Selokan Mataram

Manusia belajar kalah

Di samping air hijau

Yang lelah menuju rumah


Aku plastik gorengan

Yang tak sengaja jatuh ke ruah

Tubuhmu sudah bukan kaca

Kau tak bisa menangkap

Sinar matamu yang berwarna biru

Kadang kelabu


Putih

Kau ingin kupanggil jingga

Tapi selalu datang waktu pagi masih setengah matang

Dan pulang waktu siang hampir gosong

Katamu, itu waktu-waktu yang baik untuk bepergian

Waktu-waktu yang menyiksa


Aku lebih suka di rumah

Duduk di antara lidah buaya yang bisu

Sebab tak siap bertemu orang-orang

Jika hanya lekas menjadi asing satu sama lain


Kita selalu bisa tak menjadi asing. Kalau kamu mau membaca pengertian di dahi kuning mereka. Begitu katamu.

Aku tidak siap berada di kesepian. Orang di hadapanku asyik bersetubuh dengan orang lain di ponsel. Aku tahu aku payah.

Kamu masih saja egois. Tapi kuharap kamu akan tetap menemui orang-orang. Tak peduli akan membahagiakan atau sangat menyedihkan. Mungkin begitulah kita sebaiknya hidup. Kamu melanjutkan.


Naima

Pintu itu sempat kututup. Aku bergegas.

Angin membukanya dengan ketukan santun. Kita bertemu.

Meski sisa-sisa kemarahan masih kita temukan di balik tiap kancing baju. Kita belajar tak saling marah-marah lagi.

Kamu lebih sering berhasil. Aku sebaliknya.

Kegagalan itu, Nai. Biar kudulang seorang diri.

Kau terlalu penuh dengan kata-kata cinta. Aku sebaliknya.

Kita belum akan menyerah pada temu, kan?

Aku tahu kau tak akan menyerah. Maka, jika pertemuan itu berkhianat. Akulah sebabnya.


Gadis Makaroni yang Ceria

Aku membacamu sebagai kitab muram

Yang suatu saat akan bunuh diri

Kau pantas bunuh diri

Karena kau sering mirip penyair depresi


Tapi di Kedai Makaroni

Kau selalu tampak ceria dan menggembirakan

Aku bersyukur kiranya kau batal bunuh diri

Berkat makaroni


Di kedai-kedai kopi

Kau tak pernah mendaras pilu

Juga di kebuh teh

Kau tampak mabuk menyesap daunnya yang sepat


Kalau begitu, bagaimana kau jadi bunuh diri?

 

Sebelum Mei

Pril, kau selalu mabuk

Fa, kau selalu marah-marah

Sebab cinta

Kalian selalu berdebat


Pril, kau selalu merasa paling tahu soal kebaikan

Fa, kau selalu merasa paling tahu soal kebusukan

Sebab cinta

Kalian terus-menerus berdebat


Pril, kau selalu percaya lelaki yang kau cinta itu baik

Fa, kau selalu tak percaya pada lelaki

Sebab cinta

Kalian tak lelah berdebat


Pril, kau selalu percaya sanggup mencintai dengan suci

Fa, kau tak pernah percaya lagi ada yang suci


Sebab cinta

Kalian gila dalam pengertian masing-masing

 

Jagadhita

Kau mengalami dunia yang tak pernah kupercaya

Dunia facebook yang maha luas tak terbatas

Di Yogya, kau membuktikan itu padaku

Menemui teman-teman facebook

Berbincang tak ubahnya teman lama di kenyataan


Kau membawa kue ubi ungu dari Solo

Yang retak di tiap gigitan jagoan kecil temanmu

Kita dijamu cumi tinta hitam, sup kerajaan laut, juga koloni ayam tetangga

Supaya tak tersedak, di meja ada gelas-gelas air berwarna

Kita makan dengan kegembiraan penuh

Tentu setelah berswafoto dan mengabarkan pada jagadhita biru