Sewaktu sekolah SMA di wilayah Kabupaten Tegal, penulis memiliki teman yang bernama Maulana. Dulu Lana terkenal suka membuat keributan di sekolah, tak ayal guru kurang simpatik. Bahkan ia sering kali terlibat Tawuran antarsekolah. Ia tercatat di daftar kepolisian karena ulahnya membuat resah masyarakat. Tahun 2002 kami lulus sekolah, ia memilih bekerja di Jakarta dan Penulis melanjutkan studi di Semarang.
Sekitar tahun 2006 penulis bersilahturahim ke rumah Maulana di desa Kalijambe wilayah Kecamatan Tarub. Penulis terkejut melihat perubahan sikapnya. Bisa dikatakan 100 persen berubah lebih agamis, terkesan ia paling benar sendiri memeluk ajaran Islam. Sikap keras itu, ditunjukkan pada masyarakat dalam hal ibadah.
Misal mengatakan bid’ah pada masyarakat melakukan tahlilan, salawatan atau puji-pujian sehabis Azan. Lama-lama masyarakat mulai resah dengan pemahaman keagamaan yang di yakininya.
Suatu ketika bapaknya meninggal dunia, tradisi masyarakat sekitar setiap jam 6 pagi, suka rela mendatangi kuburan almarhum sambil membaca surat Yasin dan dilanjutkan tahlilan dan malamnya dilaksanakan tahlilan di rumah almarhum hingga 7 hari meninggalnya almarhum.
Ternyata tradisi ini ditentang si anak yakni Maulana, ia tidak berkenan melakukan tradisi itu, meskipun ditentang, masyarakat tetap melakukananya. Tak heran ia tak mau terlibat sama sekali, ia memilih diam diri di kamar atau memilih keluar rumah ketika acara dimulai.
Penulis juga pernah didatangi oleh pengikut Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Moshaddeq. Perjumpaan itu permula, penulis sedang mencari data di warnet tepatnya di desa Dermasandi Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Ketika mau pulang, penulis ditanya mengenai ajaran Islam, mungkin dia penasaran dengan tulisan “Islamic Comunication” yang menempel di jaketku.
Kemudian mengajak perkenalan ia menyebut namanya Heru Muhaimin, lalu saling tukar nomor Handphone, dalam hitungan menit ia menghubungi penulis, dia mengutarakan ingin bersilaturahim ke rumah, penulis menjawab silakan berkunjung ke rumahku.
Sekitar jam 13.00, Heru datang ke rumah, ia mulai berceramah mengenai penyebaran agama Islam yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. perbincangan panjang lebar yang intinya ingin mangajak penulis untuk bergabung. Menurut Heru umat Islam telah melakukan perbuatan Kufur, maka perlu permurnian ajaran Islam.
Dalam mengembalikan ajaran Islam, kelompoknya berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi, terang-terangan. Dengan entengnya penulis mengatakan ajaranmu bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.
Heru tak memperdulikan, jika ajarannya ditentang, kelompoknya akan hijrah ke suatu negara untuk menghimpun kekuatan. Di rasa memiliki kuatan yang mumpuni mereka akan kembali ke Indonesia dan melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang dulu menyakitinya.
Satu bulan kemudian Heru Muhaimin ditangkap aparat kepolisian karena menyebarkan aliran sesat. Penulis baru tahu setelah membaca berita di media, ternyata Heru Muhaimin adalah Ketua Al Qiyadah Al Islamiyah Kabupaten Tegal.
Ajaran-ajaran yang keras tidak mau mengakui perbedaaan mulai menyasar orang-orang yang tingkat pemahaman agamanya kurang maksimal. Mereka hanya mementingkan ideologi daripada rukunan umat agama. Ironis lagi ia kurang memperhatikan orang-orang sekitar yang membutuhkan uluran tangannya.
Kelihatannya mereka sekadar mengejar spritualitas semata, tanpa mempertimbangkan dampak yang timbulkan sehingga banyak masyarakat yang antipati pada agama. Pemahaman dan penafsiran yang sempit dan eksklusif terhadap ajaran agama, justru memunculkan klaim kebenaran tunggal. Klaim demikian itu cukup mengkhawatirkan karena akan menimbulak gesekan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tak heran kekerasan atas nama agama selalu terjadi di Indonesia. Diperparah lagi ketika para pemuka agama mengontruksi agama untuk kepentingan kelompoknya. Tak ayal warga masyarakat merasa terancam dalam kebebasan mengeluarkan pendapat. Konflik ini tidak hanya terjadi antara agama Islam dan Kristen. Namun mereka berhadapan dengan kelompok yang ingin menegakan syariat Islam di tanah air.
Lari dari Agama
Pada tahun 2012 forum PBB mengatakan Indonesia sebagai negara yang intoleran terhadap umat beragama. Terbukti dengan data yang dilansir The Wahid Institute, tahun 2011, terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan peribadatan tercatat 49 kasus.
Menurut Magnis Suseno dalam Moh. Asror Yusuf (2006). Ada dua cacat agama-agama tradisional yakni. Pertama agama-agama tidak peduli terhadap kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan, dan penderitaan di sekelilingnya agama berfokus pada ritrus-ritus dan ibadah. Kedua agama sudah menjadi salah satu sumber kekerasan, kekejaman di dalam masyarakat. Sehingga banyak orang yang lari dari agama dan tidak lagi percaya adanya tuhan (ateis).
Terbukti dengan surat pembaca dari Guruh Dwi Riyanto memprotes pernyataan Prof. Dr. Din Syamsudin megenai pengeboman Gereja Bethel Injil Sepenuh Solo. Dia mengatakan peledakan di tempat ibadah hanya dilakukan oleh orang yang tak bertuhan. Guruh menuntut Din Syamsudin untuk meminta maaf karena mencederai minoritas atheis Indonesia. Atheis tidaklah sama dengan pelaku kejahatan. (Koran Tempo, 27 September 2011).
Jika Tuhan terus menerus dijadikan alat kebenaran oleh kelompok tertentu, mungkin saja umat akan meninggalkan agama karena agama tak memberikan kedamaian. Semisal data yang lansir oleh Lembaga penelitian Pew yang melakukan penelitian mengenai ‘Peta Agama Dunia’. Kelompok tidak keyakinan termasuk Ateis dan agnostik menduduki peringat ketiga dengan jumlah 1,1 miliar orang atau 16,3 persen dari total jumlah penduduk dunia.
Adapun rincian peringat pertama agama Kristen berjumlah 2.2 miliar atau 32 persen. Kedua agama Islam dengan jumlah 1,6 miliar atau 23 persen. Selain Kristen, Hindu, Islam yang masuk daftar penelitian Pew lainnya meliputi Buddha (7,1 persen), kepercayaan tradisional (5,9 persen), yahudi 0,2 persen dan 0,8 persen agama lainnya. (Majalah Detik, 20 Desember 2012).
Agama sering kali dipahami hanya sekadar simbol yang tidak mampu bertindak sebagai basis orientasi hidup manusia, sumber etika dan moral, serta spirit karena pemahaman agama tanpa disertai dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang memadai dalam kehidupan masyarakat.
Jadi, daripada mempermasalahkan ideologi, lebih baik kaum intelektual muslim sama-sama membangkitkan fungsi agama yang sesuai harapan umat beragama. Keterburukan kerukunan umat beragama karena pemuka agama masih meributkan seputar masalah ibadah.
Sudah saatnya kaum agamawan kembali pada agama titik nol artinya pemuka agama dalam memberikan ajarannya harus mengingat inti ajaran yang diperintahkan oleh tuhan. Karena agama mengandung ajaran timbal balik seperti bagaimana manusia berhubungan dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
#LombaEsaiKemanusiaan