Sekilas judul pada tulisan ini akan mengarahkan pembaca pada sosok gus dur yang mempopulerkan serta sering menggunakan istilah tersebut, pada intinya makna dari istilah ini kurang lebih adalah memperlakukan manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tulisan ini akan memperlebar makna dari istilah ini.
Berangkat dengan cara pandang antroposentris bahwa manusia merupakan pusat dari alam semesta, tradisi keagamaan membenarkannya dengan menjelaskan kalau manusia sebagai puncak penciptaan, fakta peradaban dunia menguatkan posisi manusia sebagai pusat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Yuval Noah Harari bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dapat bertahan hingga saat ini, kemampuan berpikir membantu manusia untuk beradaptasi, dengan beradaptasi artinya melakukan rekayasa terhadap berbagai hal untuk menunjang keberlangsungan kehidupan manusia.
Asal Muasal Kekacauan
Rekayasa tersebutlah yang kemudian akan melahirkan kebaikan buat kehidupan manusia sekaligus keburukan, artinya baik atau buruknya kehidupan sangat bergantung pada tindakan manusia. Keburukan bersumber dari manusia, begitu juga kebaikan, itu sebabnya menurut penulis bahwa manusia merupakan sumber permasalahan.
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan tersebut ialah dengan memperbaiki manusia, langkah awal tentunya dengan memanusiakan manusia, istilah ini juga dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada manusia agar perilakunya dapat memanusiakan manusia – berdampak baik bagi manusia beserta seluruh entitas di alam semesta ini.
Tulisan ini akan banyak bersinggungan dengan permasalahan hukum. Menurut pengamatan penulis banyak permasalahan yang terjadi di bidang hukum yang akar permasalahannya ada pada manusia.
permasalahan-permasalahan tersebut masih berlangsung, dikarenakan salah satu faktornya adalah cara pandang manusia yang menganggap bahwa seluruh masalah tersebut bersumber dari luar diri sehingga langkah-langkah yang ditempuh dalam upaya penyelesaiannya pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan atau dengan kata lain tidak efektif.
Sebagai misal, Permasalahan yang penulis maksud ialah ; Krisis Lingkungan, Korupsi dan Pemerkosaan, Namun tentunya tidak hanya terbatas pada tiga hal ini, bahkan lebih luas menurut penulis bahwa seluruh jenis kejahatan jika ditelusuri makan akar persoalannya ada pada manusia.
Lantas kenapa hanya tiga jenis kejahatan saja yang disebut, karena tiga hal tersebut yang beberapa waktu belakangan menjadi topik yang hangat diperbincangkan ruang sosial media. Dan juga penulis hanya ingin menjadikan ketiga hal tersebut sebagai contoh kalau akar permasalahan hukum ialah ketidakberesan manusia dengan dirinya.
Pertama, Krisis Lingkungan. Arne Naess berpendapat bahwa krisis lingkungan yang terjadi di dunia Global saat ini berkaitan dengan krisis Moral, sebab krisis ini berkaitan dengan perilaku manusia terhadap lingkungan, untuk mengatasinya melakukan perubahan terhadap cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. (Keraf, 2010:2).
Perilaku manusia tentunya bersumber dari cara pandang manusia, yang dalam konteks lingkungan hidup berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap lingkungan. Berangkat dari permasalahan tersebut banyak teori-teori baru bermunculan seperti ; Ekosentrisme, Biosentrisme, Ekofeminisme dan Ekosufisme. Kehadiran teori-teori ini sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan inti di bidang lingkungan yakni cara pandang manusia dalam melihat alam (baca : Lingkungan).
Berbagai teori berupaya untuk menawarkan cara pandang baru, tujuan lainnya ialah untuk mengubah pola hubungan manusia dengan Lingkungan, dengan bahasa yang lebih tepatnya ialah untuk mengubah moralitas manusia. Penjelasan singkat di atas dapat menjadi potret betapa besarnya dampak dari tindakan manusia terhadap lingkungan.
Kedua, Korupsi. Fithriatus Shalihah dalam bukunya “Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum” dijelaskan bahwa kode etik acapkali dilanggar karena beberapa faktor, seperti ; rasa kekeluargaan dan pertemanan, pengaruh jabatan, pola hidup konsumersime dan karena lemahnya iman para profesional, (Fithriatus, 2019:107). Korupsi merupakan bentuk konkret dari pelanggaran kode etik, artinya dapat dipahami kalau faktor terjadinya korupsi beberapa di antaranya yang disebutkan di atas, seperti pola hidup konsumersime.
Ketiga, Pemerkosaan, dilansir dari Kompas.com (2022), disampaikan bahwa “kasus kejahatan seksual dipicu banyak faktor, salah satunya adalah soal ketidakmampuan pelaku mengendalikan dorongan nafsu atau libidonya”. pernyataan dapat dibenarkan secara konseptual, seorang Psikoanalisis yakni Sigmund Freud, ia merumuskan Tiga model struktur kepribadian manusia yang meliputi id (Das Es), ego (Das Ich), dan superego (Das Ueber Ich) dimana ketiga hal ini memiliki peran masing-masing namun saling berkaitan bahkan saling mendukung.
Menurut Reuben Osborn, yang dimaksud Freud mengenai Id, Ego dan Super-ego, sebagai berikut : Pertama, Id merupakan tempat bersemayamnya tuntutan primitif dan naluriah sifat-sifat dasar manusia yang bebasa dari pertimbangan moral dan sosial, dan yang dominan dari Id ialah prinsip kesenangan karena hal tersebut menuntut kepuasaan yang segera dan tanpa syarat dengan tidak mempertimbangkan adanya kesesuaian dengan waktu dan tempat.
Kedua, ego dapat dipahami sebagai saran mencari bentuk kepuasan bagi dorongan Id dalam dunia eksternal. Hubungan antar Id dan Ego dapat dianalogikan sebagai Penunggang dan Kuda ; Kuda memberikan Energi penggerak dan penunggang memenggang kendali untuk mengarahkan mau dikemanakan kuda tersebut. Ketiga, Super-ego sebagai sarana untuk memberi pertimbangan rasional dan manusiawi untuk memutuskan sesuatu, artinya Super-ego membatasi gerak ego, (Reuben Osborn, 2005 : 9-12).
Kembali pada pernyataan di atas bahwa ketidakmampuan mengendalikan dorongan nafsu dan libido sehingga menyebabkan terjadinya pemerkosaan, ini karena dorongan Id yang begitu kuat dan Ego tak terkendali karena Super-ego yang melemah, artinya Manusia tidak mampu mengendalikan dirinya, sehingga hal-hal tersebut terjadi.
Sejatinya pemerkosaan, korupsi serta tindak kejahatan lainnya jika dilihat menggunakan konsep Freud maka dapat dikatakan bahwa lemahnya Super-ego yang menyebabkan Ego tak kuat menahan dorongan dari Id yang kemudian melahirkan keburukan tersebut.
Memanusiakan Manusia
Penulis sebut sebagai Jalan alternatif karena, karena layakanya jalan alternatif pada umumnya yakni memberi kemudahan untuk sampai pada tujuan, dan juga berbeda dengan jalan yang digunakan mayoritas. Dalam hal penegakan Hukum, para praktisi maupun Akademisi selalu menggunakan pendekatan Formal Hukum, yang memandang bahwa solusi atas permasalahan hukum ialah dengan membenahi hal-hal yang bersifat formal.
Cara pandang ini terlihat dari praktek hukum di Indonesia ; Munculnya Lembaga-Lembaga Baru pasca Reformasi, lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan dalam upaya membenahi sistem Hukum di Indonesia.
Dalam konteks penegakan Hukum, penulis sebut praktik di atas sebagai Jalan Umum yang sering digunakan Mayoritas. Jalan alternatif yang penulis maksud ialah Memanusiakan Manusia dalam pengertian menanamkan nilai-nilai kemanusiaan untuk manusia, agar dalam tindakannya dapat memanusiakan manusia dan akan memperbaiki budaya hukum.
Penanaman nilai-nilai baik sebagai tujuan untuk membantu manusia mengelola diri. Pengelolaan diri berkaitan dengan perilaku, dalam konteks hukum perilaku menduduki posisi penting dalam hal keefektifan sebuah hukum, Donal Black merupakan salah satu pakar hukum yang secara spesifik membahas mengenai pengendalian perilaku, menurut Black bahwa ada dua cara pengendalian perilaku yang pertama menggunakan saran Hukum seperti ; legislasi, litigasi dan adjudikasi, kemudian yang kedua melalui saran pengendalian sosial, seperti ; adat istiadat dan sopan santu, Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, pengendalian perilaku melalui sarana hukum belum cukup efektif, terbukti dari tiga kejahatan yang telah penulis singgung di atas.
Itu sebabnya langkah alternatif lainnya ialah memaksimalkan pengendalian perilaku melalui pengendalian sosial, menurut Black ada lima sarana pengendalian perilaku sosial masyarakat hukum, salah satu di antaranya ialah Kontrol Sosial, bahwa perilaku sosial dapat dipengaruhi oleh kontrol sosial lain, seperti: norma adat, agama, etika dan moral. (Mochtar dan Hiariej, 2021:361-364).
Kontrol sosial merupakan sarana Non Formal untuk membantu manusia dalam mengelola dirinya, salah satu yang disebutkan Black di atas ialah Agama. Faktor yang menghambat proses memanusiakan manusia ialah salah satunya karena ketidakmampuan manusia untuk mengelola dan mengontrol dirinya, berdasarkan konsep Freud di atas bahwa salah satu masalahnya ialah lemahnya Super-ego – lemahnya fungsi kontrol internal diri. Itu sebabnya untuk mengatasi hambatan dalam memanusiakan manusia ialah dengan cara memperkuat super-ego
Agama memiliki solusi untuk memperkuat fungsi kontrol diri super-ego, semua agama memiliki cara masing-masing. Dalam ajaran Agama Islam terdapat konsep yang bernama Takhalli dan Tahalii atau dengan istilah lain yakni Tazkiyatun Nafs yang kemudian akan bermuara pada tajali, yang tidak hanya membersihkan belenggu keinginan akan materi, melainkan juga menghilangkan perilaku tercela dan pikiran-pikiran yang buruk.
Hal ini perlu dilatih atau mujahadah sedikit demi sedikit. Setelah pembersihan kemudian langkah selanjutnya ialah menghiasi diri dengan sifat dan sikap yang baik. Ketika pikiran mulai diisi dengan hal-hal baik dan positif akan membuat individu memiliki pengendalian diri.
Pengendalian akan sifat dan sikap yang baik menandakan pemenuhan jiwa dari segala yang terpuji mulai menghiasi jiwa. Bersihlah batin dan jiwa dari sifat buruk, (Fian Riskyan Surya Pambuka, 2021).
Proses Takhalli dan Tahalli merupakan upaya untuk memperkuat super-ego –memperkuat fungsi kontrol diri, sehingga dapat mengontrol Id. Jika kedua proses tersebut telah sukses dilewati maka manusia tersebu dapat melaksanakan tugasnya sebagai manusia yakni memanusiakan manusia.
Dalam agam lain pasti memiliki cara juga untuk memperkuat fungsi kontorl diri. Dari penjelasan singkat di atas, dapat dipahami bahwa untuk sampai pada cita hukum, maka proses pembangunan hukum harus dilakukan secara komprehensif, meliputi juga manusianya, sebab manusia sebagai penentu baik atau buruknya sebuah hal, pembangunan melalui penguatan kontrol sosial yakni adat, agama, etika dan moral – dapat dimulai dari lingkungan yang paling terkecil yakni keluarga kemudian melebar sampai lingkungan organisasi dan lingkungan masyarakat, proses ini merupakan upaya memanusiakan manusia sehingga dapat membuahkan hasil yakni memanusiakan manusia.