Hasil kerja terbaru aktivis dan Jurnalis Investigasi senior, Allan Nairn, yang dipublikasikan oleh The Intercept dan diterjemahkan oleh Tirto—benar-benar membuat geger banyak orang, termasuk saya sendiri. Disaat saya secara pribadi memberikan nilai “F” atas kinerja media di Indonesia dalam menjalankan “fungsinya yang sebenarnya” dalam Pilkada DKI yang lalu—investigasi Nairn itu hadir sebagai turning point penilaian saya.
As we all probably know by now, laporan investigasi yang diterbitkan beberapa hari yang lalu oleh Nairn itu mengungkap pengakuan beberapa pihak termasuk dari internal dan eksternal TNI, bahwa ada upaya penggulingan Presiden Jokowi oleh beberapa pihak dengan memanfaatkan “kisruh Ahok” dalam Pilkada DKI Jakarta yang baru selesai. Saya hanya bisa bilang, jangan abaikan laporan ini, tetapi jangan juga sampai tidak skeptis.
Konteks Jurnalistik
Mari kita semua pahami kembali, bahwa laporan investigasi Allan Nairn itu bukanlah laporan abal-abal buatan anak sekolahan (no offense). Laporan Nairn itu adalah karya jurnalistik profesional. Maka untuk menilainya pun harus mempertimbangkan prinsip-prinsip jurnalistik, tidak main asal langsung melabel HOAX (seperti yang dilakukan TNI).
Dalam praktik jurnalistik, dikenal istilah Multiple Independent Sources. Artinya jurnalis atau lembaga pemberitaan baru akan bisa melaporkan sebuah informasi sebagai sesuatu yang faktual (dalam konteks jurnalistiknya) jika informasi tersebut berasal dari minimal dua sumber independen/berbeda.
Atau, seperti dalam standar New York Times dan berbagai media outlet lainnya, bisa dari satu sumber, tetapi informasi itu diverifikasi lagi kebenarannya oleh minimal dua sumber independen/berbeda lainnya. Sumber-sumber itu boleh menyebutkan identitas mereka, atau berbicara secara anonim karena pertimbangan faktor keamanan dan semacamnya. Dan itu adalah praktik yang sah dalam jurnalisitik profesional.
Dan yang dilakukan oleh Nairn dalam laporannya itu telah memenuhi unsur ini semuanya. Kepada Tirto, Nairn mengaku mewawancarai puluhan narasumber selama satu tahun. Beberapa dari mereka berbicara secara terbuka dan beberapa yang lain dalam kondisi anonim (tidak mau identitasnya disebutkan, atau di-refer dalam bentuk sapaan lain).
Tidak hanya itu, dalam laporannya Allan Nairn juga hanya menggunakan informasi On The Record yang disampaikan oleh narasumbernya. Informasi off the record tidak ia gunakan. Dan ini juga adalah salah satu prinsip yang sangat penting dalam menilai kredibilitas sebuah laporan jurnalistik.
STOP Pembunuhan Karakter
Dari konteks jurnalistik, dan melihat track record seorang Allan Nairn dalam dunia jurnalisme investigasi, saya secara pribadi tidak meragukan kredibilitas laporan ini sama sekali (kredibilitas jurnalistiknya, bukan kebenaran faktualnya). Makanya saya sangat menyayangkan dengan upaya—semacam pembunuhan karakter—yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan laporan Nairn ini.
Bukannya saya ingin membela Nairn apalagi memojokkan TNI (OH GOD NO!). TNI adalah pelindung utama kita yang harus kita jaga independensi politiknya terutama dari elemen-elemen radikal yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan NKRI menjadi Negara Agama. Akan tetapi jangan sampai kita tidak lagi rasional, dan lupa bahwa—jangankan TNI, Presiden saja harus kita awasi akuntabilitasnya.
Laporan Nairn ini jangan langsung dicap sebagai propaganda yang ingin memecah belah bangsa. Justru ketika Anda mengatakan itu, Anda sendirilah yang membangun narasi memecah belah bangsa—bukan Nairn. Saya juga tahu Nairn adalah warga asing, akan tetapi itu tidak serta-merta langsung menafikan kebenaran faktual laporannya.
Tolong berhenti menyebar konspirasi-konspirasi yang jelas-jelas non-faktual hanya karena Nairn adalah warga Amerika Serikat dan kita “harus” berpihak kepada bangsa sendiri. Jangan manfaatkan sentimen anti-barat Anda dengan argumen-argumen tidak berdasar hanya untuk menyebarkan kebencian kepada jurnalis yang hanya menjalankan pekerjaannya secara profesional.
Dan satu lagi, sebaiknya kita jangan dengan mudahnya menyepelekan investigasi Nairn ini sebagai “hal-hal kecil”. Ketika berbicara Makar, itu bukan sebuah perkara kecil. Penggulingan seorang kepala Negara yang dipilih secara demokratis oleh rakyat bukan sebuah perkara kecil. Apalagi jika itu sampai melibatkan elemen militer dan kelompok radikal yang didanai oleh politisi dan orang-orang kaya dengan kepentingan bisnis dan politik yang terancam.
Tetap Skeptis
Hanya karena tidak meragukan kredibilitas jurnalistik Allan Nairn, tidak berarti kita harus langsung 100% yakin dengan kebenaran faktual pemberitaannya. Jika Anderson Cooper atau Najwa Shihab melaporkan bahwa beberapa orang berbeda mengaku merasakan gempa bumi tadi pagi, bukan berarti lantas benar-benar ada gempa. BMKG-lah yang bisa secara objektif (ada alatnya, ada buktinya, dll) mengkonfirmasinya.
Inilah salah satu kritik terhadap investigasi Nairn ini, ketiadaan dokumen/bukti definitif yang mendukung pengakuan orang-orang yang diwawancarainya. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat baik-baik, dalam konteks jurnalistik pengakuan dari sumber-sumber berbeda itu sudah cukup sebagaimana “konteks” yang saya paparkan di atas.
Dan yang lebih penting lagi—Dear Mr Nairn, if you somehow out of a miracle read this, please confirm whether this one particular assertion of mine is true or not—bukan berarti Nairn tidak bisa menyediakan atau tidak mau memperlihatkan bukti definitif itu.
Dalam kasus-kasus yang bersinggungan dengan “National Security” seperti ini, bisa jadi narasumber punya bukti definitif (karena seorang Allan Nairn PASTI menanyakan itu), namun tidak bisa diperlihatkan. Atau dalam kasus lain lagi, hanya untuk sekadar mengkonfirmasi ada atau tidaknya bukti definitif itu, bisa jadi tidak boleh dilakukan oleh si narasumber. Dalam praktik jurnalistik hal-hal seperti itu sudah sering dijumpai.
“Absennya” dokumen definitif itu menjadi hal yang membuat kebenaran faktual dari investigasi Allan Nairn ini perlu disikapi dengan skeptis. Artinya tidak serta merta mempercayai kebenarannya, tetapi tidak juga mengabaikannya secara total apalagi sampai harus melakukan mis-characterization kepada sang jurnalis atau outlet berita yang mempublikasikannya. Itu tidak adil, dan tidak benar.
Terlebih lagi jika berbicara soal The Intercept. Ini salah satu news outlet yang sejak tahun 2014 langsung muncul sebagai salah satu alternatif media progresif selain The Huffington Post, Salon, dan Slate—yang sangat diakui kredibilitasnya, baik oleh pembaca, maupun oleh elit media di Amerika Serikat.
Poin saya adalah Intercept bukanlah media abal-abal seperti Arrhamah, Eramuslim, atau bahkan Seword, dan yang semacamnya itu (also, no offense). Orang-orang seperti Betsy Reeds, Jeremy Scahill, dan Glenn Greenwald—just to name a few—adalah beberapa editor senior (di Intercept) yang sangat diakui kredibilitas jurnalistiknya. Sangat tidak mungkin mereka hanya asal-asalan merilis sebuah investigasi, apalagi jika itu dilakukan oleh seorang Allan Nairn.
Semua Tergantung TNI
Ketika TNI membantah laporan investigasi Nairn dan melabelinya sebagai berita bohong atau hoax (tanpa memberikan elaborasi apa-apa secara objektif), The Intercept kemudian merilis pernyataan mereka kepada Tirto bahwa, “We Stand by Our Story”.
Bagi para pekerja media atau mereka yang berpengalaman di sebuah Newsroom mungkin akan mengerti, bahwa ketika redaksi pemberitaan dengan tegas menyatakan, “We Stand by Our Story”, itu artinya tim verifikasi fakta mereka (timnya bisa berlapis-lapis, dan dari yang pro dan kontra atas penerbitan investigasi)—dan juga tim hukum mereka—belum menemukan bukti objektif apapun bahwa pemberitaan mereka itu tidak benar secara faktual, atau direkayasa (di-cooking) oleh narasumber, pihak lain, atau bahkan oleh Nairn dan tim internal Intercept sendiri.
Jika mereka belum menemukan bukti objektif—yang bahkan belum menunjukan adanya rekayasa, tapi bahkan hanya sebatas indikasi cooking saja—mereka pasti akan tetap “Stand by Their Story”, which they do. Dan itu sudah menjadi praktik yang universal dalam bisnis media. Kalau bukti objektif atas rekayasa pemberitaan itu ada, pasti mereka akan langsung melakukan retraction atas investigasi Allan Nairn itu.
Makanya sekarang the ball is in the TNI’s court. Semuanya tergantung TNI, apakah mereka siap untuk “buka-bukaan” atau tidak mengenai pengakuan orang-orang yang diwawancarai oleh Nairn. Makanya sangat penting bagi TNI untuk memenuhi Hak Jawab mereka yang sudah disediakan oleh teman-teman Tirto. Jika memang yakin investigasi Nairn itu tidak benar, silakan dijawab dengan bukti objektif dan terbuka.
Begitu juga dengan pihak-pihak lain yang namanya terkait dalam investigasi ini, termasuk Pak Hary Tanoe. Jangan langsung main tuntut hukum saja kepada teman-teman pers (Perindo resmi melaporkan Allan Nairn ke Polisi). Agak miris melihat tingkah seorang “penguasa media” tetapi tidak mengetahui prosedur hak jawab yang sudah berlaku secara universal dalam dunia pemberitaan.
Apalagi ini bukan zaman Orde Baru lagi, sedikit-sedikit teman-teman pers ditakut-takuti dengan beban hukum. Itu bukan hanya akan jadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia, tetapi juga akan menciderai nilai-nilai demokrasi yang sama-sama kita junjung. So, now it’s your move, para prajurit pemberani!