Matahari beranjak dari sarangnya. Percikan cahaya berselimut jingga mengampiriku yang masih bersembunyi di balik sehelai kain. Burung kenari bernyanyi sambil menari di balik jeruji sangkarnya.
Simfoni indah kicauan burung mungil itu seperti tiupan seruling di gendang jiwa. Membuatku tergoda, naluri meronta, ingin menyibakkan kain yang membungkus tubuh lalu olahraha kecil sambil mencumbu bibir matahari yang kian merona. Cumbu yang tanpa sekat, tanpa batas. Nikmat.
Ikan Koi piaraan suamiku terlihat riang berkejaran dengan gelembung oksigen yang datang. Bunyi percik air membasahi jiwaku yang gersang. Perlahan mulai menghibur otakku yang bosan. Perlahan memberi energi pada tubuhku yang lunglai.
Jarum jam bergerak begitu lamban. Seperti kura-kura kepanasan. Tak bergairah. Tak bertenaga. Padahal hari ini ingin aku lalui begitu cepat. Segera ingin berganti hari esok. Hari ini tepat hari lahir Nur Khalis, suamiku.
Usianya menginjak 35 tahun. Satu tahun lebih tua dari aku. Aku bukan tidak mau merayakan hari lahirnya. Tapi serangkaian ritual yang dipersiapkan membuatku lesu. Jauh hari sebelumnya, serangkaian list pesanan ditulis jelas.
Yang paling membuatku geli, dia memintaku berdandan ala artis barat. Tontotan film barat yang diganderungi telah menyihir otaknya. Dia ingin aku menjelma seperti noni-noni Belanda berambut pirang. Dia ingin melihatku memakai pakaian minim dan aduhai.
Permintaan ini sulit kuturuti. Terlalu drama. Terlalu mengada-ada. Tapi apa boleh buat, demi menghindar dari amarahnya, dengan amat sangat terpaksa aku turuti. Rambutku yang tumbuh subur, sehat, luruh dan hitam tanpa pewarna harus kunodai dengan cat rambut warna merah.
Beragam treatment harus dilalui untuk mendapat hasil persis seperti permintaan suamiku. Sebelum dicat, rambutku harus di bleacing. Proses ini bukan tanpa resiko. Jika salah langkah, bisa bikin rambut rusak. Beruntung pegawai salon dengan warna gedung ungu itu sangat telaten; hasilnya memuaskan.
Selain perawatan rambut dan badan, Nur meminta aku mengenakan pakaian sesuai permintaannya. Mulai dari lingeri warna pink hingga G-string jaring-jaring. Sementara pakaian luar cukup kaus dan celana pendek agar terlihat tomboy. Entah inspirasi gila itu muncul dari mana. Tapi yang jelas aku terpaksa ikutan gila karena wajib mematuhinya. "Huft," gumamku.
Malam perayaan ultah akhirnya tiba. Tempat perayaan yang dipilih adalah tempat paling romantis; kamar kami sendiri. Ruangan di desain mirip kamar pengantin baru. Bunga tulis bergelantungan di setiap sudut jendela. Melati merayap di diatas difan. Sementara mawar bergeletakan di atas ranjang.
Ruang gelap. Hanya sorot lilin dari angka 4 dan 5 yang menyinari kami. Senyum merkah tersungging di bibir Nur. Bicaranya gelagapan. Persis saat malam pertama kami, tiga belas tahun lalu. Sebagai perempuan normal, hatiku mulai berdebar.
Birahiku tersentak dan tak mampu ku bendung saat berada di suasana romantis dengan semerbak bunga itu. Seperti ada aliran sungai membasahi setiap lekuk area sensitifku. Mengalir begitu deras. Semakin deras membuat hutan belantara di jiwaku basah kuyub.
Jantungku berdegup kencang seperti ada bunyi tabuhan genderang perang. Pun bicaraku ikut gelagapan. Senyumnya, bicaranya, manjanya dan tatap matanya membuat pertahananku jebol. Malam ini aku menyerah. Membiarkan suamiku Nur menanami ladangnya dari berbagai sisi dan beragam cara. Sampai pagi. Sampai matahari kembali tersenyum dari ufuk timur.
************
Aku masih lemas tak berdaya. Sementara Nur Khalis, suami sekaligus ayah dari anak-anakku tidak lagi dalam peluk eratku. Ustaz lulusan pesantren ternama di Madura itu rupanya sudah berkemas. Dia segera berangkat menuju Bandar Udara Internasional Juanda.
Dia hendak menuju Negeri Jiran, Malaysia karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Sebenarnya aku diajak tapi kutolak. Aku beralasan tidak mendapat izin cuti dari kantor tempatku bekerja. Padahal itu cuma alasan. Aslinya memang malas ikut. Lebih tepatnya, ingin menikmati hari tanpa suamiku.
Sebelum masuk mobil, Nur menghampiriku. Berpamitan untuk pergi sekitar seminggu. Dia mengecup keningku. Lalu mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya hidupku selama dia berada di negeri orang. Dia juga menyerahkan kunci mobil untuk fasilitas transportasiku bekerja.
"Jaga diri baik-baik Ma, Ayah tidak akan lama. Awas jangan nakal. Jangan keluyuran. Mau kemanapun harus pamit," katanya possesif.
"Ayah yang jaga diri baik-baik, kan ayah yang bepergian," kataku menimpali.
"Sebenarnya Ayah ingin ajak Mama jalan-jalan ke Malaysia. Kita bisa ke Kuala Lumpur melihat romantisnya menara kembar. Kita juga bisa menyaksikan langsung keseruan MotoGP di Sirkuit Sepang," katanya dengan muka kusam.
"Sebenarnya Mama juga pengen banget ikut Ayah, tapi bagaimana lagi, Mama tidak dapat izin cuti dari kantor," kilahku sambil memegang tangannya.
"Ya sudahlah. Ayah berangkat. Jaga diri baik-baik. Jangan keluyuran, itu yang paling penting," katanya lalu bergegas menuju mobil. Suara knalpot mobil yang ditumpangi suamiku perlahan hilang dari pendengaran.
Aku benar-benar sendiri di kamar. Tidak ada yang menemani. Anak-anakku sejak tiga hari lalu kutitip dirumah umi. Kedua pembantuku sengaja diliburkan agar tidak mengganggu malam ultah suamiku.
Dalam kesendirian ini alam pikirku bergerak menuju lamunan. Mengeja satu persatu memori pernikahan yang usianya menginjak tiga belas tahun. Selama lebih dari satu dasawarsa aku hidup dalam kepura-puraan. Tidak ada cinta. Tidak ada rasa. Hubungan dijalani hanya sebatas kewajiban karena telah berikrar di hadapan Tuhan.
Selama tiga belas tahun melawan pilu dan membenci rindu. Sebuah pengembaraan yang paling menyakitkan. Bukankah tidak ada pilu yang lebih pilu dari membenci rindu. Bukankah tidak ada luka yang lebih luka dari pura-pura cinta. Semuanya kujalani sendiri.
Sementara rindu pada Decky, cinta pertamaku sekaligus terakhirku kian menggebu. Kerinduan yang menjelma lahar lalu membakar seluruh benih bahagia bersama Nur, kekasih halalku. Tidak ada bahagia, tidak ada rasa, apalagi cinta, yang ada hanya pengharapan agar aku segera dipertemukan lagi dengan Decky, sang pujangga yang juga lulusan pesantren bergelar ustaz itu.
Aku masih mematung. Menghitung setiap detik dan detak jantung. Menghirup setiap udara yang didalamnya menyimpan satu nama, De, panggilan sayang untuk kekasih abadiku; Decky. (*)