Seperti yang sudah-sudah, aku kembali beranjak jatuh cinta. Tepatnya, pada gadis yang berumur 20 tahunan, yang senyumannya seperti sedang mendengarkan lagu-lagu kemerdekaan; khidmah.

Dan yang siapapun mengenalnya, akan berebut untuk mendapatkannya, seperti barisan pejuang kemerdekaan dalam merebut kemerdekaan, dan aku telah berdiri diantaranya.

Barangkali, gelak tawanya, ibarat kala itu sedang mendengarkan radio-radio yang menyiarkan pembacaan teks proklamasi; kebahagiaan tak terbatas.

Tapi tak hanya itu, keindahannya memancar dalam melodi yang natural, mirip sekali dengan keindahan bumi pertiwi ini.

Aku tak mengada-ngada, karena aku adalah warga negara dan seorang pemuda yang jatuh cinta padanya.

Aku mencintainya seperti cintaku pada negara, karena ia merupakan bagian dari negara yang kucintai, tak menepi sampai mati.

Namun, ia tak menjawab rasa cinta yang dipenuhi oleh bumbu penasaran ini, ia berlagak seperti pemerintah terhadap kebutuhan rakyat yang mendesak.

Ia bungkam terhadap segala polemik yang begitu saja timbul dalam kepalaku, yang jawaban dari polemik tersebut terdapat padanya.

Ini tentang ia yang membisu dan acuh dalam keheningan bagai masyarakat pinggiran yang menahan rasa lapar. Bukan tentang rasa kantuk yang mendera.

Atau barangkali ia menjelma harga kebutuhan pokok yang melangit, enggan membumi, sedangkan aku hanya memperoleh gaji dibawah umr.

Tapi, dengan tegas cintaku padanya bukanlah seperti petani yang sekedar dibutuhkan oleh negaranya saat masa panen saja.

Sepertinya, aku tak pernah merdeka olehnya, selalu dan akan selalu merasa terjajah terhadap gestur manja yang menggemaskan itu.

Bahkan, sering kali ia aku anggap sebagai koloni Eropa, datang kesini sekedar untuk merampas, menghentas, dan mengganas.

Seperti konsep negara dari Epicurus, bahwa kebahagiaan negara bergantung pada kebahagiaan individu-individu yang berada di dalamnya.

Maka, selayaknya politisi di negeri ini, jangan heran jika aku mempunyai ambisi dalam membahagiakanmu, kelak itu adalah sumbangsihku dalam bernegara, jika ia mau.

Ya, cintaku bekerja secara otoriter dan bersifat individualis, kadang kala ia juga egois jika kelak engkau benar-benar menjadi milikku. Mohon maklum, aku jatuh cinta sebagai seorang tiran, maka terimalah.

Kupikir ia sebagai ideologi negara, yang seharusnya dipertahankan sampai titik penghabisan. Tak peduli walau banyak tantangan di kemudian jalan.

Lalu pada suatu kesempatan di suatu senja yang beralas warna jingga, perasaan yang telah tumbuh dengan kokok itu segera kulantangkan layaknya demonstrasi para aktivis terhadap kebijakan pemerintah.

"Aku jatuh cinta pada negara." Kataku dalam terus terang.

"Itu lumrah, sebab engkau seorang warga negara." katanya sembari menoleh.

"Masalahnya, aku jatuh cinta pada negara ketika menatapmu." Kataku dengan percaya diri walau sedikit gugup.

"Itu baru aneh." Katanya dalam nada yang dingin.

"Lalu?" Tanyaku sembari menengok matanya yang indah bagai pantai-pantai yang membentang di Nusantara.

"Engkau memang pemuda yang aneh. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi?" Ia mengatakan itu dengan pandangan yang risih, bagai masyarakat yang melihat komedi para politisi.

"Sama halnya dengan jatuh cinta pada negara, jatuh cinta padamu seperti menemukan sebuah harapan." Jawabku dengan mantap.

"Harapan seperti apa yang engkau inginkan padaku dan juga dengan negara?" tanya ia sekali lagi, memastikan.

"Negara timbul untuk kebutuhan kedamaian warganya, dan sedangkan engkau merupakan kedamaian yang kubutuhkan." Jawabku dengan berani.

"Omong kosong apa itu? Jika negara timbul untuk kedamaian, mengapa masih terdapat kekacauan?" Tanya ia dengan nada yang membabi buta.

"Barangkali seperti itu yang akan terjadi padaku jika tak pernah mengenalmu." Jawabku.

"Engkau memang berbakat menjadi politikus yang pintar merayu." Katanya sambil menahan tawa.

"Negara ini memang banyak menghasilkan para perayu yang ulung." kataku melanjutkan dan kemudian ia mendengarnya dengan gelak tawa yang merdu.

Seketika itu pun suasana menjadi hening. Kami pun saling menyantap hidangan yang telah kami pesan sebelumnya.

Aku meminum secangkir kopi hitam yang pahit, sembari menghisap rokokku pelan-pelan, dan menghamburkan asapnya dengan berhati-hati agar tak menyentuh wajahnya yang ayu itu.

Sedangkan, ia meminum es boba-nya dengan lahap. Dengan sesekali membuka layar gawai-nya seakan-akan ada yang ia nanti. Walau sesekali ia melirik kepadaku.

"Apa engkau benar-benar serius mengatakan itu?" Tanya ia secara tiba-tiba.

"Mengatakan yang mana?" Aku berbalik bertanya berpura-pura seolah-olah tak tahu.

"Tentang cinta dan negara." katanya padat dan singkat.

"Tentu saja aku serius menyatakan itu. Sama halnya bahwa kemerdekaan suatu negara cukup sekali." Jawabku dengan lugas.

"Negara sudah merdeka, lantas bagaimana mencintainya?" Tanya ia dalam metode sebuah jebakan.

"Dengan mencintai warganya, dan itu sudah kulakukan kepadamu, saat ini." Jawabku dengan nada bercanda.

"Tapi, tak semua cinta masyarakat kepada negara itu mendapat balasan. Pun, sama halnya dengan perasaanmu itu." 

Ia pun mengatakan itu sembari menggeser tempat duduknya dan bergegas pergi tanpa sepatah kata seterusnya.

Lebih lanjut aku lalu mengambil sebatang rokokku dengan seksama, menyulutnya bagai pejuang yang berdiri di belakang layar tanpa seorang pun mengingatnya.

Namun, aku tak terlalu terkejut mendengarnya. Sebab, apa yang ia katakan terakhir kali itu, memang benar dan jujur. Dan aku menerima itu, layaknya masyarakat dalam menerima kebijakan pemerintah.

Pun, lebih lanjut cintaku padanya memang tak pernah padam sekalipun tak mendapat balasan, sebab aku adalah seorang pengangguran yang mencintai negara yang kaya sumber daya alam.