Belum usai kubaca tentang semua teori utopia yang menggambarkan kebahagiaan, belum selesai kupupuk semua mimpi penegakan adilnya manusia. Aku yang selalu membaca melalui bingkai jendela tahu betul bahwa, negara butuh tenaga.

Penyamum yang berlesensi profesi wartawan dari negara mengeluh lelah bersama segelas kopi sembari duduk di beranda menanti berita. Sedang aku yang duduk dibalik jendela sibuk dengan pertanyaan pasal dunia dan negara.

Tegas kukatakan ‘apa-apaan dia yang malah asik duduk ngopi disini, sedang negara tidak baik-baik saja’ singkat dia mengatakan ‘muda mu memperlihatkan ketidaktahuanmu’ Kita bisa menyelesaikan ini dan itu dengan menggunakan teori begini dan begitu, kataku mencak-mencak dalam hati.

Seakan tahu, si penyamum kembali menghalaui diriku dan pikiranku, ‘Dinegara ini kalau idealis, tidak akan makan’ Aku masih tak terima, aku disekolahkan dengan harapan untuk membantu bangsa ini. 

Si penyamum dengan gampangnya menyebut, ‘Yang menanamkan cita-cita itu negara, sedang bangsa yang dimaksud oleh negara ini adalah pemerintah, orang-orang yang diluar kata pemerintah hanya akan menderita’

Aku kembali tidak terima, kutangkis semua argumentasinya dengan berbagai teori yang kupunya, bahwa negara ini begitu dan pemerintah itu begini.

 Si penyamum menurunkan suaranya dan berkata lembut ‘Yang sedang kau lawan bukan kami saja, tapi sistem’ Aku diam,mulai merauk ingatan tentang sistem dan semua teori tentang sistem.

‘Di negara ini jika kau tidak sependapat dengan pemerintah habislah kau’ Aku masih bersikeras bahwa itu negara yang salah dan tidak sesuai dengan semua faktor yang harusnya kita lalui sebagai negara yang ingin maju suatu saat nanti.

Kutunjukkan semangatku untuk memperjuangkan bangsa ini, aku yakin kita punya kesempatan dengan berbagai penelitian para ilmuwan yang kupelajari, jika aku punya kesempatan untuk mengimplementasikannya pasti masih ada harapan. Dia tersenyum.

‘Kau masih muda dan berapi-api, kau tidak akan tau rasanya bagaimana ketika kau membela orang-orang yang bahkan tidak peduli isi priuk mu’ Aku diam, Iya memang, aku belum tahu rasanya mencari isi priuk kemana dan bagaimana, tapi setidaknya aku  tahu bahwa apa yang kalian lakukan itu salah.

‘Dunia ini kadang bukan tentang benar atau salah, tapi tentang kepatutan’ Aku kembali menerawang tentang kebenaran kalimat itu, dan sekejap disadarkan bahwa aku tidak memiliki indikator menimbang kebenaran kalimat.

Sekarang dia meninggikan suaranya ‘Dinegara ini, aktivis hanya dilabelin sebagai pemberontak, dan pemberontak tidak ada yang disebut sebagai pahlawan ketika mati. Dan semua sia-sia. 

Aku lebih tahu bagaimana rasanya menyuarakan hal-hal yang sama-sama kita anggap benar dan saling kita perjuangkan. Suara itu hanya akan berakhir dibui. Kejamnya dunia, karena aku hanya keluar dari penjara tidak akan ada yang percaya aku berteriak atas nama mereka sehingga aku dirumahkan dalam penjara’ 

Persepsi kebenaran tidak semudah untaian teori.

‘Lelah seharusnya kita berbicara pasal keadilan di dunia yang penuh kemunafikan. Aku sudah berlumur sandiwara setiap harinya. Ayo kembali suarakan tentang pembelaan dan keadilan, agar kutunjukkan kerasnya biaya bertahan di dunia yang tidak mengenal kata Cuma-Cuma’ Semangatkanku ciut, bingung kumerangkai diksi tentang teori ketika sepertinya memang benar bahwa, kenyataan abai dan snobsi.

Tertatih aku berucap bahwa, pasti akan seperti pedati pada suatu saat nanti. Kembali si penyamum tersenyum sinis melihat tekadku yang hampir padam masih nyalang menantang katanya,

 ‘Hingga sekarang, hanya beberapa orang saja yang menganggap Munir pahlawan, dimata negara dia tetap pemberontak. Aku tak bisa selantang Munir, aku unya anak istri yang mengharuskan priukku tetap terjaga’

Wajah dan hatiku masih jengkel, aku masih memiliki nilai-nilai yang sengaja kuserap dari buku-buku etika dan moral, kembali dia bersuara,

 ‘Aku bukan tidak pernah mencoba menyuarakan suara yang hanya sampai ditenggorokkan, kuusahakan agar menyentuh batang telinga penguasa. Dan apa akhirnya? Aku menjadi mantan narapidana yang bahkan seperti tidak dilihat tetangga’ Aku menganga, tak punya kata-kata.

Katanya lagi, ‘Aku bukan tidak pernah dicekcoki berbagai macam teori dan janji tentang kesehjateraan bangsa ini. Aku bukan tidak pernah bermimpi agar kita semua tidak menderita seperti ini. 

Tapi apa? Pada akhirmya aku percaya pada janji Pencipta tentang kenikamatan setelah kematian, karena aku sudah mati berulang di dunia’

Tidak menjadi salah ketika, kau yang dibalik bingkai jendela menganggap bisa mengatasi semua. 

Hanya saja kau lupa bahwa, kami, ketidakadilan, kesenangan, kemunafikan, kepentingan, kejahatan, kebohongan, kebutuhan, kemewahan, kedongkolan, kesedihan, kekuasaan, kebaikan, ketamakan, kerugian, kebodohan, kedengkian, kebenaran, kesalahan, kesinisan, kesusahan, ketulusan dilebur dalam satu lumpur yang sama. 

Ketika kau keluar dari bingkai jendela dan datang kesini, kau harus rela kotor berlumur lumpur. Kau bukan lagi manusia yang mulia seperti di balik jendela.