarakat tidak kembali terjebak dalam segelintir pihak yang mencari keuntungan hanya untuk pihaknya sendiri.
Apabila kita mampu melakukan edukasi dan melakukan gerakan ini, seperti kampanye #YukNabungSaham yang diinisiasi BEI beberapa tahun terakhir, bukan tidak mungkin kita bisa mewujudkan pengurangan ketimpangan secara signifikan, dan membeli kembali Indonesia.
Kita membeli kembali Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke pangkuan seluruh masyarakat Indonesia, sambil memangkas ketimpangan - ketimpangan yang ada. Kiranya mimpi ini bisa terwujud dan jarak antara si kaya dan si miskin bisa terpangkas, sehingga bukan hanya ada istilah "American Dream", tetapi juga "Indonesian Dream".