Awal pemerintahan Orde Baru ditandai dengan pembangunan ekonomi besar-besaran. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mengangkat kondisi perekonomian negara yang terpuruk pasca peristiwa Gerakan Satu Oktober 1965 (Gestok).
Sejumlah kebijakan pun diambil oleh pemerintah untuk memperlancar proses pembangunan. Namun, dalam prakteknya terjadi sejumlah penyimpangan serta benturan konflik kepentingan antar elite politik.
Masyarakat yang kecewa akan tindakan sejumlah elite politik serta pengusaha kemudian melancarkan kritik serta aksi sebagai bentuk perlawanan. Gerakan-gerakan anti korupsi seperti Mahasiswa Menggugat, Komite Anti Korupsi, dan Angkatan Pelajar Indonesia 70 dibentuk sebagai respon terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai menyengsarakan.
Memasuki awal 70an, tepatnya pada tahun 1971, kelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada membentuk Koran Sendi sebagai wadah menuangkan tulisan untuk mengkritisi pemerintah. Edisi pertama Sendi dipublikasikan pada November 1971.
Mengutip dari buku Max Lane yang berjudul “Unfinished Nation”, dalam 6 edisi awal Sendi menulis tajuk rencana yang sangat keras terkait lemahnya riset kritis, pelaksanaan Pemilu 1971, pengabaian biaya pendidikan, hingga omong kosong tentang pembangunan.
Pada tahun 1973, gerakan mahasiswa memasuki gelombang baru. Selain korupsi dan pelayanan akses pendidikan, permasalahan seputar membanjirnya modal luar negeri telah menyebabkan perkembangan eknomi masyarakat stagnan. Ketimpangan sosial pun merebak.
Pada masa ini, Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) serta Dema UI memainkan peran sentral sebagai pengkritisi pemerintah. Gerakan mahasiswa pada masa ini menampilkan pola gerakan baru. Generasi 1973 tidak terlalu getol menyuarakan urgensi suksesi, tetapi pokok perjuangan mereka adalah perbaikan serta perubahan strategi ekonomi.
Petisi serta aksi menjadi strategi menyampaikan aspirasi. Namun, kerusuhan Malapetakan Lima Belas Januari 1974 (Malari) menjadi titik balik bagi rezim untuk menghantam gerakan mahasiswa. Pasca kerusuhan Malari aksi tahun 1978, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang selaras dengan konsep “masa mengambang” Ali Murtopo.
Kebijakan NKK tersebut tentunya membunuh politik mobilisasi para aktivis gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dalam perkembangannya pun mati suri, sebelum akhirnya menemukan kembali momentum gerakan reformasi.
Namun, pasca “terbunuhnya” gerakan mahasiswa akibat kebijakan NKK, sebuah gerakan moral yang menamakan dirinya sebagai Petisi 50 sempat mengacaukan ketenangan pemerintah Orde Baru. Pemerintah harus dibuat panik dan overthinking oleh sebuah petisi yang dipelopori oleh sejumlah tokoh.
Petisi 50 bukan merupakan satu-satunya petisi yang membuat rezim Orde Baru kocar-kacir. Dalam perkembangannya, dari awal berdirinya hingga runtuhnya Orde Baru, terdapat beberapa petisi yang dikeluarkan sebagai bentuk tuntutan serta keresahan masyarakat akan jalannya pemerintahan.
Petisi 24 Oktober
Sebelum dikeluarkannya Petisi 24 Oktober, Studi Grup Mahasiswa Indonesia telah mengeluarkan sebuah petisi yang bernama Petisi Keadilan. Petisi tersebut merupakan tuntutan agar pemerintah melakukan kontrol secara ketat terhadap penggunaan serta pembagian uang negara.
Petisi 24 Oktober dilatarbelakangi oleh sejumlah tindak penyelewengan wewenang pejabat Orde Baru serta strategi pembangunan (diperoleh dari kucuran dana luar negeri) yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Petisi ini diprakarsai oleh Dema UI dan dibacakan di TMP Kalibata pada tanggal 24 Oktober 1973.
Tuntutan dalam Petisi 24 Oktober 1973 antara lain: peninjauan kembali strategi pembangunan, pembebasan rakyat dari cengkraman ketidakpastian, merajalelanya korupsi dan penyelewengan jabatan, dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak bagi masa deoan.
Petisi 24 Oktober mempunyai peran dalam mengkonsolidasikan gerakan mahasiswa di berbagai wilayah menentang ketergantungan ekonomi Indonesia pada luar negeri.
Di Yogyakarta, sebuah kelompok yang dikenal sebagai Gerakan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (Gemiri) melontarkan sejumlah kritik terhadap ketergantungan perekonomian Indonesia terutama terkait investasi serta bantuan asing. Menurut Gemiri, bantuan asing mampu memberikan pertolongan jangka pendek namun membebani dalam jangka panjnang.
Selain itu, mahasiswa di Jawa Timur, seperti Universitas Brawijaya, IKIP Malang, Universitas Negeri Jember, Institut Teknologi Surabaya, Unuversitas Airlangga, serta IAIN mengeluarkan sebuah makljmat.
Maklumat tersebut dikenal sebagai Maklumat 73. Maklumat 73, secara garis besar, berisi tentang tuntutan pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada rakyat serta perlunya pembinaan pendidikan demoratis dalam meningkatkan motivasi pembangunan.
Petisi 50
Pasca diberlakukannya kebijakan NKK, gerakan mahasiswa tidak mempunyai wadah dalam melakukan perlawanan. Namun, pada tahun 1980, terdapat sebuah gerakan moral yang merupakan antitesa dari kekliruan tafsir dan kebijakan Orde Baru. Gerakan moral tersebut adalah Petisi 50.
Petisi 50 merupakan ungkapan keprihatinan atas dua pidato Presiden Soeharto di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan saat HUT ke-28 Kopassandha (16 April 1980). Ungkapan keprihatinan tersebut antara lain: adanya polarisasi seputar gagasan melestarikan Pancasila dan gagasan mengganti Pancasila, salah tafsir Pancasila untuk digunakan mengancam lawan politik, menggunakan Saptamarga dan sumpah prajurit demi membenarkan tindakan penguasa, mengajak ABRI berpihak pada penguasa, upaya mempersonifikasikan Pancasila, dan tuduhan adanya upaya batil untuk menghadapi pemilu berikutnya.
Petisi 50 digagas oleh 50 tokoh nasional terkemuka, seperti Ali Sadikin, A.H. Nasution, Hoegeng Iman Santoso, M. Natsir, Kasman Singodimerdjo, dan lain-lain. Namun, Petisi 50 mendapat tanggapan yang serius oleh pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini Soeharto, menganggap Petisi 50 sebagai pembangkang atau dissident . Mereka (anggota Petisi 50) harus “dibunuh” secara karir dan dipersulit memperoleh hak nya sebagai warga negara.
Hal tersebut terlihat dari sejumlah anggota Petisi 50 yang kesulitan ketika mengurus administrasi di kantor pemerintah, dipersulit dalam pinjaman kredit bank, bahkan dilarang menghadiri acara-acara atau kegiatan tertentu. Ironis pemerintah menunjukkan palunya dengan memukul gerakan moral Petisi 50, yang sebenarnya jauh dari kata bahaya apabila dibandingkan dengan gerakan mahasiswa 1973-1974.
Apabila kita amati terdapat sejumlah perbedaan yang fundamental antara Petisi 24 Oktober dengan Petisi 50. Hal tersebut terlihat dari isi tuntutan perjuangan, tokoh, tokoh penggagas, serta aksi lanjutan dari petisi. Petisi 24 Oktober menekankan pada kemerosotan moral pejabat (korupsi) serta ketergantungan pada luar negeri.
Sedangkan Petisi 50 menekankan pada konsep pemahaman Pancasila. Petisi 24 Oktober digagas oleh mahasiswa, sedangkan Petisi 50 digagas oleh purnawirawan dan tokoh nasional. Petisi 24 Oktober memperoleh hasil dengan aksi masa, dalam hal ini Malari. Sedangkan Petisi 50 nyaris nihil tanpa hasil.
Gerakan perlawanan nyaris tidak mempunyai celah dalam mengkritisi pemerintah Orde Baru yang menekankan aspek militeristik dalam menjalankan pemerintahan. Pemerintah Orde Baru memperoleh legitimasi sejalan dengan diterapkannya konsep masa mengambang Ali Murtopo, kebijakan NKK/BKK, serta Dwi Fungsi ABRI. Hal tersebut yang membuat aspirasi masyarakat terkebiri.
Namun, selama 32 tahun, 2 petisi yang lahir dari rahim keresahan masyarakat akan jalannya pemerintahan telah mampu membuat Orde Baru ketakutan. Petisi 24 Oktober yang dipelopori oleh gerakan progresif mahasiswa telah mampu membombardi OrBa dengan demonstrasi massa. Sedangkan Petisi 50 yang dipelopori oleh intelektual dan tokoh nasional telah membuat OrBa mengambil langkah-langkah yang berlebihan dan tak masuk akal.