Padang Kurusetra merupakan saksi bisu atas pertumpahan darah akibat perang saudara. Perang sesama keturunan Abiyasa dalam memperebutkan tahta Kerajaan Astina, termaktub dalam epos Mahabarata yakni cerita wayang yang menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan keburukan yang tetap menjadi inspirasi bagi kita yang mau mempelajarinya.
Perseteruan antara Pandawa melawan Kurawa merupakan tema sentral dalam kisah Mahabarata yang penuh dengan trik dan intrik serta segala macam siasat untuk mengalahkan lawan. Pandawa sebagai kelompok protagonis dengan segala sifat yang baik dan dapat diambil teladan dari mereka. Sementara Kurawa merupakan kelompok antagonis dengan segala perilaku buruk dan licik yang tak patut untuk ditiru.
Berbeda dengan kisah di negara asalnya yakni India, cerita wayang di Indonesia khususnya di tanah Jawa disadur sedemikian rupa oleh para wali. Hal ini dilakukan sebagai metode mengubah tontonan menjadi tuntutan sekaligus menjadikan media wayang sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Prinsip ini masih tetap dipegang teguh oleh para dalang hingga sekarang.
Upaya dakwah tersebut bisa dilihat jelas manakala kita memahami makna filosofis yang terkandung dari tokoh sentral para Pandawa Lima yang dinisbatkan sebagai tokoh super hero dan menjadi lambang sekaligus pedoman yang mudah dipahami dalam melaksanakan kaidah beragama Islam yakni rukun Islam.
Puntadewa alias Yudistira
Putra sulung Pandu Dewanata dari Dewi Kunti ini merupakan seorang ksatria yang memilki darah putih, tokoh penyabar, jujur, tegas, adil dan tak pernah berbohong selama hidupnya. Segala kesaktian dan kebijaksanaannya bersumber dari jimat atau senjata pusaka yang dimilikinya yakni senjata Jamus Kalimushada.
Yudistira ini merupakan perlambang dari pelaksanaan rukun islam yang pertama yaitu dua kalimat Syahadat (Jamus kalimushada) yang mengandung makna jika ingin selamat dunia dan akhirat maka pegang teguh dan implementasikan dua kalimat syahadat dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu Yudistira juga disebut sebagai jelmaan atau titisan dari Dewa Yamadipati alias dewa pencabut nyawa. Inilah yang membuat Yudistira menjadi sosok yang cerdas sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa sesungguhnya ilmu yang paling cerdas adalah mengingat kematian.
Bima alias Werkudara
Putra kedua Pandu Dewanata dari Dewi Kunti ini adalah sosok ksatria yang teguh pendiriannya, gaya bicaranya yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling dan bahasanya cenderung kasar tak perduli ia sedang berbicara dengan siapa, baik dengan raja, ksatria, dewa mau pun dengan rakyat jelata, dialah sosok yang bertemu dengan "air kehidupan", dialah yang bertemu guru sejati Dewa Ruci. Bima adalah sosok yang menemukan makna kesejatian diri.
Sosok Bima ini memiliki makna sebagai perlambang dan penjelasan tentang rukun Islam yang kedua yaitu Shalat. Karakter Bima inilah yang menerangkan bahwa ibadah shalat merupakan kewajiban pokok bagi siapa pun umat Islam, tak perduli apa pangkat dan jabatannya, dimana pun dan dalam kondisi apa pun tetap harus selalu mendirikan shalat. Karena shalat adalah ibadah pokok yang akan diperiksa pertama kali kelak pada saat dihisab atau pada hari perhitungan
Selain sebagai tiang agama, shalat juga sebagai pengingat, penolong dan pencegah perbuatan keji dan mungkar. Hanya dengan shalat kita akan bertemu dengan "air kehidupan" dan mengenal kesejatian diri, karena barang siapa mengenal dirimu maka dia akan mengenal Tuhannya. Bahkan hanya ibadah shalat satu-satunya yang menjadi sarana "mi'rajul mukminin"
Arjuna alias Permadi
Putra ketiga Pandu Dewanata dari Dewi Kunti ini dikenal memiliki inner beauty yang mengagumkan, memiliki paras yang tampan rupawan, perangai serta sikap yang lembut, sekaligus sebagai ksatria pilih tanding pemilik segala macam ilmu kedigdayaan dan kesaktian. Sosok yang disayang oleh sesama dan menjadi "anak emas" para dewa. Ketekunan dan juga kedisiplinan Arjuna yang senantiasa haus akan ilmu, mendorong Arjuna menjadi satu-satunya ksatria pandawa yang gemar melakukan tirakat dan bertapa mengolah ilmu batin.
Sosok Arjuna mengandung makna sebagai penjelasan dari rukun Islam yang ketiga yaitu puasa. Ibadah puasa ini disamping sebagai ibadah wajib, juga sebagai jalan atau metode yang bisa ditempuh oleh manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, banyak keistimewaan yang dimiliki oleh mereka yang ahli puasa, bahkan bagi mereka yang ahli puasa kelak akan memiliki pintu tersendiri di Surga.
Selain ibadah yang mengukur keikhlasan seseorang, puasa juga ibadah yang dilakukan penuh dengan kejujuran, ibadah yang menjadi rahasia dirinya sendiri dengan Tuhannya. Bahkan menurut firman-Nya: "puasa adalah untukku dan aku yang memberikan pahalanya".
Nakula dan Sadewa
Dua anak laki-laki kembar ini sama dengan kakak-kakaknya yang dikaruniai perangai yang baik, rendah hati, suka menolong sesama dan memiliki kesaktian yang pilih tanding. Yang membedakan mereka adalah jika Yudistira, Bima dan Arjuna merupakan anak Pandu Dewanata dengan Dewi Kunti, lain halnya dengan Nakula dan Sadewa. Si kembar ini merupakan anak Pandu Dewanata dari istri yang lain yang bernama Dewi Madrim adik kandung dari Prabu Salya (Narasoma), meskipun berbeda ibu akan tetapi Nakula dan Sadewa adalah bagian dari Pandawa dalam artian lima anak laki-laki putra Pandu Dewanata.
Demikian halnya dengan penjelasan rukun Islam yang keempat dan kelima yakni zakat dan haji. Benar keduanya merupakan kewajiban pokok bagi orang Islam, akan tetapi dikarenakan dua ibadah ini dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya (harta) maka ada kelonggaran atau syarat yang harus dipenuhi yakni sifatnya wajib bagi yang mampu.
Lalu bagaimana dengan Kurawa?
Meskipun Kurawa jumlahnya jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan Pandawa, seratus orang kakak beradik putra Prabu Destarasta yang notabene adalah kakak kandung Pandu Dewanata ini, dikarenakan perangainya yang buruk sekaligus sebagai simbol angkara murka maka pada akhirnya mereka hancur dan dapat dikalahkan. Sudah menjadi ketetapan sang pencipta bahwa yang batil dan angkara murka pada waktunya akan hancur dan binasa.