Buku adalah jendela dunia

Begitu kata pepatah lama. Jendela tentu memiliki nilai-nilai tersendiri dalam dirinya, entah dari segi kejernihan, bentuk, komposisi pembentuk, maupun peletakan yang pas untuk melihat apa yang ada di baliknya. Melihat jendela dengan segala perantinya merupakan keharusan untuk melihat secara optimal apa yang ada di balik jendela.

Selaras dengan jendela, membaca buku pun harus memiliki teknik khusus dalam merampungkannya. Di sini penulis akan berkiblat pada buku How to Read a Book dalam menarasikan poin penting yang perlu diperhatikan sebagai pembaca buku yang ingin bercumbu dengan buku dengan lebih intens.

Pembaca secara umum kita klasifikasi menjadi dua macam: pembaca yang berorientasi pada penambahan informasi dan pembaca yang berorientasi pada penambahan pemahaman. Nah, apakah beda membaca untuk informasi dan pemahaman? Tentu berbeda untuk perkembangan bacaan seseorang.

Membaca untuk menambah informasi tidak membutuhkan kerja ekstra keras dalam memahami bacaan. Hal ini sering kita lakukan dalam membaca statistika, koran, maupun tabel-tabel yang menunjukkan signifikansi tertentu.

Sedangkan membaca untuk menambah pemahaman memiliki corak usaha yang kita bagi dalam empat level yang satu dan lain memiliki keterikatan sehingga semakin naik levelnya juga mencakup level sebelumnya: membaca dasar, membaca inspeksional, membaca analitis, dan membaca sintopikal.

Di sini penulis menyebut level (dan bukan jenis atau macam) karena cara membaca untuk menambah pemahaman bersifat hierarkis. Artinya membaca inspeksional sudah pasti mencakup membaca dasar, membaca analitis tentunya mencakup membaca dasar dan inspeksional, begitu pula denga membaca sintopikal.

Membaca dasar identik dengan pola membaca anak kecil yang baru berusaha memahami huruf perhuruf sehingga menambah pemahamannya. Usaha membaca jenis ini biasa digambarkan dengan anak yang baru belajar membaca.

Membaca Inspeksional memiliki arti membaca skiming sehingga membaca buku secara sekilas tetapi mengetahui garis besar yang akan dibahas buku tersebut. Hal pertama yang perlu dipersiapkan adalah mengetahui jenis buku yang akan dibaca. Yang kedua adalah membaca sinopsis, kata pengantar, dan daftar isi dalam buku tersebut sehingga mendapatkan ide apa yang hendak disampaikan penulis melalui buku tersebut.

Yang terakhir adalah membaca buku tersebut secara keseluruhan dalam sekejap. Perilaku ini dilakukan untuk setelah membaca sinopsis, kata pengantar, dan daftar isi. Tetapi ada beberapa kasus sinopsis yang hanya berisi testimoni dari orang-orang terkemuka. Lantas apa hubungan sinopsis tersebut dengan sinopsis normal yang berisi intisari gambaran buku?

Mungkin dari testimoni yang ada di bagian sinopsis bisa menunjukkan bahwa buku tersebut tidak berisi sesuatu yang penting sehingga sinopsisnya tidak berarti apa-apa bagi penulis. Padahal untuk menunjukkan testimoni bisa disampaikan di halaman depan sebelum judul bagian dalam sehingga sinopsis berisi informasi penting terkait buku tersebut untuk mempermudah pemilahan bacaan.

Pada dasarnya seluruh bagian buku menjadi penting bagi pembaca ulung. Pasalnya dalam memilih buku harus cermat, terlebih dengan finansial yang terbatas menuntut filter ketat dalam pemilihan bacaan.

Membaca Analitis menuntut pembaca yang sudah pintar klasifikasi buku menjadi awas dalam memahami buku yang dibaca. Francis Bacon pernah berujar

“Sejumlah buku hanya perlu dicicipi, yang lain perlu ditelan, dan sedikit lainnya harus dikunyah dan dicerna.”

Nah, membaca analitis artinya mengunyah dan mencerna.

Membaca secara cermat dan tidak terhambat oleh kosakata yang belum dipahami sebelumnya. Sikap acuh terhadap istilah asing bukan berarti memilih untuk tidak mengetahuinya, tetapi selama pembacaan berlangsung pikiran yang selalu awas akan mencerna maksud dari kata asing tersebut seiring alur bacaan yang dibaca.

Membaca jenis ini diterapkan dalam membaca karya-karya ekpositori yang memerlukan keseriusan ekstra dibanding dengan karya imajinatif. Arti imajinatif di sini mencakup puisi, drama, cerpen, atau novel/et yang dibaca seseorang sebagai hiburan. Meski niatan membaca karya imajinatif berdasar pada hiburan, tetapi pembaca cerdas dapat menerapkan pola pembacaan analitis pada karya tersebut.

Hal ini selaras dengan ungkapan E.B. White atas ketakjubannya pada karya imajinatif ketimbang karya ilmiah.

Seorang tiran tidak takut pada para penulis ilmiah yang berkhotbah tentang kebebasan–ia takut pada penyair mabuk yang melontarkan gurauan kebebasan yang mungkin akan menyentuh kesadaran

Pembacaan analitis menjadi level terpenting untuk pembacaan buku tunggal lantaran mengharuskan seseorang selalu awas terhadap proposisi dan argumen penting yang disampaikan penulis. Mencapai kesepahaman dengan penulis menjadi gol utama dalam pembacaan ini.

Membaca Sintopikal memiliki ciri terhadap keharusan seseorang untuk membaca secara analitis lebih dari satu buku. Perilaku ini dapat diterapkan dalam membaca tema/ topik yang sama dan memiliki hubungan yang erat. Misalnya dalam membaca buku sosial, maka seseorang tidak dapat lepas dari antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan struktur masyarakat.

Pembacaan sintopikal sering kali dipraktikkan oleh para pegiat baca akut. Pasalnya, membaca dengan konsentrasi tinggi menyebabkan seseorang harus membaca bacaan baru sekaligus mengaitkannya dengan bacaan yang pernah atau akan ia baca.

Semua level membaca di atas dapat dilakukan setelah kita memiliki jawaban atas empat pertanyaan berikut: apa isi buku itu secara keseluruhan? Apa yang secara detail dijelaskan dalam buku tersebut dan bagaimana? apakah buku itu benar secara keseluruhan atau sebagian? Dan apa pentingnya membaca buku (itu)?