Melewati Surga

Kucoba terbangkan harap  ke arah yang sebenarnya bersama sisa kepasrahan.

Ketika aku mulai terlepas dan tentu arah, aku masih meyakinkan nafas ini walau akhirnya tersengal.

Tetapi tiada jalan yang sanggup memberi arti, memberiku  sandaran menggapai labirin surga.

Sesungguhnya aku adalah kehendak yang mengingkari janji.

Namun apalah dayaku yang berawal dari kehampaan, lalu ku gengam hidupku pada hari yang penuh tawa.

Baca Juga: Jeda

Yang tenggelam pada peluk kedamaian air mata yang lama tergenang. Hingga aku terjebak pada arah bias jalanku kembali ke tempat yang kuyakini adalah bahagia.

Aku tersadarkan oleh setitik cahaya dibalik sepi, yang kemudian sayap putihnya menuntunku tuk kembali setelah melewati surga.


Tentang Januari

Aku berjalan dan terus bertahan dalam jiwa yang lelah, tak terarah fikiranku menggenggam kisah yang melekat tak terhapus waktu.

Langit telah terlanjur gelap dan meninggalkan suaraku mengendap di bumi.

Aku terbelenggu sendiri dalam pekatnya ilusi, hingga pagi tak henti mengusik hari-hari.

Kucoba tuk hindari segala yang terjadi, tentang seluruh yang mengitari isi kepalaku. Kan ku ikhlaskan semua bersama januari yang berlalu.

Jika ini  masih terbawa, aku tak takkan sanggup menjemput  matahari, nantikan aku berakhir sendiri dalam tangis terperih.


Melawan perih

Saat kau tak lagi di sini

Ku terbangun dari sepiku

Tak ku temukan lagi

Indah hadirmu temaniku.


Waktu membawaku kembali

Terbangkan harapku di sini 

Tapi takkan terjadi.


Aku sungguh katakan itu dari sucinya hatiku.

Jangan biarkan hariku terhenti, ku 'kan menunggumu hingga ku mati.

Tersadarkan aku, pada hampa yang menyiksa.

Tenggelamkan aku dalam rasa yang menjerat.


Suara Oposisi

Aku mendengar nyanyian sepi.

Aku mendengar nyanyian sunyi.

Aku mendengar mimpi-mimpi.

Aku mendengar kembali.

Sebahagian kita masih dalam ambisi menghitung amunisi di pemilu nanti.

Akankah kita menjadi oposisi  ataukah menyempurnakan cara menghamba pada oligarki.

Nafas ini semakin terkontaminasi oleh bakteri dari ekspansi kekuasaan demi gelimang harta. 

Kelak terhitung menjadi dermawan dikala bencana menerpa. Mereka membangun citra di depan mata kamera, lalu tersiar hingga di pelosok desa.


Vaksinasi Massal

Aku adalah Sinovac

Aku adalah AztraZeneca

Aku adalah Moderna

Dan aku adalah Pfizer.


Aku adalah covovax

Aku adalah Zififax

Aku adalah Sinopharm

Dan Aku adalah Novavax


Aku memberimu pertahanan tubuh agar tak mati sia-sia.

Aku adalah kebaikan penguasa yang kau dapatkan secara cuma-cuma.

Tapi aku adalah sertifikat ketakutan yang terdesak, kau tak bisa lari dari padanya.

Tapi aku adalah syarat jaminan agar pupuk subsidi kau peroleh sebagai petani.

Aku pun sebagai syarat agar kau bisa dilayani di instansi pemerintah yang kau pilih sendiri.


Aroma Tubuh

Aku ingin memberimu kabar dari kejauhan, mengirimkanmu peluk sedemikian mesra  bahwa cinta ini masih terjaga.

Melalui angin yang menyusup dari jendela, aku titip kepadanya di sore yang memerah ini.

Dan pada hippocampus di kapalaku masih kuat melukis letak-letak peristiwa sebelum kita perpisah.

Sungguh aroma Clive Christian di tubuhmu  masih teringat  jelas hingga kini sebelum kita berpisah di musim dingin lalu.

Waktu itu, aku merasakan kecepatan detak di dadamu  menerima segala kesenangan yang kuserahkan.

Jemari yang saling mengikat,  agar tak ada kata berpisah, yang menuntunku menemukan titik terindah dalam hidupmu.


Tetapi Hatiku

Tak banyak sesuatu yang tampak dalam langkahku. Dan aku masih dalam segala diamku.

Tetapi hatiku telah jatuh, jatuh ke dalam tempat yang utuh yang kusebut cinta.

Inginku bawa senyumanmu tuk terbang melintasi awan pada diamnya kota tua, menuju tempat paling dalam dari hatiku.

Tak usah kau ragukan itu, ini sejujurnya kasih yang putih. Apakah kisah ini 'kan membisu tak terbatas waktu? Yang terendap bersama hari berlalu.

Coba pahami keindahan yang ada, sesungguhnya ini milikmu.


Sesuatu yang Mati

Dengarkan sisa suaraku, bertahan dalam sesuatu yang mati.

Tak mengerti ini terjadi, ingin ku akhiri di hidupku yang letih.

Takkan lagi ku berlari tuk ikuti matahari yang menerangi.

Akanku pergi tampa kau sadari, dan terus menepi.

Semua ini bukan mimpi atau halusinasi,

Bahwa tak kurelakan menjadi perih sampai ku mati.


Dan Tak Lagi Bermakna 

Sadarkah kita akan semua yang sementara, dibalik hati kita yang tertindas oleh senandung kata mereka.

Bukankah kita pernah saling menggengam oleh sebuah pengakuan suci, dari tulusnya jiwa-jiwa tuk saling memberi.

Seolah sesuatu menjadi tiada jika salah satu di antara kita terhenti, dan tak ada keraguan yang menyelinap dalam relung  saat melihat dalam matamu.

Di matamu adalah sungai-sungai yang jernih diterpa terik mentari, takkan hilang walau musim berganti.

Di matamu adalah tetesan embun yang rela bertahan bersama bayangku agar tak terjatuh ke dalam sunyi.

Namun ku temui hadirmu kini dalam kehilangan warna. Hilang menemui ketiadaan. 

Bahwa nyata hadirku tak lagi bermakna di sisimu. Bahwa kau telah  lelah di sini, hingga kau temukan hitamku adalah sebaik-baiknya alasan tuk saling meninggalkan.