Korupsi bukan merupakan fenomena baru dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan budaya masyarakat, terkhusus budaya patrimonial, di masa lampau. Sebagai sebuah penyimpangan, korupsi mampu menyasar seluruh lapisan masyarakat tanpa batas.
Menurut Dan Hough, konsep korupsi memiliki masa lalu berwarna-warni dan penuh makna. Namun, dewasa ini konsep korupsi memiliki makna yang lebih sempit dibanding konsep korupsi pada masa silam.
Dewasa ini, penyempitan makna korupsi hanya sebatas pada penyelewengan kekuasaan oleh pejabat publik. Sedangkan pada masa silam konsep korupsi juga mempunyai pemaknaan yang merujuk pada kemerosotan watak etis orang/perilaku, tidak adanya integritas moral, hingga kebejatan hidup orang.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh semua negara dalam rangka memberangus tindak penyimpangan korupsi, tak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia korupsi termasuk dalam kategori kejahatan yang luar biasa. Hal tersebut berimbas pada upaya pemberantasannya yang seemikian gencar.
Upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah dilakukan dengan mencakup 2 hal, yakni upaya pencegahan dan upaya penindakan. Dalam upaya penindakan, pembentukan hukum positif untuk menghadapi korupsi telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama beberapa masa perjalanan sejarah dan beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan.
Peraturan yang telah dibuat tersebut diantaranya: Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/1957, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, hingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Selain pembentukan sejumlah aturan tersebut, pemerintah juga membentuk sejumlah badan atau lembaga anti rasuah dalam perkembangannya. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya: Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan), Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Tim Penegak Korupsi (TPK), Komisi 4, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun upaya penindakan tersebut tidak berjalan secara efektif karena begitu masifnya tindak penyimpangan korupsi di Indonesia. Bahkan tidaklah berlebihan apabila mengatakan bahwa korupsi telah menjadi bagian integral dalam budaya masyarakat Indonesia.
Hal tersebut karena tidak dibarenginya upaya pencegahan korupsi ditengah gencarnya pemerintah dalam memberantas korupsi. Lantas bagaimana upaya pencegahan yang efektif untuk praktik penyimpangan korupsi? Pendidikan anti korupsi adalah kunci!
Pendidikan anti korupsi merupakan suatu upaya terstruktur jangka panjang dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada peserta didik yang sekaligus merujuk kepada 3 ranah, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik akan pengetahuan seputar korupsi dan dampak yang ditimbulkan dari korupsi.
Aspek afektif bertujuan membentuk sikap anti korupsi kepada peserta didik. Sedangkan aspek psikomotorik berkaitan dengan pengembangan sikap serta langkah konkret peserta didik dalam memerangi praktik penyimpangan korupsi.
Menengok realita sistem kurikulum 2013, sebenarnya pendidikan anti korupsi sudah terintegrasikan dalam pendidikan karakter yang ingin dibentuk negara terhadap peserta didik. Sehingga tidaklah perlu merumuskan sebuah kurikulum baru khusus untuk menenamkan nilai-nilai anti korupsi.
Namun, abstraknya definisi serta upaya merealisasikan pembentukan karakter peserta didik dalam kurikulum 2013, pendidikan anti korupsi pun menguap begitu saja alam tujuan pendidikan nasional.
Sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk kembali meneguhkan konsep pendidikan anti korupsi di lembaga sekolah formal. Berikut beberapa langkah konkret dan sederhana yang dapat ditempuh untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi tanpa doktrinasi yang kaku kepada peserta didik
Pengintegrasian Pendidikan Anti Korupsi dengan Sejumlah Mata Pelajaran
Sebagai bagian dari pendidikan karakter, pendidikan anti korupsi juga memerlukan strategi internalisasi untuk disisipkan pada mata pelajaran yang ada. Tetapi tentu tidak semua mata pelajaran harus dipaksakan untuk menyisipkan nilai-nilai anti korupsi sebagai suatu target utama pembelajaran.
Minimal 2 mata pelajaran dapat kita gunakan sebagai lokomotif penanaman nilai-nilai anti korupsi. 2 mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan Agama.
Mata pelajaran PPKN mempunyai peran yang cukup strategis dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Hal terlihat jelas dalam KI-KD yang termaktub di setiap jenjang pendidikan. Untuk sekolah dasar, secara garis besar, mapel PPKN telah mengajarkan (atau setidaknya memberikan pemahaman) tentang perilaku sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam jenjang pendidikan SMP, mata pelajaran PPKN memberikan penjelasan terkait norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat. Dan di jenjang SMA, pelajaran PPKN semakin menjadi pelajaran politik bagi peserta didik.
Hal tersebut tidak terlepas dari muatan indikator yang disampaikan, seperti fungsi le, ancaman terhadap negara, hingga pengetahuan seputar hukum dan peradilan. Korupsi sebagai sebuah penyelewengan kekuasaan bisa kita antisipasi melalui pelajaran ini.
Mata pelajaran agama mempunyai peran dalam mendefinisikan korupsi sebagai sebuah kemerosotan moral dan pelanggaran etis. Dalil-dalil agama sangat banyak yang menjelaskan mengenai penyebab kemerosotan moral beserta hukumannya kelak. Namun, sayangnya hal tersebut kurang begitu diperhatikan.
Mata pelajaran agama masih terbatas pada tataran transfer of knowledge serta kurang membentuk sikap terhadap sebuah pelanggaran nilai keagamaan itu sendiri (korupsi) yang kita pahami sebagai sebuah dosa. Bisa kita bayangkan apabila pembelajaran agama mampu dikonsep dengan orientasi pembentukan sikap anti korupsi. Saya yakin KPK tidak akan bekerja lagi. Ya jelas, semua takut korupsi karena hukuman yang kelak menanti pasca mati.
Peran Ekstrakurikuler
Penanaman nilai-nilai anti korupsi juga bisa dilakukan diluar jam pelajaran kelas. Hal tersebut tentunya melalui kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti oleh peserta didik. Sama seperti dalam 2 mapel yang berbeda, pengintegrasian nilai-nilai anti korupsi juga dapat dilakukan pada 2 ekstrakurikuler, yakni Pramuka dan Majalah dinding (Mading).
Sebagai sebuah organisasi kepanduan, Pramuka memiliki peran dalam menyelenggarakan pendidikan di luar sekolah bagi anak-anak hingga remaja. Pramuka bertujuan untuk membentuk kepribadian, ketangguhan, serta keberanian generasi muda dalam rangka pembangunan bangsa.
Dalam praktiknya, Pramuka merupakan ekstrakurikuler wajib yang diselenggarakan oleh setiap jenjang penididikan, mulai dari tingkat siaga hingga pandega. Implementasi nilai-nilai yang sesuai dengan janji atau harma Pramuka bisa digunakan sebagai salah satu wahana pendidikan anti korupsi.
Namun menengok realita di lapangan, tidak sedikit kegiatan pramuka yang diselenggarakan di sekolah menampilkan wajah senioritas. Hal tersebut harus segera dibenahi agar penanaman nilai-nilai anti korupsi menjadi lebih efektif serta tepat sasaran.
Selain Pramuka, kegiatan ekstrakurikuler yang mampu dijadikan pelopor gerakan anti korupsi di sekolah adalah majalah dinding. Majalah dinding merupakan wahana kreatifitas serta berpikir kritis peserta didik dalam mengekspresikan isu-isu terkini yang dikemas secara lebih chill dalam bentuk design visual atau tulisan untuk selanjutnya ditempelkan di majalah dinding.
Dengan dimanfaatkannya majalah dinding akan berdampak pada meningkatnya minat literasi peserta didik. Isu-isu seputar korupsi, mulai dari jenis-jenis korupsi, dampak korupsi, hingga kasus-kasus korupsi terkini yang disajikan dalam majalah dinding akan mampu menjadi lokomotif yang efektif bagi gerakan anti korupsi di sekolah.
Peran Guru
Perencanaan strategi pendidikan anti korupsi akan berjalan efektif dengan dibarenginya peran optimas seorang pengajar atau guru. Seiring dengan perkembangan zaman, guru harus mampu mengajar dengan meninggalkan metode-metode konvensional, terkhusus dalam hal penanaman nilai-nilai anti korupsi.
Pendidikan anti korupsi harus diselenggarakan secara moderat dan tidak bersifat indroktinatif kepaa peserta didik. Guru harus mampu menjai fasilitator dalam selama kegiatan pembelajaran.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan peserta didik kesempatan dalam mengembangkan pengetahuan secara luas serta fleksibel dengan tetap menanamkan konsep 4C (Critical Thinking, Collaboration, Creativity, Communication), melatih siswa untuk menentukan pilihan perilakunya, melibatkan siswa secara aktif dalam seluruh kegiatan sekolah, baik di dalam maupun di luar.
Dengan sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik tersebut, siswa akan lebih aktif dalam mencari, mengeksplorasi, hingga menginvestigasi isu-isu seputar korupsi, faktor penyebab korupsi, hingga dampak yang ditimbulkan dari korupsi.
Hasil dari pendidikan anti korupsi adalah siswa mampu mendefinisikan secara mandiri apa itu korupsi serta mampu mengambil sebuah sikap dan keuputusan untuk melawan korupsi menggunakan media atau metode yang mereka create berdasarkan hasil investigasi mereka sendiri.