Karya Mochtar Lubis yang pertama saya baca adalah novel yang berjudul Harimau! Harimau Sudah sejak lama saya membacanya, kira-kira 3 tahun lalu, saat duduk di bangku SMK. Cerita tersebut sangat luar biasa, saya sangat suka dengan twist-twist yang disajikan. Selanjutnya, awal tahun ini saya kembali membaca karya Mochtar Lubis yang berjudul Senja di Jakarta. Novel ini berhasil membuat saya merasa miris dengan kondisi bangsa sendiri. 

Secara garis besar, novel Senja di Jakarta menceritakan tentang ketimpangan sosial antara si miskin dan si kaya di Jakarta. Ketimpangan sosial tersebut mendukung konflik utama cerita, yaitu kasus persekongkolan korupsi salah satu partai politik koalisi pemerintah. 

Rupanya, korupsi sudah menjadi budaya bangsa kita sejak lama. Seperti yang kita ketahui bahwa perusahaan dagang Hindia Belanda (VOC) runtuh akibat korupsi. Begitu pula ketika Indonesia baru saja merdeka. Walaupun hanya cerita fiksi, novel ini menggambarkan realitas bangsa secara jujur.

Ya, buku itu ditulis oleh Mochtar Lubis pada tahun 1957 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1960. Maka dapat diterka bahwa latar cerita tersebut pada tahun 1950-an, Indonesia masih berusia seumur jagung kala itu. Latar tempat cerita ini tentunya sesuai dengan judul, Ibu Kota Jakarta! Ya, penggunaan nama ibu kota tersebut hanyalah pars pro toto, Jakarta digunakan untuk menggambarkan Indonesia secara keseluruhan.

Novel ini memiliki alur yang cukup kompleks. Selain konflik utama berupa kasus korupsi, akan ada permasalahan sosial lainnya yang menjadi pelengkap manis cerita. 

Tokoh utama dalam Novel ini adalah Suryono, seorang pegawai Kementrian Luar Negeri yang boleh saya katakan kerjanya hanya makan gaji buta. Datang ke kantor hanya untuk isi absen dan menggunakan telepon kantor untuk ngobrol dengan wanita. Memiliki  seorang ayah bernama Raden Kaslan, seorang pebisnis dan donatur partai politik. Ia juga memiliki seorang ibu tiri bernama Fatma—istri Raden Kaslan. Bisa dikatakan amoral, Suryono dan ibu tirinya menjalani hubungan gelap.

Suatu ketika, Husin Limbara, seorang ketua umum partai politik koalisi pemerintah mendatangi Raden Kaslan. Sebagai donatur partai, ia menawari bantuan untuk mendapatkan uang guna keperluan kampanye nantinya. Ia mengusulkan untuk membuat perizinan dagang impor, usaha yang akan sangat legit bagi partai.

Husin Limbara tertarik dengan ide tersebut, kebetulan partainya kebagian kursi sebagai Menteri Perdagangan, tentunya akan sangat mudah untuk diloloskan.

Pertemuan malam itu menjadi langkah awal kasus korupsi yang mereka lakukan. Sayangnya, Raden Kaslan tak mau mengambil keuntungan hanya untuk partai, ia tentunya mengambil keuntungan pribadi yang sangat besar dengan perizinan tersebut. 

Ada 3 hal unik yang akan kita dapatkan dari kasus korupsi tersebut.

Pertama, Melibatkan Pegawai JuJur

Sugeng adalah seorang pegawai pada Kementrian Perdagangan. Ia mulanya memiliki kepribadian yang jujur. Namun suatu ketika, istrinya menuntut untuk membeli rumah baru yang lebih layak. Katanya, pegawai yang jujur itu gajinya kecil dan hidupnya pas-pasan, hmmm ... entah.

Karena desakan istri dan mendapat tawaran dari partai Husin Limbara, ia akhirnya ikut dalam persekongkolan tersebut. Ia menjadi orang penting dalam memberikan perizinan usaha orang-orang yang terlibat dalam korupsi tersebut. 

Maka dari itu, kejujuran belum cukup untuk membentengi diri dari korupsi. Perlu iman dan keteguhan yang tak goyah untuk menghindari korupsi. 


Kedua, Partai Menggunakan Perisai Media

Sejak zaman dahulu, media memang sudah digunakan untuk melakukan propaganda. Husin Limbara menggunakan jasa Halim sebagai pemilik media cetak untuk memerangi serangan partai oposisi. Ketika skandal perizinan tersebut mulai terungkap, inilah peran media massa untuk melindungi dan membalikkan serangan serta tuduhan kepada oposisi. Kira-kira persis seperti saat ini, saya rasa pepatah "Barang siapa yang menguasai pemberitaan, ialah yang menguasai dunia" memang ada benarnya.


Ketiga, Sebagai Budaya hingga Hari Ini

Ketika saya membaca novel ini, saya tidak merasa kalau latar waktu cerita ini berkisah di tahun 1950-an, rasanya itulah yang terjadi hari ini. Artinya, kasus korupsi seperti tersebut sudah membudaya hingga hari ini. Kita sepakat kalau budaya adalah suatu kebiasaan yang sudah mengakar dan sulit untuk diubah. Bahkan untuk tokoh Sugeng, kejujurannya akhirnya sirna ketika dibenturkan dengan kebutuhan ekonomi dan kesempatan partai Husin Limbara. 


Selain kasus skandal korupsi, novel ini juga menceritakan permasalahan sosial lainnya. Akan disuguhkan kisah-kisah selingan tentang kriminalitas Jakarta, prostitusi, pemberontakan pekerja, perselingkuhan, kemiskinan, kelaparan, dan lain sebagainya akan melengkapi konflik utama.

Novel ini memang membuat kita de javu dengan kondisi saat ini. Pegawai yang makan gaji buta, pemimpin yang korup, swasta yang pandai merayu, oknum polisi yang pasif, media yang penjilat, orang-orang yang mendiskusikan omong kosong, rakyat yang berteriak lapar, rasanya kondisi dalam novel Senja di Jakarta masih relevan hingga hari ini.