Sudah hampir seminggu lebih video viral ceramah Ustaz Somad (UAS) tentang salib beredar luas dan dikonsumsi oleh warga net. Banyak reaksi dan aksi yang muncul. Ada yang menaggap tceramah Ustaz kondang ini sah-sah saja karena dilakukan dalam ruang privat agama tertentu, tetapi ada yang bereaksi keras bahkan menuntut agar Ustaz Somad di meja hijaukan karena ceramahnya sudah melecehkan agama Kristen dan membuat situasi sosial dalam masyarakat tegang dan tidak kondusif.

Tetapi, sebagai salah satu penganut Katolik, saya memilih untuk bereaksi seperlunya saja. Saya melihat ceramah ustaz Somad dari kacamata positif sebagai bahan pembelajaran agar saya lebih mendalami iman saya sekaligus berusaha untuk beragama tanpa menyinggung agama-agama lainnya.

Melalui artikel ini, saya ingin pula mengajak sama saudara saya, sesama Kristen untuk juga memaafkan Ustaz Somad. Saya di sini, tidak berkehendak untuk menggurui, tetapi hanya ingin menyadarkan kita tentang pentingnya memaafkan orang lain dan bagaimana memaafkan itu menyembuhkan kita dari dalam serentak mendorong kita untuk menyadarkan bahwa kebencian kepada pihak lain, dalam konteks ini yang kita arahkan kepada ustaz Somad, adalah sebuah ungkapan perasaan yang tidak perlu, membuang-buang energi dan tidak produktif dalam usaha kita untuk mendalami iman kita kepada Tuhan.

Saya, ingat, seorang kawan saya dari agama Budha pernah bilang, membenci hanya akan melukai dirimu sendiri, karena sebagian besar orang yang kamu benci tak akan peduli dengan kebencianmu. Ya, dari pengalaman selama ini, membenci itu hanya aksi sia-sia yang efeknya perlahan melukai diri baik secara psikis pun fisik. Kebenciaan itu letupan emosi- emosi yang tidak berguna dan tidak produktif. Ia beda dengan marah. Jika marah adalah normal dan menyehatkan, benci adalah sebuah ungkapan ego yang punya kecenderungan untuk merusak relasimu dengan diri serta orang lain.

Maka Menjadi sangat miris dan ironis jika kita orang yang beragama, apalagi kita, orang Kristen yang Nabi-Nya mengajarkan Maaf dan pengampunan, pun mengasihi musuh memilih dengan tahu dan mau ingin berlama lama tinggal dalam kebencianya terhadap orang lain apalagi terhadap sesama.  Memaafkan dan mengampuni berdaya menyembuhkan. Kita memang tidak dapat memaksa orang untuk berbuat baik kepada kita dan mempedulikan perasaan kita ketika disakiti, tetapi kita dapat berbuat baik kepada orang lain, dengan membiasakan diri untuk memberi maaf dan mengampuni.

Persoalannya, bahwasannya banyak kali kita terlalu sering larut dengan ego kita. Ego yang sama membuat mata hati dan pikiran kurang terbuka untuk melihat dan merasakan hal yang lebih besar, hal yang berada di luar diri kita, situasi serta kondisi orang-orang selain kita. Ego yang berlebihan dalam diri membuat kita tidak bisa berpikir dan bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain.

Mencintai inspirasi untuk Memaafkan 

Maka bila saat ini kita membenci habis-habisan Ustaz Somad, tidak ada jalan yang paling mulia selain memaafkan diri sendiri dan mulai terbuka dengan orang lain dan kembali memulai untuk jatuh cinta.

Maaf adalah ungkapan yang menyatakan bahwa hidup sejatinya lebih berharga dari ego (kebencian). Momen saat engkau sadar mempertahankan ego itu menyakitkan, terutama saat ideal-mu yang salah harus bertemu dengan ideal orang lain yang jauh lebih benar. Maaf berharga karena sejujurnya dapat membantu engkau menyadari bahwa hidup dalam ego melelahkan batin menyakiti hati dan merongrong ketenangan jiwa. Membiarkan ego berkuasa atas dirimu sama dengan membiarkan jiwamu terbunuh secara perlahan.

Meminta maaf bentuk kerendahan hati yang dalamnya kita diarahkan kepada sebuah pengakuan akan kenyataan hidup kita yang tidak bisa jauh dari yang lain. Ia juga adalah penegasan bahwa aku tidak sendiri di dunia ini, aku masih punya harapan untuk menjadi lebih baik dan berguna, masih punya waktu untuk kembali menata ulang waktu yang pernah terbuang.

Lebih dari itu, meminta maaf adalah menegaskan pengakuan bahwa hidup lebih berharga dari sekadar membenci yang lain. Hidup itu tentang bersama yang lain, terlibat dalam proyek bersama membangun dunia, membangun indonesia yang baik, indonesia yang damai. Indonesia yang tidak selalu saling baku sikut, karena soal-soal agama, soal-soal perbedaan yang kontraproduktif dengan cita-cita bersama.

Memulai dengan maaf sebagai inspirasi untuk menjalankan misi membangun dunia yang lebih adil itu tidak bisa berjalan tanpa cinta. Biarlah cinta yang memulainya dan yang terpenting adalah biarkanlah kita jatuh cinta terlebih dulu dengan tujuannya, sehingga tujuan yang sama pula akan mengukir senyum bahagia serta sukses bagi hidup kita selanjutnya.

Lalu bagaimana dengan pernyataan, “ya kita memaafkan Ustaz, tetapi harus ada keadilan, harus ada sanksi hukum atas tindakan Ustaz yang sudah melukai hati”. Dengan pernyataan ini, kita sesungguhnya kita sedang memberi maaf atau pengampunan dengan syarat. Pemberian maaf dengan tuntutan seperti ini bukan merupakan maaf yang sejati. Pemberian maaf seperti ini, tidak akan memberikan keadilan yang sesunggunya, dan akan terjebak dalam logika balas dendam. Konsekuensi dari memberi maaf dengan syarat adalah,  kita yang menjadi korban pelecehan agama kelak juga, bukan tidak mungkin, berubah menjadi “pelaku”.

Maka pesan, Nabi, Isa Almasih relevan, bahwa ketika engkau terlibat dalam proyek cinta dalam hidup dengan yang lain, etika cinta kasih ini harus engkau pegang teguh: Santa Teresia dari Kalkuta, saya kira dengan sangat bijak menyatakan bahwa, ketika kita membenci dan menyakiti orang lain, disaat itu kita tidak punya ruang dan waktu untuk mengasihi sesama kita. Cinta mesti memberi ruang bagi maaf dan pengampunan. 

Ungkapan maaf kita mesti bersifat revolusioner, mengutip Derrida, maaf dapat mengubah sejarah suatu bangsa bahkan dunia. Senada dengan Derrida, diharapkan usaha kita memaafkan ustaz Somad mengubah kita secara revolusioner sehingga agama yang kita imani pula dapat memainkan peran sosial yang transformatif dan menginspirasi damai serentak kesejukan untuk Indonesia, untuk dunia.