Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan munculnya kasus prostitusi yang menyeret nama seorang artis yakni Cynthiara Alona. Alona memiliki hotel yang diduga menjadi tempat prostitusi. Hal ini tentunya cukup meresahkan warga sekitar tempat hotel itu berada.
Hal lain yang membuat masyarakat tercengang adalah praktik prostitusi tersebut mengikutsertakan anak-anak yang masih di bawah umur. Perkara ini serentak menjadi bulan-bulanan aparat kepolisian dan tentunya warga sekitar, serta masyarakat keseluruhan. Polisi pun menetapkan Alona sebagai tersangka.
Kasus yang disebutkan tadi merupakan satu dari ribuan bahkan mungkin jutaan kasus prostitusi, secara khusus yang menyertakan anak-anak sebagai objek yang bisa dijadikan pemuas nafsu birahi. Belum lagi masa depan mereka (para anak-anak) tersebut masih panjang dan semestinya diisi dengan hari-hari yang menyenangkan, bukan hal seperti prostitusi.
Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Prostitusi Anak-Anak
Ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kasus prostitusi anak-anak di bawah umur. Salah satunya barang kali adalah tuntutan kondisi hidup yang memaksa anak-anak untuk sampai melakukan pekerjaan semacam itu. Hal ini tampak dari orang tua mereka yang mengalami permasalahan dalam hal finansial, sehingga sampai merelakan anaknya untuk menjadi PSK di usia yang masih belia.
Ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang tak kunjung reda ini barang kali juga menuntut orang untuk rela memberikan anaknya sendiri untuk dijadikan ‘sumber uang’ demi melanjutkan kehidupan. Hal ini barang kali sangat ironis, sebab anak-anak di usia belia semestinya belum mengalami hal-hal semacam ini.
Selain karena tuntutan atau paksaan, barang kali penyebab lainnya adalah memang kondisi lingkungan sekitar yang mendorong masing-masing pribadi untuk berbuat demikian. Artinya, tidak ada pilihan lain bagi anak-anak itu untuk memutuskan jalan hidup; sehingga yang ada mungkin mereka tinggal menuruti saja perkataan orang di lingkungan mereka.
Dengan kata lain, anak-anak tersebut tidak bisa memilih hendak hidup dalam kondisi seperti apa dan bagaimana. Ini barang kali yang disebut sebagai Heidegger, salah seorang filsuf beraliran fenomenologi, sebagai situasi keterlemparan. Artinya, kita terlempar sedemikian rupa pada kondisi dan situasi tertentu, dan kita harus berjuang menghidupinya.
Selain karena hal-hal yang sudah menjadi kodrati dan faktor lingkungan, penyebab lainnya barang kali adalah faktor sosial tempat anak-anak itu hidup. Hal ini bisa kita baca melalui tontonan dan hal-hal yang mereka konsumsi setiap hari. Kemajuan teknologi memang sudah tak terbendung. Laju penyebaran informasi kian cepat dan canggih.
Anak-anak bisa saja mengakses konten-konten dewasa yang memberikan tontonan adegan seksual yang eksplisit. Hal ini tentunya menjadi problematika dan dilema di era saat ini. Di satu sisi teknologi canggih tersebut memang berguna untuk memudahkan manusia, di sisi lain persebaran informasi semacam itu tidaklah dapat dibendung dengan baik.
Arus globalisasi dan westernisasi juga menjadi penyebab peliknya permasalahan ini. Kebudayaan Barat yang cenderung bebas bisa saja mendorong orang Indonesia menjadi sangat bebas, bahkan dalam hal seksualitas; termasuk memperbolehkan anak-anak menjadi bagian di dalamnya.
Perkara lainnya barang kali juga dari segi orang dewasanya atau orang yang menjadi mucikari, seperti dalam contoh Alona. Betapa teganya orang demikian dengan mempekerjakan anak-anak di bawah umur untuk dijadikan alat pemuas nafsu sesaat.
Dari sini kita bisa melihat betapa kompleks dan seriusnya permasalahan ini. Bahkan kalau kita ingin sungguh-sungguh melihatnya, kita akan menemukan bahwa betapa sulitnya mewujudkan penyelesaian permasalahan yang tampaknya sudah menjadi seperti gurita ini. Permasalahan yang seperti ini barang kali tidak bisa kita pandang sebelah mata.
Permasalahan ini sebenarnya juga bukan permasalahan yang muncul baru kemarin. Ini adalah permasalahan pelik yang sudah menghantui masyarakat kita. Belum lagi efeknya yang barang kali akan teringat seumur hidup dalam benak anak-anak tersebut. Anak-anak tentunya mudah mengingat-ingat kejadian yang mereka alami.
Hal tersebut kalau dibiarkan bisa jadi akan membentuk trauma berkepanjangan; atau mungkin juga persepsi yang keliru terhadap seksualitas, karena terkungkung pada pemahaman bahwa seksualitas hanya untuk memuaskan nafsu dan hasrat seksual belaka.
Hal-Hal yang Bisa Diupayakan
Apakah kita bisa keluar dari situasi semacam ini? Jawabannya tergantung pada pilihan kita. Kita akan tidak bisa menyelesaikannya kalau tidak berani untuk mendobrak keluar. Namun, kita juga bisa keluar dari situasi semacam ini, tapi tentunya tidak bisa instan atau sekali jadi dan yang pasti membutuhkan proses yang cukup lama dan rumit.
Langkah awal untuk mulai menanggulangi permasalahan ini barang kali ada pada aparat penegak hukum yang bertanggung jawab mengayomi masyarakat. Aparat penegak hukum perlu tegas dalam menjalankan prinsip-prinsip demi kebaikan bersama. Ketegasan ini perlu tampak dalam pengusutan berbagai kasusnya.
Selain menegakkan hukum, pemerintah juga perlu mendukung pengadaan lapangan kerja dan barang kali juga mendukung terbentuknya UMKM sehingga masih ada banyak pilihan pekerjaan yang lebih baik. Kemudian, pengembangan pendidikan juga perlu menjadi fokus kita bersama, terlebih dalam membentuk karakter anak-anak generasi penerus bangsa.
Hal terpenting yang juga perlu mulai diupayakan barang kali adalah dari masing-masing pribadi. Kita perlu mulai membiasakan diri pada tontonan dan hal-hal yang menjadi konsumsi dari media massa. Faktanya apa yang menjadi tontonan seseorang, itulah yang membentuk kepribadiannya. Maka, kita perlu selektif dalam mengonsumsi sesuatu dari media massa.
Peran orang tua juga sangat besar dalam membimbing anak-anak, lebih-lebih dalam mengantarnya pada pengenalan akan dunia. Maka, orang tua juga perlu bijak dalam mendidik dan mengawasi perilaku anak, supaya mereka tetap terarah pada hal-hal baik seturut dengan usia mereka sebagai seorang anak-anak.
Maka dari itu, pertama-tama penting bagi kita untuk menyadari realitas yang terjadi di lapangan terlebih dahulu. Baru kemudian kita bisa mengambil sikap yang tepat untuk mulai mengatasi persoalan ini dengan bijak.
Kita perlu melihat dari sudut pandang realitas yang nyata, baru kemudian menindaklanjutinya secara penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Hal ini tentunya demi masa depan anak-anak yang lebih cerah dan penuh dengan pengharapan.