Sebagai seorang Ayah tentunya berharap yang terbaik bagi putra-putrinya. Salah satunya adalah kesadaran perlunya membangun kepercayaan diri pada anak. Terlebih, saya termasuk orang yang dulunya pemalu, pendiam, dan kurang percaya diri.
Kadang lebih baik memilih diam dan sepanjang ingatan saya saat duduk di bangku sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas, saya termasuk anak yang pendiam dan jarang memberanikan diri untuk unjuk gigi.
Perubahan drastis untuk berani tampil justru muncul saat di semester akhir perkuliahan S1, di masa-masa itulah saya menjadi asisten pelatihan yang diselenggarakan oleh Laboratorium.
Kadang bahkan diminta untuk menggantikan dosen menjadi pengajar utama. Nah, dari situlah saya belajar membuka diri dan menjadi seorang yang percaya diri untuk menyampaikan materi dan pengetahuan yang saya pelajari.
***
Belajar dari pengalaman hidup tersebut, saya dan istri sepakat untuk mencoba melatih keberanian anak lelaki pertama kami dalam menyampaikan cerita.
1. Bercerita Langsung
Dimulai dari hal kecil, misalnya menceritakan kegiatan sehari-harinya. Kegiatan bercerita secara langsung ini awal mulany cukup rutin kami lakukan setiap sore atau kadang malam hari.
Cerita dimulai dari dia bangun tidur, saat sarapan pagi, hingga perjalanan menuju sekolah, tentunya termasuk kegiatan di sekolah. Kegiatan bercerita secara langsung ini semakin terasa manfaatnya saat kami berada di Belanda.
Berkesempatan sekolah bahasa di Belanda, anak lelaki pertama kami mengalami perubahan yang luar biasa. Meski dengan keterbatasan bekal bahasa Inggris, namun ternyata dia berani berkomunikasi.
Bahkan, guru kelasnya saat itu menyampaikan bahwa anak lelaki kami termasuk ke dalam sekelompok anak yang cepat beradaptasi. Kami pun sempat meminta dia untuk membaca buku cerita bahasa Belanda dan mengunggahnya ke YouTube.
Anak lelaki kami membuat akun YouTube untuk menyimpan segala bentuk kreativitas dan kegiatannya. Dia bebas melakukan edit video, termasuk unggah video dan tentu saja kami tetap memantau kegiatannya tersebut.
Nilai positif dari kegiatan bercerita langsung ini, kami melihat bahwa anak lelaki kami semakin tambah percaya diri secara perlahan-lahan. Meskipun, awal mulanya masih grogi dan malah cenderung ketakutan.
Rasa takut salah dalam menyampaikan cerita dan kurang percaya diri sepertinya sempat menghantui anak lelaki kami. Dia khawatir bahwa cerita yang disampaikannya malah membuat dia kena tegur, dan berbagai rasa lainnya.
Untuk mencari variasi dalam menyampai cerita kesehariannya, kami mencoba kegiatan lain yaitu menulis dalam buku tulis.
2. Menuliskan Kegiatan Kesehariannya
Secara perlahan kami transformasikan penyampaian cerita secara lisan ke dalam bentuk tulisan. Menuliskan cerita kesehariannya ke dalam buku tulis. Langkah ini adalah tahap kedua dan bagian dari awal adaptasi waktu pertama kali tiba di Belanda.
Selain sebelumnya kami mencoba melatih keberanian anak dalam bercerita, kami juga menyadari perlunya seorang anak untuk berlatih menulis. Oleh karena itu, kami menggunakan buku tulis sebagai salah satu alat bantunya.
Anak lelaki kami menuliskan tiap pengalaman yang dilaluinya saat sekolah di Belanda. Dari mulai, berkenalan dengan anak-anak dari berbagai negara. Hingga menuliskan pelajaran dan permainan yang diikutinya.
Satu hal yang bikin saya terkesima hingga sekarang adalah tulisan tangannya berubah. Dia menulis dengan cara tegak bersambung, berbeda dengan sewaktu dia di Indonesia.
Namun, ternyata begitu balik ke Indonesia karena kemampuan menulis di buku tulis tidak diasah kembali, maka dia kembali menulis seperti awal tulisannya. Seakan-akan dia menjadi lupa dengan cara menulis tegak bersambung.
Sekolah dari rumah yang menggunakan laptop, kadang menggunakan gawai menyebabkan interaksinya dengan buku tulis kembali berkurang. Meskipun, awal mula sekolah dari rumah berjalan, kami tetap upayakan agar dia menulis.
Menyadari hal tersebut, kami pun mulai mencari cara lain lagi. Tujuan utamanya agar tetap menjaga keberanian anak dan membangun kepercayaan dirinya melalui penyampaian cerita kesehariannya.
3. Menerjemahkan cerita ke dalam bahasa Inggris
Sepulang dari Belanda, kami menemukan cara lain lagi untuk menjaga kemampuan dan keberaniannya dalam bahasa Inggris. Hal ini semakin ditunjang dengan dukungan dari pihak sekolah.
Anak lelaki kami berkesempatan mengikuti ekstrakurikuler bahasa Inggris dan content creator. Bahkan, terakhir kemarin dia mengikuti semacam persiapan untuk olimpiade bahasa Inggris.
Untuk mengasah pemahaman dan keberaniannya bercerita, maka kami meminta dia untuk menuliskan yang dia gemari, baik film maupun games yang dimainkannya. Meskipun, tidak semua langsung dia tulis dalam bahasa Inggris.
Kami melatih dia untuk mencoba menggunakan perangkat penerjemah seperti Google Translate. Kemudian, untuk cek apakah rangkaian tulisannya sudah sesuai atau belum, kami kenalkan Grammarly.
Dari kegiatan menerjemahkan itulah, dia menuangkan ceritanya dan belajar mengenal cara menulis dalam bahasa Inggris. Kemudian, mater tersebut akan dituangkannya ke dalam file presentasi.
4. Menyajikan ceritanya ke dalam bahan presentasi
Menyajikan tulisan hasil terjemahan tersebut ke dalam bahan presentasi adalah langkah berikutnya yang kami kenalkan. Pertama kali dia mengenal penyajian informasi dan cerita dalam bentuk file presentasi saat mengikuti ekstrakurikuler content creator.
Materi pertama yang dia susun dalam cerita adalah film anime kesukaannya saat ini. Dia menceritakan karakter dari semua tokoh utama dalam film anime tersebut.
Susunannya masih berupa paragraf panjang dengan satu gambar dari tokoh tersebut di samping kanan teks. Kemudian, saat berlatih untuk mempresentasikannya dia merasakan kesusahan melihat teks yang cukup banyak dan dibacanya kata per kata.
Akhirnya, dari latihan tersebut kami melakukan evaluasi bersama untuk mengubah paragraf panjang menjadi poin per poin berisi pokok cerita. Ulasan ringkas karakter tiap tokoh ditulis dengan sederhana dalam bentu pointer.
Ukuran gambar pun disesuaikan kembali, termasuk peletakannya agar selaras dengan tata letak dan teks pointer tersebut. Kemudian, mulailah kembali dia membaca bahan presentasinya sebelum mulai direkam untuk presentasi dalam bahasa Inggris.
5. Mempresentasikan dalam bahasa Inggris
Sesi mempresentasikan file yang telah disiapkan dimulai dan kami melakukannya melalui fasilitas pertemuan daring dengan Zoom. Saya pun butuh waktu sebentar saja untuk mengenalkan pengaturan pada aplikasi Zoom.
Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan anak zaman now yang sepertinya lebih cepat adaptasi terhadap teknologi digital. Sisi positif dari penggunaan gawai dan perangkat lainnya, meskipun kita mesti menjaga agar anak tidak kecanduan gawai.
Pengaturan sederhana yang saya kenalkan adalah bagaimana menayangkan presentasi dalam layar penuh, hingga merekam kegiatan pertemuan daring tersebut. Hasil rekamannya akan diedit, untuk kemudian diunggah ke akun YouTube.
Presentasi pertama kali yang dilakukannya dalam bahasa Inggris memang terdengar sejumlah kata yang pengucapannya belum sesuai. Namun, bagi saya dan istri hal tersebut adalah hal yang wajar.
Kami berdua saja masih terbatas, bahkan masih terbata-bata, belum lagi ditambah logat kami berdua yang Jawa English. Oleh karena itu, kami cukup terkesima dengan kemampuan dan keberanian anak lelaki kami.
Dia dengan percaya diri membaca tiap kata hasil kegiatan penerjemahannya. Kami sempat kenalkan juga agar mengenal bagaimana mengucapkan kata tersebut dengan mengoptimalkan fasiltias pada Google Translate.
Setelah kegiatan pertama kali tersebut, dia semakin percaya diri. Sebelum kegiatan presentasi dalam bahasa Inggris ini, kami mencoba mempunyai waktu sehari berbicara dalam bahasa Inggris.
Meskipun dalam pelaksanaannya juga masih campur-campur, terutama ketika kami kesusahan menemukan kata atau kalimat yang tepat. Sayangnya, kegiatan mingguan ini kurang dapat berjalan secara optimal.
Melihat keasyikan anak lelaki kami dalam menyusun cerita dan menyajikan dalam bentuk presentasi tersebut, akhirnya mengubah cara kami dalam membangun rasa percaya dirinya.
6. Melakukan edit video
Begitu selesai presentasi, hasil rekaman pertemuan daring dengan Zoom tersebut diedit oleh anak lelaki kami. Editing yang dilakukannya menggunakan gawai, entah aplikasi apa saja yang digunakan.
Dia telah melakukan eksplorasi berbagai jenis aplikasi edit video dengan gawai, hingga akhirnya dia mengetahui kelebihan dan kekurangan tiap aplikasi. Sejumlah karya edit videonya telah diunggahnya di akun YouTube-nya.
Kami kaget sewaktu melihat video edit jedag jedug yang diunggahnya memiliki view di atas 200. Hal ini kami ketahui sewaktu akan dia telah mengunggah video kegiatan presentasinya yang pertama dalam bahasa Inggris.
Kini, video presentasi keduanya juga telah diunggah ke YouTube. Kegiatan edit video ini, saya lihat semakin menambah rasa percaya dirinya. Selain itu, acapkali dia berkompetisi dengan teman bermainnya dalam grup WA mereka.
Tiap anak di grup WA tersebut, kemudian mengunggah karya edit video dan saling meminta nilai terhadap karyanya. Dia bahkan mengajarkan sejumlah anak lainnya dalam melakukan edit video.
Kesukaannya melakukan edit video ini tentunya berkat kegiatan ekstrakurikuler content creator. Saya melihat dia cukup menikmati ekstrakurikuler tersebut dan cenderung kreatif, bahkan guru kelas pun dalam temu orang tua menyampaikan bahwa anak lelaki kami termasuk anak kreatif dari sisi edit video.
7. Mempublikasikan video kegiatannya dalam YouTube
Kebiasaan menyaksikan konten di YouTube adalah sesuatu yang tidak bisa kami hindari atau cegah dari kegiatan anak lelaki kami. Oleh karena itu, kami meminta agar dia tidak sekedar menjadi penikmat konten tapi menjadi pembuat konten.
Akun YouTube atas nama anak lelaki pun dibuat dan belakangan dia edit sendiri nama akunnya agar lebih menggambarkan kegiatannya. Mulai dari video kegiatan keseharian hingga karya kreatif edit videonya pun telah diunggah.
Salah satu hal yang berkesan adalah video yang direkam saat di Belanda. Momen di masa dia masih memiliki kemampuan dalam membaca dan menyampaikan kata dalam bahasa Belanda.
Kalau sekarang ditanya, dia berasa sudah lupa bahasa Belanda. Meskipun, masih ada sedikit kata yang diingatnya dan dapat diucapkannya dengan baik. Mencari tempat untuk mengasah bahasa Belanda ini sempat kami lakukan.
Namun, situasi berkata lain. Terlebih pasca pandemi COVID-19 melanda, berbagai adaptasi kebiasaan baru mulai diperlukan. Salah satunya adalah kegiatan belajar dari rumah.
Ada satu rekaman video perjalanan dari rumah ke sekolah sewaktu di Belanda yang belum diedit dan diunggahnya ke akun YouTube. Oh ya, saya hanya sekali saja mengajarkan kepada anak lelaki kami bagaimana cara unggah dan melengkapi deskripsi video di YouTube.
Sejumlah video lainnya, diunggah sendiri dan beberapa video langsung diunggahnya begitu selesai tahap edit video dari gawai.
***
Ketujuh bentuk kegiatan tersebut di atas adalah cara kami dalam membangun kepercayaan diri anak lelaki kami yang cenderung pemalu dan lebih memilih diam.
Tiap anak memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda-beda, kemudian sebagai orang tua tentunya kita memiliki cara yang berbeda pula. Hal ini karena, karakteristik tiap keluarga itu khas dan bangunlah cara kita masing-masing secara konsisten dan persisten.
Salam sehat dan kuat menjadi keluarga tangguh hadapi pandemi COVID-19.