Ini empat hari terakhir di bulan September. Bulan yang aku selalu menyukainya. Tidak pernah ada kejadian spesial di bulan kesembilan ini, hanya saja, rasanya kalau ia terlahir sebagai manusia, aku akan sangat menyayanginya.
Seperti laki-laki yang kunamai Mars dalam setiap ceritaku. Nama yang kucuri dari planet keempat yang konon katanya berwarna merah. Mars adalah tempat paling rahasia di bumi ini. Satu-satunya hal yang meski dengan takut-takut dan ragu-ragu, kaki kecilku yang malu-malu, selalu mau lari ke arahnya.
Ia senang pakai jaket trucker dengan kaos hitam di dalamnya. Celana jeans, dan rambut yang selalu dibiarkannya tidak terlalu rapi. Saat ia bicara, matanya ikut bekerja. Seperti kataku semula, aku memang menyayanginya, dan karena itu aku harus mulai belajar mengatakan, "Aku tidak menyayanginya."
"Raa, kalau pengetahuan dan kebenaran terlalu menyakitkan untuk diterima, kenapa tidak menolaknya saja?" tanya seorang teman. Aku berhenti mengetik tugas kuliahku. Menggigit bibir bawahku karena kalimat itu pernah terlintas di benakku.
"Tidak bisa," jawabku. Benar, untuk segala rasa sakit dalam setiap hubungan, tentu saja kita adalah bagian dari kesalahan juga. Mars tidak pernah memaksaku untuk percaya sebelumnya, tapi aku selalu memberikannya dengan sukarela.
"Seandainya kamu lebih sabar lagi,"
Seandainya, dan hidup bukan tentang perandaian.
"Mars pasti masih bersamamu," Aku sedikit mengenang wajahnya. Bagaimana caranya menggenggam jariku di depan teman-temannya. Persis, seperti sepasang kekasih.
"Bagaimana semua berawal dan berakhir, Raa?" tanya temanku lagi. Bisa-bisanya ia mengubah dirinya menjadi wartawan saat laporanku baru sampai di halaman kata pengantar. Entah, mana awal dan mana akhir. Hubunganku dan Mars tidak pernah punya tanggal resmi jadian. Tapi, ia selalu bilang aku adalah kekasihnya.
"Apa ia memberimu ciuman pertama?" Kali ini temanku bertanya dengan setengah berbisik. Aku mendelik, "tidak sopan!" makiku dalam hati.
Yang lalu memang biarlah berlalu, tapi lukanya dibawa kemana-mana. Hasil karya bersama, tapi menjadi tanggung jawab diri sendiri. Permintaan maaf dan penjelasan rasanya percuma saja, karena yang kita mau orangnya. Kenapa tidak kita akui saja? Cinta kita juga bergelut dengan untung dan rugi.
Aku menahannya, agar tidak jatuh lagi air mataku ketika orang-orang itu bertanya. "Aku ke toilet dulu ya, nitip leptop!" Tidak ku hiraukan ekspresi mereka yang bertanya seperti mereka tidak menghiraukan permintaanku untuk tidak membahas aku dan Mars lagi.
Sial! mataku basah, dan di depan cermin itu aku melepas topengku. Masa lalu seperti pertunjukan orkestra di atas kepalaku."Keretanya sudah berangkat, mba" kata petugas stasiun berseragam putih dengan name tag terpasang di dada sebelah kanannya. Aku mematung dan gemetar.
Ini kali pertama ketinggalan naik kereta, dan aku duduk terisak sambil memandangi ponselku yang menyisakan baterai 25%. Ada 7 panggilan tak terjawab dari Mars. Sejak tadi ia menanyakan keberadaanku.
"Apa sudah siap berangkat?"
"Apa keretanya sudah jalan?"
Aku tidak tahu untuk apa ia bertanya. Benar-benar tidak ada gunanya. Aku tetap saja berantakan. Rasanya, berulang kali aku sudah mengingatkan pada diri sendiri bahwa ini bukan pertunjukkan drama, jadi aku tidak perlu berlebihan. Lagipula ini awal yang baik untuk hubunganku dengan Mars.
Sebulan sebelumnya, Mars bilang, aku tidak bisa menjadi cahaya itu, jadi meski dengan berat hati dan bingung, aku menerima keputusannya. Sampai pada sehari sebelum jadwal keberangkatan keretaku ke kotanya, aku tahu jawabannya adalah bukan karena kekuranganku.
Mars sudah punya kekasih. Rumah yang dia memang harus pulang kepadanya. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Kita tetap jatuh cinta di masa-masa sulit itu. Urusan yang begitu rumit, dan aku dengan lugunya tidak berusaha bertanya. Ku pikir, tidak ada orang yang senang diburu pertanyaan.
Jadi, mau tidak mau aku akui hubunganku dengan Mars hanyalah sebuah kesalahan. Bukan! Bukan tidak pernah saling menyayangi, jauh-jauh hari sebelum perempuan itu bersamanya, aku dan Mars sudah ada. Hanya saja, yaah.. seperti yang Puthut ea tulis dalam judul novelnya, Cinta Tak Pernah Datang Tepat Waktu.
"Raa, kenapa ya cinta tidak datang tepat waktu? Kenapa tidak sejak dulu saja kamu bersamaku?" itu kalimatnya seusai mata kami berpandang begitu lama. Dengan hanya disoroti warna lampu yang keemasan dan musik jazz mengalun dari piringan hitam di sebelah sofa berwarna ungu tua.
"Tapi sekarang kita sudah bersama," kataku manis. Aku terlihat seperti apa sore itu? Seisi ruangan mungkin ingin memberi tahuku tentang seorang perempuan yang tengah menunggu kekasihnya menelpon. Aih, Mars. Seandainya aku tahu lebih cepat, aku mungkin tidak akan menambah daftar kesalahanmu hari itu.
Kita bisa menyayangi dengan cara yang lebih baik. Tidak menyakiti dan menunda sakit di antara kita. Tidak perlu menyisakan ruang untuk memaki dan menyesali diri sendiri. "Aku meyayangimu, aku sangat takut menyakitimu."
Tidak perlu takut lagi, Mars. Sudah terlanjur terajut luka-luka itu dengan sempurna. Tapi ku pikir, Tuhan selalu memberi jawaban di waktu yang tepat. Syukurlah keretanya tidak pernah sampai, sehingga bisa ku pahami mau semesta untuk kisah kita berdua.
"Tidak! Aku tidak menyayanginya lagi," kalimat yang selalu membuatku belajar, bahwa lubuk hati terdalam hanyalah milik kita seutuhnya.