“Maybe the target nowadays is not to discover what we are but to refuse what we are.” ― Michel Foucault
Dalam berbagai narasi keagamaan, keberadaan iblis-setan bisa dibaca sebagai proyeksi manusia yang perlu adanya sebagai sang liyan dan pembeda. Pembedaan ini untuk menegaskan batas antara 'kami' dan 'mereka'. Kami yang suci dan mereka yang najis. Kami yang dirahmati dan mereka yang dikutuk. Kami sang pewaris surga dan mereka bahan bakar neraka.
Pembedaan tersebut harus diwujudkan dalam kualitas-kualitas yang saling bertolak belakang antara 'kami' lawan 'mereka' ini: dari segi sifat, perilaku, dan bentuk fisik.
Maka mereka (iblis-setan) sering digambarkan sebagai personifikasi dan entitas yang buruk rupa, menjijikkan, kotor, imoral, pendosa, dan lekat dengan berbagai kualitas yang dikategorikan sebagai apa-apa yang harus Anda jauhi untuk dianggap sebagai manusia saleh. Pembedaan ini berfungsi untuk mendefinisikan diri (secara individu dan kolektif) dan norma/hukum/identitas yang diidealkan dan berterima secara agama/sosial-budaya.
Dengan begitu, nilai ideal yang dibangun otoritas agama diharapkan semakin menguat dan stabil. Mereka yang terikat dengan nilai itu akan selalu membaca peringatan: "Awas, begitu jadinya jika kamu melanggar hukum-hukum ilahi."
Di sisi lain, hal ini memungkinkan adanya sang liyan yang berpotensi untuk dikambinghitamkan sebagai penyebab segala malapetaka dosa yang dibuat sebagian orang dalam lingkaran nilai tadi: "Oh, ini karena kita ditipu dan diperdaya iblis-setan." Citra kemanusiaan mereka pun tetap terjaga kesuciannya.
Lalu, konsepsi seperti ini sudah terbukti begitu destruktif ketika dikonkretkan sebagai label untuk manusia-manusia lain yang memegang nilai berbeda. Bahasa, budaya, simbol, nilai dari sang observer otoriter digunakan sebagai norma absolut yang dengannya semua manusia dengan penghayatan spiritual yang berbeda dengannya dievaluasi, dimarginalkan, dan sangat mungkin dilenyapkan.
Valak sebagai Cermin Akan Rapuhnya Bangunan Kebenaran
Dengan latar belakang tersebut, bagi saya, kehadiran sosok Valak menjadi sangat menarik untuk dibaca lebih dalam. Valak dihadirkan bukan sebagai sosok iblis yang sama sekali liyan.
Jika Anda sudah menonton The Nun, ia hadir dengan atribut yang sama dengan para biarawati sebagai bentuk kamuflasenya. Ia hadir beroperasi secara leluasa di dalam gereja sebagai representasi tubuh institusi agama, tempat yang suci dan sakral yang idealnya bukan tempat si iblis yang najis harusnya berada.
Dengan cara menjadi yang seperti itu, Valak mengaburkan semua kategori pembeda antara yang suci-najis, sakral-profan, ilahiah-sataniah, setan-manusia, pria-wanita. Ia berbeda sekaligus familiar.
Valak menggambarkan apa yang disebut Foccault sebagai transgression. Ia menjadi daya kreatif yang menantang dan mengguncang hukum yang mapan, batasan, struktur sosial, dan otoritas nilai tertentu, dalam hal ini institusi agama. Ia memaksa tubuh nilai yang dijajakinya untuk merespons dengan mewujudkan perubahan pemahaman manusia akan sistem nilai dan kepercayaan yang berlaku itu sendiri. Mereka diajak untuk mempertanyakan klaim imunitas nilai yang mereka konstruksi itu.
Dengan kehadiran yang seperti itu, Valak yang hibrid menjadi suara para iblis yang ingin menunjukkan bahwa sistem nilai yang mengkambinghitamkannya rentan terhadap kerapuhan. Ketika para pemegang nilai itu menudingkan telunjuknya ke Valak, jika jujur, ia akan melihat bahwa ia tengah selalu menuding ke dirinya sendiri. Bahwa identitas yang ia kukuhkan dengan nilai-nilai mapan tersebut sangat berpotensi terkorupsi oleh berbagai kehadiran yang paradoks.
Inilah mereka yang mencitrakan dirinya sebagai sakral, ilahiah, religius, ruhani, tapi juga sekaligus mempertontonkan kedangkalan, kerakusan pada dunia, pemberhalaan diri, dan apa-apa yang sekaligus bertolak belakang. Paradoks seperti ini muncul di berbagai bangunan kepercayaan di kehidupan kita sehari-hari: pendidikan tapi membodohkan, obat tapi bikin sakit, beragama tapi menggelapkan akal dan hati, dan seterusnya dan seterusnya.
Sosok Valak, oleh karena itu, bisa dibaca sebagai cermin reflektif-kritis di tengah kehausan banyak orang untuk mengukuhkan persepsinya akan kebenaran dan mempertahankannya mati-matian dengan merasa wajib mematikan kebenaran yang dicerap orang lain.
Di alam pengalaman dan persepsi, 'kebenaran' itu seperti Valak yang tidak tunduk pada kategori-kategori hitam-putih yang kita absolutkan untuk menjinakkannya. Ia nyatanya kaotis, campur aduk, dan terus menjadi.
Di sisi lain, Valak juga menjadi cermin bagi kemanusiaan dan sistem nilai yang mereka bangun: dari dalam sistem itu sendiri selalu berpotensi melahirkan Valak-valak yang menggerogoti moralitas bangunan kebenaran yang ia kukuhkan. Untuk itu, sepatutnya kita lebih sering menudingkan telunjuk ke diri kita sendiri dan berbagai nilai yang kita pegang yang kita anggap sudah final.
Sang Kebenaran dalam Diri-Nya Sendiri tak bisa sepenuhnya dicapai lewat persepsi rasional dan cerapan pengalaman inderawi. Maka, sudah seharusnya manusia lebih rendah hati di hadapan Yang Tak Terbahasakan. Jalan apa pun yang ditempuh untuk menyatu kembali adalah pergulatan rahasia masing-masing. Di alam inderawi, yang diproduksi memang hendaknya kebaikan, kasih sayang, pengertian yang dikomunikasikan dalam dialog sehat dan rasional.