Entah ini lucu atau memiriskan, tetapi fakta membuktikan: sebagai mantan pasukan antiteror—wakil komandan pada Densus 81 (1983) dan anggota Kopassus (1993), Prabowo Subianto ternyata tak terlalu paham akar masalah terorisme. Itu muncul dalam paparannya di Debat Pilpres 2019 putaran pertama (17/1) yang terkesan menuding kalau akar terorisme adalah kemiskinan dan kebodohan.

Bersama pasangannya Sandiaga Uno, Prabowo hendak menyesatkan publik melalui pernyataan tak berdasar terkait penganggulangan aksi terorisme di Indonesia. Tampak jelas bagaimana keduanya tampil sok tahu akan upaya-upaya kontra-terorisme yang harus dicanangkan kalau terpilih nanti. Yang mereka sampaikan ke publik sangat jauh dari nalar sehat alias tidak masuk akal.

Kala ditanya soal strategi menjalankan program pencegahan dan deradikalisasi yang efektif, jawaban Prabowo adalah mendukung setiap usaha deradikalisasi pendidikan.

Untuk itu, manakala kita (Prabowo-Sandi) yang memimpin pemerintahan, kita akan benar-benar investasi besar-besara dalam pendidikan, dalam kesehatan. Untuk membantu rakyat yang paling bawah, rakyat paling miskin, memperbaiki kualitas hidupnya.

Sandi ikut menambal. Ia klaim bahwa banyak sekali masyarakat yang tidak bisa merasakan masa depan cerah. Mereka akhirnya terpapar terorisme karena kebutuhan ekonomi.

Oleh karena itu, Prabowo-Sandi akan melihat peta-peta di mana risiko ini timbul. Kita harus hadir untuk mereka, memastikan mereka tidak terjerumus pada terorisme.

Sangat jelas bagaimana paslon 02 menilai kemiskinan dan kebodohan sebagai akar terorisme. Pada Sandi mungkin tak masalah. Toh dirinya lebih banyak bergelut di dunia wirausaha. Tetapi pada Prabowo, yang mantan pasukan antiteror tapi tak paham akar terorisme, ini jelas lucu lagi memiriskan.

Belajar dari Haroon Ullah

Menyebut kemiskinan dan kebodohan sebagai akar terorisme jelas merupakan pembalikan fakta. Ini kesesatan berpikir yang saya kira sangat fatal.

Studi Haroon Ullah, profesor tamu di Georgetown University School of Foreign Service untuk Prager University, memperlihatkan bahwa kemiskinan punya pengaruh yang sangat sedikit bagi lahirnya aksi-aksi terorisme. Pengaruh kurangnya pendidikan (kebodohan) bahkan jauh lebih sedikit lagi.

Sebaliknya, sebagaimana temuan Haroon saat bertandang ke Pakistan, sebuah wilayah di mana terorisme bernafas agama sangat menjamur, orang-orang yang gandrung dengan ekstremisme adalah mereka yang berasal dari golongan menengah ke atas. Mereka mapan secara ekonomi, punya latar belakang pendidikan yang baik; mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Bukankah fakta yang terjadi di Indonesia juga memperlihatkan hal serupa? Lihatlah keluarga pelaku rentetan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya tahun lalu. Mereka adalah pasangan suami-istri yang secara ekonomi tergolong kelas menengah. Kediamannya di kompleks Wisma Indah, Surabaya, sebuah perumahan mewah yang jauh dari kata “kumuh”.

Hanya saja, di balik gelimangan harta yang mereka miliki, ada rasa frustrasi yang teramat besar (tirto). Inilah yang mendorong pasangan suami-istri tersebut, melibatkan anak-anaknya, menjajaki konsep “mati syahid”. Maka tak salah jika penyebutan kemiskinan dan kebodohan sebagai akar masalah terorisme sudah tidak relevan lagi.

Haroon pun meyakinkan perkara ini. Di tengah kekacauan yang menimpa Pakistan, orang-orang menggebu untuk mengejar ketenteraman. Juga ada yang sangat rindu akan perubahan. Lalu jihadis datang menjanjikan solusi: “ikut ajaran agama kami; semua bisa dibereskan hanya melalui jalan kekerasan.” Cara-cara seperti inilah yang juga pernah dicontohkan oleh para tiran seperti Lenin, Mussolini, Hitler, hingga Osama bin Laden.

Lantas apa yang mesti kita lakukan untuk menjawab tantangan terorisme?

Pertama, membuang narasi palsu yang Prabowo-Sandi sampaikan di Debat Pilpres 2019. Sebab alasan utama dan paling utama lahirnya terorisme adalah kemiskinan atau kebodohan merupakan penyesatan publik yang sangat fatal. Kasus-kasus mutakhir telah membantahnya.

Selanjutnya, untuk melawan kelompok ekstremis, kontranarasi harus dilakukan. Kita harus mampu mempelajari narasi-narasi yang mereka sebar. Tunjukkan bahwa tawaran jalan mereka sebenarnya jauh dari kata "suci": hanya melahirkan penderitaan dan kematian. Jihad untuk hidup, bukan jihad untuk mati.

Lalu, media-media massa dan sosial harus mulai berhenti memperlakukan ekstremis bak pejuang kemerdekaan. Tak boleh ada pihak yang memuliakan teroris sebagai pahlawan. Mereka, teroris, tak lebih sebagai seonggok penjajah semata.

Guru dan orangtua harus pula terlibat dalam upaya penanggulangan terorisme. Setidaknya, menanamkan sejak dini nilai-nilai pluralisme kepada anak-anak, di lingkungan keluarga juga sekolah. Menjejali paham bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan hal yang harus diseragamkan, apalagi dibenci, dimusuhi, hingga dimusnahkan.

Terakhir, sudah saatnya politisi berhenti mencari kambing hitam atas masalah yang kini bangsa hadapi. Tak sepatutnya menyalahkan pihak lain, misalnya menilai terorisme adalah kiriman dari luar (asing) sebagaimana Prabowo sampaikan di acara Debat Pilpres kemarin.

 Bukanlah kemiskinan dan penderitaan yang menciptakan ekstremisme dalam beragama. Ekstremisme dalam beragamalah yang menciptakan kemiskinan dan penderitaan. ~ Haroon Ullah