Tentu pandemi Covid-19 ini menjadi momok yang berpengaruh secara signifikan dalam kehidupan akhir-akhir ini. Sehingga manusia sangat terbatas dalam berkehidupan agar mampu untuk terhindar dari paparan virus yang tergolong sangat berbahaya itu. Dengan pembatasan arus mobilitas yang sudah makin tinggi, manusia merasa asing dengan satu sama lain.
Bagaimanapun juga, kebijakan pemerintah ini berharap agar mampu mengurangi risiko jumlah korban yang terpapar virus Covid-19 ini menjadi berkurang. Namun kini harapan tinggal sisa noda dan duka. Dengan bermacam-macam kebijakan telah dilakukan, propaganda melalui berbagai media yang pada intinya menyarankan masyarakat berdiam diri dalam rumah, sudah begitu membosankan.
Tentu saja berdiam diri dalam rumah dengan akses mobilitas yang tinggi seperti menangkap hewan liar lalu dimasukkan ke dalam kebun binatang. Dengan naluri alamiahnya, hewan liar itu pun akan berontak karena merasa kebebasannya diambil alih oleh petugas kebun binatang.
Begitu juga dengan manusia. Manusia secara natural memiliki sifat alamiah ingin merasa bebas melakukan hal-hal yang disukainya. Oleh karena itu, mulai banyak bermunculan pembahasan datangnya Covid-19 yang mayoritas beranggapan memang suatu virus, virus yang menyebalkan.
Di lain sisi juga, tentu ada yang beranggapan bahwa Covid-19 ini adalah bentuk konspirasi yang digerakkan oleh elite global sebagai cara yang bertujuan untuk mengurangi populasi manusia yang dari waktu ke waktu memang bertambah banyak. Nah, di sisi inilah terdapat satu teori datang dengan keunikannya yaitu menyatakan bahwa manusia itu sendiri yang merupakan virus yang sebenarnya.
Tentu saja orang awam tidak mengerti dan tidak mau tahu akan hal tersebut. Di lain sisi, mereka memang benar-benar tidak mengerti dan juga tidak peduli, di lain sisi mereka hanya ingin mencari makan untuk hidup.
Tidak perlu dipungkiri bahwa Covid-19 ini memiliki imbas akan hal lain, seperti ekonomi, sosial bahkan ranah spiritual. Maka dari itu tidak perlu terkejut jika ada yang beranggapan bahwa manusialah yang merupakan virus yang lebih berbahaya dari Covid-19 ini. Dengan didasari bahwa manusia dari zaman terdahulu hingga kini selalu membuat onar di muka bumi, dengan tindakan semena-mena atau juga bisa disebut sebagai tindakan atas dasar asal suka.
Merusak alam dengan seenaknya dengan dalih pembangunan sedangkan mengganggu kenyamanan makhluk hidup yang lain. Tentu saja para manusia sadar akan hal itu, namun lebih memilih membisu dan berpura-pura gila agar terlihat semuanya tetap baik-baik saja.
Dunia adalah panggung sandiwara.
Begitu egoisnya memang peristiwa-peristiwa yang terjadi karena perbuatan manusia di muka bumi akan hal-hal yang merugikan satu sama lain. Bahkan ada pepatah yang mengatakan bahwa kedamaian yang sejati hanya berada dalam alam mimpi.
Sungguh ironi namun begitulah adanya.
Oleh karena teori berdasar atas kejadian akhir-akhir ini, maka ke depannya perlu diingat bahwa apa yang terjadi nantinya akan berdampak pada manusia itu sendiri. Namun di lain sisi manusia kadangkala menjadi obat penawar yang jitu atas permasalahan yang ada pada bumi.
Seperti perbudakan yang menghilang karena panji-panji agama, kehidupan dengan pola hidup yang lebih baik, dan juga penemuan-penemuan dalam bidang teknologi yang mempermudah untuk hidup.
Memang begitulah dunia, selalu menyajikan dua arah mata angin yang berbeda, contoh saja seperti baik dan buruk, benar dan salah, dan begitulah seterusnya. Dan juga termasuk manusia. Seperti pisau bermata dunia. Bisa digunakan dalam hal-hal baik seperti memotong wortel untuk di masak, dan juga membawa malapetaka ketika digunakan dalam hal-hal yang salah seperti merampok.
Nah tentu saja manusia satu sama lain memiliki perbedaan yang bermacam-macam. Maka dari itu, manusia sebagai makhluk yang berkuasa di bumi membawa dua pilihan dalam hidupnya.
Menjadi virus yang mematikan satu sama lain dan antara lain menjadi vaksin penawar racun yang menyembuhkan satu sama lain. Silahkan memilih dengan baik dan benar.
Tentu saja vaksin dalam pembuatannya perlu prosedural pengujian yang berulang kali. Begitu halnya dengan manusia. Perlu pengujian berulang kali juga agar menjadi vaksin yang saling menyembuhkan, bukan malah menjadi virus yang berbahaya.
Mungkin dari sini muncul kata pepatah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Alam pun mulai muak dengan tindakan manusia yang menyebalkan. Perusakan di mana-mana terjadi tanpa perlu peduli. Dan kini semoga saja manusia mampu belajar dari pengalaman.
Pengalaman bahwa manusia mulai paham jati dirinya yang sebenarnya. Tentu tidak perlu dipungkiri lagi bahwa keadaan terdesak mampu membuat seseorang berhenti berpura-pura. Begitu juga dengan virus Covid-19 ini yang mampu membuat jutaan manusia kalang kabut bersembunyi dalam selimut.
Maka dari itu, penanganan Covid-19 untuk menjadikan manusia sebagaimana vaksin, bukan hanya korban, memang perlu perjuangan yang melelahkan. Namun suatu yang melelahkan biasanya akan meninggalkan kenangan. Tentu pengalaman juga.
Dan apa perlu manusia untuk bersyukur atau bersedih atas kehadiran Covid-19 yang sudah menikam banyak manusia itu membawa kesadaran dalam khalayak?
Pada intinya memang akan selalu datang yang sering diejewantahkan sebagai pihak pro dan kontra. Dan tentu manusia sebagai makhluk paling berakal akan memilih kehendaknya sendiri tanpa paksaan antara menjadi virus maupun menjadi vaksin.