Berbicara mengenai kelompok adat (Indigenous people), sering kali berarti berbicara bagaimana mereka berhadapan dengan modernitas. Hal tersebut dikarenakan mayoritas masyarakat adat di Indonesia hidup dalam kondisi termarginalkan. 

Mereka sangat berpegang teguh pada aturan adat, dan kesederhanaan menjadi prinsip dasar hidup mereka. Bahkan dalam kasus Ammatoa Kajang, konsep hidup sederhana “Kamasea-Masea” tertulis dalam ajaran dasar mereka, “Pasang ri Kajang”.

Tulisan ini tidak hendak menjustifikasi benar-salah atau konsep hidup seperti apa yang lebih baik. Namun perlu kiranya menggarisbawahi bahwa konsep hidup sederhana mereka selalu disalahmaknai sebagai bentuk lain dari kemiskinan dan ketertinggalan.

Jika kemiskinan dinilai dari seberapa banyak kapital pendapatan yang mereka miliki, tentu mereka berada dalam kategori miskin dan atau sangat miskin, khususnya untuk masyarakat Ammatoa yang tinggal di kawasan dalam. Dan jika dilihat dari kacamata modernitas, sudah tentu mereka masuk dalam kategori sebagai daerah tertinggal. 

Tetapi, tidak memiliki pendapatan kapital tinggi bukan berarti tidak sejahtera dalam konsep mereka. Kebutuhan yang mereka kenal hanyalah kebutuhan primer, yakni sandang, pangan, dan papan. Lebih dari itu, mereka tidak membutuhkannya. Atau, lebih tepatnya, mereka tidak mau tergantung pada barang-barang yang bagi orang-orang modern telah menjadi sebuah kebutuhan (sekunder dan tersier).

Masyarakat adat Ammatoa Kajang secara cerdas telah membagi wilayah mereka menjadi dua bagian, yakni kawasan dalam dan kawasan luar. Pembagian tersebut hanyalah salah satu bentuk dari negoisasi mereka terhadap modernitas. 

Bagi masyarakat yang menginginkan hidup sebagai orang modern, mereka diberi kelonggaran untuk hidup di kawasan luar. Mereka boleh tidak selalu menggunakan pakaian hitam, boleh memiliki kendaraan motor dan mobil, boleh memakai sandal serta mengikuti pola hidup modern pada umumnya. 

Dengan kata lain, memilih hidup modern bukanlah sebuah kesalahan dan sesuatu hal yang diperbolehkan tanpa mencerabut identitas mereka sebagai masyarakat adat Ammatoa. Namun dengan catatan, mereka tetap harus mengikuti berbagai norma dan aturan yang berlaku di dalam hukum adatnya.

Sebaliknya, bagi mereka yang ingin berpegang teguh pada jati diri mereka sebagai Ammatoa, mereka boleh hidup di dalam kawasan dan harus mengikuti aturan adat secara ketat. Mereka tidak boleh menggunakan sandal dan berbagai bentuk modernitas seperti HP dan kendaraan bermotor, misalnya.

Bahkan, adat tidak memperbolehkan kawasan dalam teraliri listrik dan melarang pembangunan jalan beraspal. Pelarangan itu juga berlaku untuk bangunan modern seperti sekolah, masjid dan lain-lain.

Bagi mereka, modernitas hanya akan merusak keseimbangan ekosistem yang ada. Karena dalam ajarannya, “Pasang ri Kajang”, mereka diharuskan untuk menjaga kelestarian alam. 

Bahkan, untuk menebang satu pohon saja, mereka harus mendapatkan izin dari Amma, kepala suku. Izin menebang pohon akan mereka dapatkan hanya dalam kondisi terdesak, untuk peruntukan bersama atau untuk keperluan membangun rumah warganya.

Aturan lainnya, mereka diwajibkan untuk menggunakan pakaian satu warna, yakni warna hitam, sebagai simbol kesetaraan dan kesederhanaan. Bagi laki-laki, pakaian mereka bercirikan sarung, kemeja, dan ikat kepala. Bagi perempuan, pakaian mereka bercirikan sarung, pakaian atas hitam yang biasanya berupa kemeja dengan rambut yang digelung. 

Boleh saja menggunakan warna lain asalkan tidak mencolok misalnya warna putih, biru, atau cokelat sebagai kombinasi warna hitam, tapi itu pun tidak dianjurkan. Menggunakan warna mencolok untuk masuk ke kawasan dalam merupakan hal yang sangat dilarang. Aturan ini juga berlaku bagi masyarakat Ammatoa yang tinggal di kawasan luar atau siapa pun yang hendak berkunjung ke kawasan dalam.

Dan untuk memenuhi kebutuhan sandangnya, perempuan-perempuan Ammatoa menenun sendiri pakaian yang mereka kenakan. Untuk bahan material kain tenun, mereka dapatkan dari hutan tempat mereka tinggal, termasuk bahan pewarnanya yang mereka olah secara alami. 

Jika kita mau menelaah lebih lanjut, apa yang mereka lakukan adalah bentuk lain dari swasembada. Mereka sama sekali tidak tergantung dengan barang-barang luar serta mampu mencukupi dirinya sendiri dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Semua aturan tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem atau apa yang oleh para akademisi disebut sebagai “Indigenous ecology”. Aturan tersebut sama sekali tidak bertujuan untuk mengekang warganya. Karena pada faktanya, adat membolehkan mereka menggunakan semua bentuk modernitas ketika mereka berada di luar kawasan.

Yang perlu kita pahami adalah bahwa modernitas tak melulu memberikan dampak positif. Pembalakan liar, kebakaran hutan, dan berbagai krisis lingkungan yang terjadi juga merupakan salah satu efek negatif yang ditimbulkan dari modernisme. Dan begitu pun sebaliknya, apa yang oleh orang-orang modern caci sebagai bentuk ketertinggalan dan kemiskinan ternyata menawarkan alternatif dalam hal kelestarian lingkungan.

Konsep hidup sederhana melalui aturan-aturan adatnya yang ketat telah dilakukan masyarakat adat Ammatoa selama ratusan tahun dan menghasilkan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan.

Tetapi, sekali lagi, tulisan ini tidak untuk menjustifikasi benar dan salah atau konsep hidup seperti apa yang lebih baik. Tulisan ini bertujuan agar kita tidak terjebak dan bisa lebih bijak menyikapi modernisme, serta mengajak pembaca agar berpikir adil terhadap mereka yang selama ini dilabeli sebagai unmodern atau bahkan uncivilized. 

Marginalisasi dan Konsep Hegemonik ‘Suku Terasing’

Anggapan bahwa masyarakat Ammatoa Kajang merupakan masyarakat tertinggal, miskin, dan tidak modern tidak terlepas dari konstruk yang dibangun oleh kelas-kelas hegemonik seperti media dan negara. Disengaja atau tidak, keduanya telah mengonstruk mereka dalam sebuah frame suku terasing. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'terasing'/ter-a-sing/ memiliki arti terpisah dari yang lain atau terpencil. Kata ‘terasing’ berasal dari suku kata 'asing' yang berarti aneh dan tidak biasa. 

Namun kata ‘terasing’ ini juga bisa dimaknai sebagai yang lain ‘the other’, yang bukan kita (orang-orang modern). Konsekuensi tak langsung dari kata ‘suku terasing’ yang sering digunakan media kemudian melahirkan label-label negatif terhadap, salah satunya, masyarakat adat Ammatoa di Kajang Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Dan masyarakat adat Ammatoa makin menjadi masyarakat yang kian termarginalkan. Mereka termarginalkan dari berbagai sisi baik secara politik, ekonomi, budaya, maupun dalam konteks hubungan sosial dengan masyarakat setempat. 

Lebih dari itu, marginalisasi juga secara tidak langsung terbentuk oleh kedatangan agama-agama Abrahamik; dalam kasus Ammatoa, yakni agama Islam yang secara ritual permukaan dianggap bertentangan dengan adat mereka. Karena meski mereka telah mengupayakan negoisasi dengan mengonversi diri menjadi muslim, namun kelompok Islam tidak bisa menerima keikutsertaan adat yang mereka bawa. 

Konsekuensi logisnya, stigma-stigma bermunculan dan melabel dalam tubuh mereka seperti halnya anggapan bahwa mereka bukanlah golongan Islam yang sempurna atau setengah Islam, bidah, maupun sebutan sebagai kelompok animisme.

Jika kita sedikit menengok ke belakang ketika rezim orde baru berkuasa, pemerintah sempat menciptakan berbagai program yang bertujuan untuk membangun masyarakat adat Indonesia. Program tersebut juga diimplementasikan di kelompok masyarakat adat Ammatoa.

Salah satu program tersebut, yakni program “masyarakat terasing” yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga berbagai program kebudayaan seperti pariwisata. Sayangnya, program ini gagal menarik minat masyarakat untuk ikut serta karena menurut mereka program tersebut secara dominan menggunakan pendekatan top-down dari pemerintah ke masyarakat. 

Alih-alih, program tersebut justru merusak tatanan adat yang sudah terbangun, atau bahkan mengancam eksistensi adat mereka. Kegagalan tersebut tidak lain merupakan buntut dari gagalnya pemerintah orde baru dalam memahami suku adat Ammatoa.

Kemudian pada era reformasi, muncul kebijakan desentralisasi yang lebih menekankan pada pendekatan bottom-up dari masyarakat ke pemerintah. Namun masyarakat adat Ammatoa, lagi-lagi, gagal keluar dari kondisi marginal. 

Hal tersebut dikarenakan masyarakat adat dan tema kearifan lokal yang populer pada era tersebut hanya sebatas dijadikan sebagai komoditas politik tanpa benar-benar bertujuan untuk mengentaskan mereka dari kondisi termarginalkan. Dan bahkan kondisi tersebut masih terjadi hingga saat ini. (Samsul Maarif, 2018)

Politik Negoisasi Masyarakat Adat Ammatoa

Keberhasilan masyarakat adat Ammatoa untuk mendapatkan pengakuan negara atas tanah adat mereka memiliki sejarah yang panjang. Mereka telah mampu melewati berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam, baik berupa ancaman langsung dari perusahaan maupun ancaman tidak langsung dari negara maupun ideologi tertentu. 

Dalam upaya mempertahankan diri, mereka banyak didampingi berbagai elemen masyarakat seperti LSM; Walhi, Lakpesdam, dan AMAN, serta para akademisi. Namun, tentu, tanpa keteguhan serta kesolidan dalam upaya mempertahankan diri, keberhasilan untuk mendapatkan pengakuan tidak akan terjadi.

Perjuangan untuk mendapatkan hak atas hutan adatnya sudah mereka mulai sejak 2005. Mereka menuntut pemerintah agar menetapkan hutan mereka yang seluas 313, 99 hektare sebagai kawasan hutan adat. Dan 10 tahun kemudian, Pemerintah Kabupaten Bulukumba menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2015 mengenai Pengakuan, Pengukuhan, dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. (Kompas.com, 6/12/2016)

Dikeluarkannya Perda tersebut menjadi angin segar bagi masyarakat untuk mengajukan agar hutan produksi di Bulukumba dikembalikan sebagai hutan adat. dan Kemudian, pada 5 Oktober 2015, masyarakat mendaftarkan permohonan penetapan kawasan hutan adat ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebelumnya, pada tahun 2012, MK mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Utusan MK 35 mengenai “hutan adat”. Sebelumnya, hutan adat dianggap milik atau ada dalam kekuasaan negara sehingga masyarakat tidak memiliki wewenang terhadap hutan adatnya. 

Setelah adanya putusan MK 35, hutan adat ditetapkan bukan saja sebagai tempat bergantung hidup dan komunitas adat, namun, lebih dari itu, sebagai tempat sakral di mana identitas ke-adat-an terbangun. Adanya putusan tersebut memberikan masyarakat wewenang untuk menguasai, mengelola hutan adatnya sebagaimana aturan perundang-undangan berlaku.

Kemudian melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016, menetapkan seluas 313,99 hektare hutan Ammatoa sebagai Hutan Adat. Keputusan tersebut secara khusus menetapkan hutan adat sebagai hutan hak bagi masyarakat Ammatoa Kajang. (Samsul Maarif, 2018)

Dilihat dari keberhasilan mereka mendapatkan pengakuan negara, masyarakat adat Ammatoa bisa dibilang sebagai salah satu masyarakat adat yang memiliki bargaining power. Setidaknya jika dibandingkan dengan masyarakat adat lain. 

Sebab, sampai akhir tahun 2018, menurut laporan KLHK, baru sekitar 28 ribu hektare untuk 35 komunitas adat yang secara resmi sudah mendapatkan pengakuan negara. Padahal, hingga April 2019, ada seluas 10,24 juta hektare pada 814 peta wilayah adat yang telah didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat. (Tempo/23 Mei)

Namun, pengakuan tersebut hanyalah satu kemenangan di antara kompleksitas permasalahan yang mereka hadapi dan di tengah masyarakat pada umumnya. Kondisi mereka masih termarginalkan.

Menurut Willem van der Muur (Forest conflicts and the informal nature of realizing indigenous land rights in Indonesia/Citizenship Stusies/2018), keberhasilan masyarakat adat Ammatoa tidak tidak terlepas dari politik negoisasi yang mereka lakukan. Negoisasi yang dimaksud tampak pada bagaimana masyarakat adat selama ini menjaga baik hubungan mereka dengan pemerintah daerah. 

Selain itu, mereka juga mengombinasikan antara kepemimpinan adat dengan kepemimpinan daerah, misalnya kepala desa akan secara otomatis juga memiliki posisi dalam struktur adat atau yang mereka sebut sebagai “Galla Lombo” yang berfungsi sebagai menteri luar negeri dari adat Ammatoa. 

Lebih dari itu, masyarakat adat Ammatoa juga dianggap memiliki potensi kuat dalam hal tourism, misalnya, yang kemudian menjadi daya tawar bagi mereka terhadap pemerintah setempat untuk memberikan rekomendasi baik terhadap pemerintah pusat.

Demikianlah lintasan sejarah mengenai Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, beserta politik negoisasi yang mereka terapkan. Lebih dari itu, mari kita belajar untuk menghargai lingkungan dan kemanusiaan.