Di era digital seperti sekarang, di mana masifnya arus informasi kepada khalayak ramai merupakan sesuatu yang di satu sisi memberikan manfaat namun tidak dipungkiri juga memberikan dampak yang buruk di sisi lain.

Pemanfaatan media sosial di tengah berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi merupakan fenomena di mana seseorang bisa lebih leluasa menyebarkan maupun menerima informasi dari segala arah dan tentunya dengan waktu yang relatif bebas.

Itulah yang menjadi salah satu hal mengapa media sosial di era digital mampu menjadi candu bagi siapa saja yang menikmatinya. Dalam artian, media sosial telah membuat seseorang bisa memperoleh apa yang mereka inginkan dan butuhkan di manapun mereka berada.

Media sosial juga telah mengubah paradigma yang dari dulu menganggap bahwa seseorang lebih condong menjadi sekedar audience pasif semata, namun ketika berkembangnya digital, seseorang sudah bisa menjadi produsen dari arus informasi dan komunikasi tersebut.

Semisal saja ketika dulu lagi pesatnya TV di rumah-rumah, semua dari penonton tersebut cuman bisa mendengarkan dan mengiyakan apa yang disiarkan oleh TV tersebut. Begitupun media massa seperti koran, majalah, dan sebagainya hanya mampu memberikan informasi satu arah tanpa adanya respon dari si pembaca.

Namun, ketika teknologi semacam handphone ini menjadi pesat, membuat siapa saja menjadi lebih bebas dalam menyuarakan apa yang ingin disampaikan. Apalagi ketika media sosial telah tumbuh sedemikian cepat dan meluas, setiap informasi pun bisa lebih cepat menyebar, menjangkau lebih banyak khalayak, dan bisa memberikan feedback dari informasi tersebut.

Inilah yang menjadi tolak ukur kebermanfaatan dari media sosial sebagai corong kebebasan berekspresi dan tentunya sebagai wadah untuk menyampaikan informasi.  Dan juga sebagai media yang lebih memudahkan seorang berkomunikasi dengan orang lain walaupun dengan jarak jauh sekalipun.

Kemudahan akses informasi dan komunikasi ini tidak seirama dengan kapasitas subyek dalam mengelola ataukan menggunakan media sosial ini. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dihadirkan solusinya untuk perbaikan segenap elemen yang masih menjadi akar permasalahan sampai hari ini.

Bisa kita lihat fenomena sampai saat ini, ketika maraknya berita-berita palsu yang bertebaran di media sosial, ramainya kasus saling melaporkan karena menyuarakan pendapatnya, bahkan ujaran kebencian yang kemungkinan anak-anak pun dapat melihatnya. Ini memang sungguh miris, karena kurangnya kesadaran dari individu itu sendiri dan kontrol pemerintah yang belum maksimal.

Bayangkan saja bagaimana kasus Ratna Sarumpaet yang sempat menghebohkan beberapa tahun lalu, yang dengan gampangnya menyebarkan kebohongan dengan maksud dan tujuan lain, yang kemudian diaminkan atau dipercaya seseorang tanpa mengecek kebenaran yang ada.

Begitupun dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang harus membuatnya berada di balik jeruji penjara karena videonya di potong sedemikian rupa yang membuat massa akhirnya berdemo sampai berjilid-jilid agar Ahok diadili.

Dua kasus ini memberikan kita sebuah sudut pandang baru, bahwa seseorang lebih gampang percaya dan mudah terpancing emosinya ketika mendapatkan berita lewat media sosial. Apa yang mereka lihat sudah jadi bola liar yang akan menjerumuskan siapa saja.

Inilah yang kita kenal dengan Post-Truth, yang dalam Kamus Oxford didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Hal ini memang yang terjadi belakangan, ketika kebenaran tidak lagi menjadi sesuatu yang dibutuhkan, tetapi pembenaran yang kemudian yang saling mereka perjuangkan dan ini sangat masif. Ketika media sosial dijadikan tempat untuk mengakui sendiri apa yang mereka katakan, padahal itu belum tentu menjadi kebenaran.

Bahkan sering terjadi, ketika mereka sudah tahu apa yang terjadi, dan bertolak belakang dengan apa yang mereka pikirkan dan katakan, biasanya malah membuat argumen bahwa fakta itulah yang salah, dialah yang benar.

Tidak adanya perasaan bersalah, atau malah gengsi dengan apa yang benar tapi bukan dari dirinya. Menjadikan media sosial sebagai wujud dari post-truth itu sendiri. Membuat pembenaran sesuai yang diinginkan, lalu menyampingkan kebenaran itu sendiri. Dan inilah yang menjadi konsumsi publik sehari-hari.

Dan era post truth seperti sekarang, menjadikan hoax dan fakta saling bersaing dalam memengaruhi massa. Arus media maupun para pembuat opini itu sendiri juga menjadi subjek paling fundamental dalam hal ini, apakah dia mampu menyajikan berita yang benar adanya ataukah berita yang belum tentu benar tapi sarat perhatian massa.

Inilah yang kemudian kita bisa lihat sekarang, ketika judul dan isi tidak sama, dalam artian berita atau informasi itu bersifat clickbait. Apa yang kontroversi itulah yang dicari. Bukan lagi fakta apa yang perlu kita ketahui, atau ilmu apa yang kita harus dalami.

Jadi, media sosial di era post-truth merupakan proyek masa sekarang yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Baik dan buruknya, tergantung seperti apa kita memahami dan menyikapinya.