Entah tulisan ini akan bergenre apa nantinya, kisah, esai serabutan atau hanya sambat semata. Sejujurnya, saya hanya ingin mengekspresikan rasa saja. Beberapa hari lalu, saya (lagi-lagi) mengalami kegagalan. Harus diakui, kegagalan lekat dengan stigma yang cukup “membebankan” karena tentu mengecewakan banyak pihak yang telah menitipkan harapan. Hal ini yang kemudian membuat saya ingin menuangkan keresahan.
Mungkin kalian sudah tahu bahwa arah tulisan ini tidak akan menceritakan euforia kemenangan dan pencapaian fantastis luar biasa. Ya, saya akan berbincang tentang kegagalan. Kegagalan memang jarang dipublikasikan apalagi dipamer-pamerkan (seringkali dipertanyakan, untuk apa?). Narasi tentang kegagalan, pada akhirnya kerap dianggap suatu aib yang tak pantas dibicarakan.
Maka, permohonan maaf saya haturkan di awal, sebab justru kali ini saya akan memperbincangkan “ketabuan” itu. Tidak bermaksud menyinggung siapapun, karena saya pun adalah “langganan gagal” sedari dulu. Entah mengapa kegagalan sering dipadankan dengan kesedihan. Padahal, jika kita memaknai kegagalan dengan positif, tentu tak terasa menyedihkan.
Saya berharap, siapapun yang pernah atau sedang mengalami kegagalan tidak berpikir demikian. Kegagalan bukanlah aib atau keburukan. Kegagalan agaknya harus dinormalisasi sebagai suatu hal yang wajar bahkan diapresiasi. Sudah berani mencoba dan menandingkan diri.
***
Sebagaimana visi peserta perlombaan pada umumnya, kemenangan tentu adalah tujuan. Sering kita berpikir “Untuk apa berlomba jika bukan menang tujuannya?” Menjadikan kegagalan sebagai pengalaman dan pembelajaran sering kita anggap sekadar wacana pelipur lara yang berusaha mengaburkan kekecewaan.
Telah lama saya berpikir seperti itu juga, lomba dan ajang apapun harus menang, mulus lancar jaya. Beranggapan bahwa kegagalan merupakan suatu hal yang memalukan. Segala macam kegagalan harus dilupakan, harus dikubur dalam-dalam. Tidak ada tempat untuk mengenang, tidak ada tempat untuk bersemayam dalam pikiran.
Namun, semakin saya dewasa dan berusaha menerka kehidupan, kegagalan tidak “sekeji” itu. Kegagalan bukanlah suatu bentuk kedurjanaan, jika sejak awal kita menyadari bahwa konsep perlombaan seharusnya menjadi tempat untuk mengedukasi diri menjadi lebih baik, mereformasi diri untuk lebih bermutu dari sebelumnya.
***
Konsep perlombaan yang seharusnya kita sadari adalah bukan menjatuhkan satu pihak di bawah pihak yang lain. Perlombaan seharusnya menjadi medium untuk saling bahu membahu berbagi ilmu dan belajar menjadi lebih baik secara komunal. Tidak ada yang patut untuk diperlakukan inferior hanya karena kekalahan.
Salah satu hal yang juga kerap luput adalah perlombaan memanglah mencari yang paling baik dari yang terbaik. Namun, bukan berarti orang-orang yang belum menang itu serta-merta menjadi orang yang “paling buruk”. Ketika belum meraih kemenangan, para peserta telah mencoba berbagai upaya untuk memberikan yang terbaik.
Kegagalan bukanlah suatu hal yang sia-sia. Dalam proses pencapaian menjadi “yang terbaik”, orang-orang yang diasosiasikan gagal itu telah melewati banyak proses, latihan, dan perjuangan yang secara tidak langsung telah mengubah dan mempengaruhi sikap maupun karakter mereka. Kegagalan mendorongnya untuk berubah menjadi lebih baik lagi, lebih mengevaluasi diri lagi.
***
Satu motif yang saya rasa harus tertanam kuat saat mengikuti perlombaan apapun : “Menang adalah bonus dan kalah adalah tugas untuk belajar lebih.” Pada dasarnya, kita memang perlu terus belajar, bukan? Apakah mereka yang mendapat predikat “pemenang” lantas terbebas dari tugas untuk terus mengevaluasi diri?
Apakah sang juara itu terbebas dari tuntutan untuk terus belajar hanya karena keunggulan ilmu dan kompetensinya saat berlomba? Tentu saja tidak, mereka sang pemenang sejati, tidak akan berhenti belajar. Mereka akan terus belajar menjajaki luasnya khazanah ilmu pengetahuan, terus belajar dari mana saja dengan semangat penuh keingintahuan.
Sang pemenang sejati memliki semangat belajar yang tak silau akan medali penghargaan. Pemenang sejati tahu, bahwa ketika dirinya terus belajar dan menghiasi dirinya dengan ilmu, maka saat itulah Ia “menang”. Menang untuk melawan keburukan dan kekurangan dirinya di hari kemarin. Menang untuk terus tabah dalam menuntut ilmu dengan semangat yang bukan main.
Para pemenang adalah amatir yang terus belajar dan tak letih berjuang. Mengupayakan berbagai cara berbeda untuk mendapat hasil yang berbeda pula. Pada akhirnya, pemenang sejati adalah mereka yang menaklukkan “perlombaan kehidupannya” dengan tidak berhenti belajar.
***
Poin yang ingin saya tekankan disini ialah pemaknaan akan kegagalan dan kemenangan itu sendiri. Kemenangan seringkali kita persempit sebatas medali dan materi. Padahal, baik kemenangan maupun kegagalan itu memiliki makna yang amat berharga, dengan nilai manfaat yang lebih utama. Yakni : proses pengupayaan diri menuju insan yang lebih bermutu.
Ketika tolok ukur kemenangan adalah medali dan materi, bersiaplah kecewa ketika menghadapi kegagalan. Namun, ketika Anda memiliki definisi kemenangan yang lebih berarti, nasib apapun yang menimpamu, baik menang ataupun kalah, akan jauh lebih berharga dan dapat diterima dengan lapang dada.
Mari memaknai kembali definisi kemenangan yang hakiki. Terus berkompetisi dengan gerilya positif nan rendah hati. Bukan justru merendahkan kemampuan saudara sendiri. Pemenang sejati, ialah mereka sang pembelajar sehidup semati, penakluk hari kemarin dengan optimisme tiada henti.