Mentari bangun lebih pagi. Menyibakkan sinar ke seluruh penjuru bumi dengan tulus dan ikhlas. Kuda besi mulai lalu lalang. Burung berkicauan. Dedaunan tersibak angin menghempaskan bulir air yang dititipkan hujan.

Sementara aku menatap jalan penuh keindahan. Mataku berbinar. Senyum senantiasa tersungging. Hati berdebar menyanyikan simfoni lagu tentang cinta dan sayang. Menyanyikan lagu tentang ketulusan, tentang keikhlasan. Sesekali bibir mengatup menafakuri cinta yang bersemi.

Hari ini aku begitu bahagia. Setelah beberapa lama tidak berkomunikasi dengan Zhafiratul Hilwah, akhirnya hari ini bisa bertemu. Beradu tatap adalah penawar kerinduan yang menggunung. Perempuan yang biasa aku panggil Nona Rara itu tiba-tiba mengajakku bertemu.

Mengingat pengkhianatannya, sebenarnya aku ogah melihat wajahnya. Tapi ajakan bertemu yang dilontarkan membuat aku luluh. Walau bagaimanapun, cinta yang bersemayam di hatiku masih kukuh. Lebih kukuh dari Kremlin yang dibangun Pangeran Yuri Vladimirovich Dolgoruky di Kota Moskow, Rusia.

Benteng cinta yang terbangun di hatiku tak goyah sekalipun bertubi-tubi mendapat serangan serdadu berupa pengkhianatan. Berbeda dengan Kremlin yang hancur lebur setelah dibakar dan diluluhlantakkan oleh tentara kekaisaran Mongol. Begitu teguh cintaku pada Zhafiratul Hilwah.

Perasaan bahagia menelusup ke seluruh nadiku. Ajakan bertemu yang dilontarkan Nona Rara saya yakini sebuah penyesalan untuk membangun kembali istana pasir yang telah dia runtuhkan. Aku menemuinya dengan berbekal cinta tulus dan ikhlas. Jika dia benar-benar menyesali pengkhianatan yang dilakukan, sungguh aku akan menerimanya dengan hati lapang.

Ditemani semilir angin dan sedikit gerimis, motor butut yang kukendarai membelah jalanan. Gedung-gedung tua peninggalan Belanda berdiri kukuh, seolah memberi isyarat pada cintaku agar tetap kukuh sekalipun diterjang badai.

Sepuluh menit membelah hiruk pikuk kota, tibalah aku di tempat yang telah ditentukan. Zhafiratul Hilwah lebih dulu datang. Dia mengenakan daster dibalut sweater warna navy dan kerudung hitam jenis pasmina. Tidak ketinggalan kristal swarovsky melilit di belahan kerudungnya.

Batu kristal yang berasal dari Rusia itu menyibakkan kilau indah nan menakjubkan. Konon, kristal itu hanya dipakai Tsarina Rusia saat menemani kaisar. Kini batu simbol kehormatan para permaisuri kaisar Rusia itu melilit di leher Nona Rara, kekasihku. Warna alaminya membuat mata ingin berlama-lama. Apalagi, tepat diatas batu kristal itu terdapat dagu lancip yang sangat indah.

Lebih keatas lagi, ada bibir manis yang sesekali tersenyum ketika melihat layar HP. Entah apa isi layar telepon genggam itu sehingga bibir yang dilumuri lipstik warna deep brown itu tersungging. Sesekali gigi bagian bawah menggigit bibir bagian atas. Sungguh pemandangan yang memesona. Membuat naluriku meronta.

Sementara kedua tangannya menggenggam erat novel mahakarya Paolo Coelho. Novel itu berjudul "Selingkuh". Aku pernah baca novel  yang menceritakan kebosanan seorang jurnalis perempuan bernama Linda itu. Usianya 30 tahun. Lebih muda dari Rara empat tahun. Ya, Rara sudah berumur 34 tahun. Akhir tahun ini akan merayakan ulang tahun ke 35.

Muncul tanda tanya dibenakku, mengapa Rara membaca novel yang diterjemahkan Rosi L. Simamora itu. Adakah kebosanan dalam diri Rara sehingga dia memilih selingkuh dengan Rocky seperti langkah Linda dalam novel dengan judul asli "Adultery" itu. Pikirku terus bertanya. Sementara di seberang sana, Rara menyibakkan kerudungnya. Sangat memesona. 

Kekagumanku pada pesona Rara memang tidak pernah berubah sejak dulu. Sesak di dada akibat perselingkuhannya tidak sepenuhnya berhasil menghapus cinta yang bersemayam. Aku masih sangat mencintainya. Cintaku sangat dalam hingga tak bisa diselam.

"Andra. Hey... " ditengah lamunanku, Rara memanggil dan melambaikan tangan.

Merespons panggilannya, aku langsung bergegas menuju kursi nomor tiga tempat Rara duduk. Angka tiga sangat berarti bagi aku dan Rara. Dulu, aku dan kekasihku itu harus menahan rindu selama tiga purnama. Kami terpisah jarak dan waktu. Kemudian, kembali bertemu di bumi dan waktu yang satu untuk menggugurkan rindu. Tiga purnama bukan waktu yang sebentar bagi dua hati yang sedang merindu.

Aku memilih duduk berhadapan. Sesekali mata kami beradu pandang. Saling senyum menjadi salam perjumpaan. Mencoba mencairkan gurun es yang membeku akibat pengkhianatan dengan senyuman.

"Aku ingin ngobrol serius. Tapi disini tempatnya kurang tepat. Sangat ramai. Kita cari tempat lain saja," kata Rara.

"Mau ngobrol di mana?"

"Ngobrol di mobilku saja. Motormu taruh disini. Nanti kita ambil. Tenang, disini aman."

Kami berdua bergegas menuju mobil Pajero Sport warna putih milik Rara. Rara melempar kunci memintaku pegang kemudi. Tanpa bertanya aku langsung ambil kemudi. Kami menyusuri jalanan penuh diam. Lagu Malaysia berjudul "Benci Kusangka Sayang" yang dipopulerkan Sonia menjadi pemecah keheningan.

Belum ada perbincangan apapun meski hampir 15 menit berjalan. Sesekali mata kami beradu. Bibirku lalu tersenyum. Sementara Rara masih dingin. Dia tersenyum hanya ketika membaca pesan WA. Entah apa pesan yang dibaca sampai Rara tersenyum sebegitu sumringah dan bahagia.

"Dra, sebenarnya aku mengajak kamu bertemu karena aku ingin minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku akui, aku salah," katanya penuh sesal.

"Aku menjalin hubungan dengan Rocky semata karena tidak ingin membuatmu tersiksa. Aku minta ini dan itu kepadamu. Sementara permintaanku itu tidak bisa kamu kabulkan. Aku yakin kamu pasti tersiksa dengan permintaanku itu," katanya.

"Apa kamu masih mencintaiku? Sebagaimana aku masih mencintaimu Ndra? tanya Rara.

"Apa? Kamu masih mencintaiku? Adakah cinta yang dinodai pengkhianatan? Adakah cinta yang dinodai dengan perselingkuhan?" Aku bertanya balik.

"Harusnya kamu tidak menyalahkan aku karena menjalin hubungan dengan Rocky. Harusnya kamu introspeksi diri. Kemana saja kamu selama ini. Saat aku butuh, kamu tidak pernah ada. Saat aku jatuh kamu juga tidak ada. Justru Rocky yang memberi nasihat agar aku tetap kuat. Justru dia yang selalu ada saat aku butuh."

"Selama setahun aku berjuang sendirian. Aku lari mengejar cintaku sendirian sampai kehausan. Sementara kamu masih abai. Ditengah hausku, datanglah Rocky membawa segelas air untuk ku tumpahkan pada kerongkongan yang kering kerontang. Dia sangat baik padaku. Dalam kondisi seperti ini, apakah salah jika aku menaruh perasaan pada dia."

"Apa pun alasannya pengkhianatan tidak bisa dibenarkan," kataku tegas.

"Ya sudah kalau begitu. Aku ingin hubungan kita selesai sampai disini. Aku tidak mau lagi berjuang sendiri. Silahkan pergi dan nikmati hidupmu sendiri. Karena aku juga telah menemukan jalanku sendiri. Jalan tanpa tangis bersama Rocky, kekasih baruku. Bersama dia, hubungan kami tidak terbatas waktu," kata Rara.

"Tanpa kamu minta, aku akan pergi jauh dari hidupmu. Pengkhiatan yang kamu lakukan adalah pengusiran yang paling kejam," kataku.

"Owwhh okay, salahkan saja aku terus. Aku begini karenamu. Kamu terlalu abai. Rocky lebih berani menanggung risiko. Dia lebih gentle dari kamu. Sudah sebulan kami menjalani hubungan tanpa sepengetahuan kamu. Tapi kamu tidak peka. Kamu terlalu menikmati hidupmu sendiri,"

Baca Juga: Kecewa

Pengakuan Rara membuatku tersentak. Seperti ada badai yang mengobrak-abrik relung jiwaku. Jantungku seketika runtuh. Tubuhku pucat. Aliran darah terasa macet. Emosiku memuncak. Bagaimana bisa Rara menjalani hubungan dengan lelaki lain sejak sebulan yang lalu. Padahal, hubungan kami masih baik-baik saja.

Bahkan seminggu yang lalu kami masih sangat mesra. Seluruh gumpalan rindu kami tumpahkan bersama. Setiap sudut kenikmatan kami susuri dengan peluh basah penuh gairah. Lalu, kerinduan itu kutumpahkan tepat di pusara kenikmatan Rara. Gunung es yang terbuat dari kumpulan rindu itu meleleh diantara liang senggamanya. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau kala itu Rara sudah selingkuh dengan Ainur Rofiki, temanku sendiri. 

Sebenarnya sejak lama aku merasa ada yang aneh dengan sikap Rara. Gelagatnya berbeda. Dia kerap senyum-senyum saat menelpon. Lalu sambungan teleponnya dimatikan saat aku menyamperi. Saat ditanya, jawabannya pasti bilang telepon dari teman yang aku tidak kenal. 

Pernah sekali pamit pergi bersama teman-temannya mencari makanan khas pantai. Ternyata Rocky ikut. Sangat aneh  bagiku. Aku sempat protes. Tadi dia bilang Rocky sebagai penunjuk jalan. Hatiku sempat curiga, tapi kecurigaan itu aku mentahkan dengan berpikir positif berlandas kepercayaan.

Lalu, pernah suatu ketika Rara pamit akan keluar bersama Chika, temannya. Bilangnya ingin mencari HP di beberapa toko. Aku mengizinkan. Selama ini aku memang membebaskan dia beraktivitas seperti biasa, selama aktivitas itu dalam kebaikan. Aku juga tidak pernah melarang dia berteman dengan siapapun. Termasuk dengan perempuan yang kerap diisukan jadi wanita simpanan anggota dewan.

Saat pamit mencari HP itu, seharian penuh Rara tanpa kabar. Sangat tidak biasa. Biasanya, kemanapun dia pergi pasti berkabar. Khawatir sempat mendera jiwaku. Tapi lagi-lagi aku berpikir positif penuh kepercayaan. Karena bagiku, fondasi utama dalam suatu hubungan itu adalah kepercayaan. 

Aku pikir, Rara ingin menikmati jalan-jalan bersama teman lamanya itu. Rupanya baru terungkap bahwa waktu itu dia bukan pergi bersama Chika, tetapi jalan-jalan bersama Rocky. Sungguh kebohongan yang sempurna.

Amarahku tak terbendung. Bukan karena Rara ingin menyudahi hubungan kami. Urusan perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Tapi yang sangat menyakitkan, karena dia terang-terangan mengkhianatiku. Dia mengkhianati cinta yang kusemai dengan tulus. Dia mencabik-cabik hati yang didalamnya ada namanya. 

Emosiku tak terkontrol. Ingin saja ku gampar muka perempuan yang duduk dengan tenang di sampingku itu. Aku benar-benar emosi. Mulutku gemetar ingin mencaci maki Rara. Aahhhhhh, pengkhianat, teriakku dalam hati.

"Apa saja yang kalian lakukan?" kataku dengan nada tinggi penuh emosi.

"Apapun yang aku lakukan dengan Rocky bukan urusanmu. Kamu tidak berhak tahu."

"Apa yang kalian lakukan, jawab," kataku dengan nada semakin tinggi.

"Aku tidak mau jawab."

"Kalau begitu mana HPmu," pintaku.

Tanpa banyak bicara aku rampas HP milik Rara. Dia hanya tersenyum. Rupanya password HP blink-blink itu diganti. Biasanya, Rara pakai sandi 8585 angka yang sangat berarti bagi dia. Tapi rupanya sudah berubah. Beberapa sandi yang pernah dipakai aku coba, tapi gagal. 

Dia sempat menggunakan kata "manis" sebagai sandi, tapi saat aku coba juga gagal. Aku minta Rara membuka password HPnya. Dia menolak. Berkali-kali aku minta dia buka password HPnya, dia tetap menolak.

"Sampai mati pun aku tidak akan buka password HP itu.  Lagian kamu tidak berhak lihat chatku dengan Rocky," katanya.

Mendengar jawaban Rara, emosiku kian tersulut. Kubanting HP buatan Korea Selatan itu. Rara hanya diam. Lalu memungutnya dengan wajah tenang tanpa dosa. Dia minta pulang dengan alasan tidak mau lagi dekat-dekat denganku. Toh dia sudah tidak punya perasaan apapun kepadaku.

"Jawab dulu, apa saja yang kalian perbuat," dengan mata memerah dan nada semakin tinggi, kembali kutanyakan apa saja yang dilakukan Rara dengan Rocky selama berbuat serong di belakangku.

"Hey, Anda harus tahu. Kami sudah melakukan semuanya," katanya dengan tatapan tajam.

"Apa kalian pernah ciuman?"

"Bukan sekedar ciuman. Tapi semuanya sudah kami lakukan. Seperti yang aku bilang tadi, Rocky lebih berani, dia lebih gentlemen dari pada kamu," katanya dengan raut wajah datar tak menghiraukan hatiku yang kacau.

"Apa kalian pernah berhubungan badan?" tanyaku gemetar.

"Semuanya. Kami sudah melakukan semuanya," kata Rara sambil menjulurkan lidahnya seperti orang sedang meresapi kenikmatan.

Jawaban dari mulut perempuan yang sangat aku cintai itu seperti sembilu. Kata demi kata menyayat hati tanpa henti. Raut wajah kemenangannya seperti bongkahan batu besar yang menghimpit jantungku, terasa sangat sesak. Tatapan matanya seperti belati yang merobek-robek jantung dan sanubari.

Seketika aliran darah berhenti. Badanku dingin. Menggigil. Bibir gemetar tak berdarah. Debar jantung semakin nyaring, seolah dekat dengan gendang telinga yang mau pecah. Kerongkongan kering kerontang. Sementara perlahan air mata mengalir, lalu tumpah.

Aku menangis tersendu-sendu. Pikiran kalut bercampur rasa tak percaya. Benarkah perempuan yang aku cintai telah dijamah laki-laki yang tak lain adalah temanku sendiri. Benarkah bibir manisnya telah dilumat bibir hitam tebal lelaki berkumis itu. 

Benarkah setiap lekuk tubuhnya telah Rocky lahap dengan lidahnya yang hitam akibat asap rokok. Benarkah jemari kasar dengan kuku hitam milik Rocky telah membelai rambut pirang kekasihku. Perasaanku hancur. Bangunan cinta yang kukuh luluh lantah.

Rara sebegitu teganya menodai cintaku. Benarkan perempuan yang sangat aku cintai itu telah berkhianat. Benarkah dia lebih kejam dari Zulaikha yang menfitnah Yusuf. Benarkah Rara melakukan itu semua.

Bukankah namaku telah disebut dalam setiap doanya. Bukankan setiap napas pada zikir pagi dan sorenya selalu tersurat namaku. Bukankah cintanya telah diakui didepan Tuhan dan miliaran malaikatnya. Bukankah namaku, Andra Anindita dan Zhafiratul Hilwah telah diabadikan pada batu yang tertancap di Jabal Rahmah. Bukit cinta pertemuan Adam dan Hawa. Bukankah, hari-hari indah bersamaku telah dimimpikan saat bermalam di Muzdalifah.

Bukankah air mata Rara tumpah saat mendoakanku di tanah haram. Tapi mengapa air mata itu tidak dijadikan telaga untuk menuntaskan dahaga cinta kami berdua. Mengapa Rara justru membiarkan aku tersiksa dalam bara panas gurun sahara. Tanya demi tanya terus menyesaki dadaku. Sementara Rara hanya diam penuh kemenangan.

"Mengapa. Mengapa. Mengapa. Mengapa kamu begitu jahat Ra..... Mengapa kau tukar perjuangan cinta suci kita hanya dengan rayuan berkedok nasihat menenangkan itu. Mengapa sebegitu murah kau tukar cinta kita hanya dengan curhatan yang dilayani oleh Rocky.

Dada kian sesak. Tubuh semakin menggigil. Otak seperti tertancap tombak. Perasaan kacau. Bibir kian gemetar. Perlahan pandangan buram. Semakin buram, hingga menghitam. Aku tak sadarkan diri dibalik kemudi Pajero Sport milik perempuan yang amat aku cintai itu.

**********

Dalam kegelapan, aku bertemu seseorang. Dia mengaku bayanganku. Dia mengaku nuraniku. Wajahnya mirip denganku. Hanya saja, aku mengenakan baju lusuh, sementara dia berpakaian bersih serba putih dengan wajah bersinar. Lelaki yang mengaku nuraniku itu lalu menceramahiku. Sementara aku hanya diam seribu bahasa.

"Andra, bukankah telah aku ingatkan sejak dulu. Perasaan cinta yang tumbuh di hatimu itu adalah kesalahan besar. Menyemai cinta pada Rara sama halnya menunggu sakit mendalam."

"Bukankah telah aku beritahu siapa kamu dan siapa Rara. Kamu hanyalah pungguk hina. Sementara Rara adalah rembulan yang berada di singgasana kehormatan. Sudah lama aku beritahu tentang itu. Tapi kamu abaikan."

"Mencintai Nona Rara tidak ubahnya menyembah berhala. Kamu hanya bisa mencintai tanpa dicintai. Kamu hanya bisa mengasihi tanpa dikasihi. Kamu hanya bisa menyayangi dan tidak akan pernah disayangi. Kamu hanya bisa berharap tanpa bisa mewujudkan harapan itu. Kamu hanya bisa berdoa tapi takkan terkabulkan."

"Rara bagai berhala yang kau sembah dan kau agungkan. Harusnya kau sadar, hanya sakit mendalam dan nyeri luar biasa yang akan kamu dapatkan saat menaruh rasa cinta dan sayang pada berhala. Berhala hanyalah bongkahan batu keras yang tidak akan luluh hanya karena air matamu yang berderai."

"Tidak ingatkah kamu, bahwa waktu itu Rara sudah bilang bahwa hubungan kalian hanya sponsor yang bisa lenyap kapan saja. Tidak ingatkah kamu bahwa Rara sering bilang bahwa perjalanan yang kalian tempuh itu tanpa arah dan tujuan. Kata-kata yang keluar dari Rara itu adalah kiasan bahwa sebenarnya menjalani hubungan denganmu hanya permainan untuk mengisi kekosongan."

"Istana cinta yang engkau agungkan tidak lain hanyalah istana pasir yang mudah hancur diterjang ombak. Cintamu yang kuat laksana karang adalah kesalahan besar. Rara tidak mencintaimu seperti apa yang kamu anggap selama ini. Dia hanya main-main ditengah kekosongan hatinya."

"Dulu dia bilang, kamulah pemain cinta. Dia menuduh kamu akan mudah memainkan perasaan. Hari ini bilang cinta pada perempuan yang satu, besok akan bilang cinta pada perempuan lain. Tapi buktinya sekarang, justru dia yang berkhianat. Dulu dia pernah memintamu agar menjadikan Rara sebagai perempuan terakhir yang kau jamah. Tapi faktanya sekarang, dialah yang jadi bulan-bulanan nafsu laki-laki yang tak lain temanmu sendiri.

"Andra, sungguh malang nasibmu. Hancur lebur bersimbah luka hanya karena mencintai dengan tulus dan setia. Sementara Rara, dengan murah menjajakan rasa dan cinta."

"Dia selalu beralasan bahwa rasa datang dan pergi begitu saja. Pernyataannya seolah mencari kebenaran atas pengkhianatan yang dilakukan. Ya begitulah perempuan bertahta, bisa melakukan apapun sesuka hatinya, termasuk mengkhianati cinta tulusmu Andra Anindita."

"Sadarlah Andra, kau dan Rara beda kasta. Seperti yang kau sadari sebelum kau jatuh pada peluk dustanya. Kau hanyalah budak yang boleh mencintai, tapi tidak punya hak dicintai. Jangan berharap banyak pada rasa yang begitu dalam di lubuk sanubarimu itu saudaraku."

"Andra, di mata Rara, kau hanyalah sugampal daging hina yang memang layak dinina. Dia berkhianat bukan karena dia jalang, tapi karena dia memang menganggapmu layak dikhianati, layak disakiti hingga perlahan kamu mati. Lalu daging di tubuhmu akan digrogoti ulat setelah membusuk. Sebusuk kata-kata manis Rara yang selama ini kau anggap sebuah ketulusan cinta."

"Andra,  yakinlah, bahwa sekalipun kau dianggap hina, tapi ada malaikat yang menyertaimu. Malaikat itu tidak akan terima perilaku pengkhianatan yang menimpamu. Sabarlah saudaraku."

Suara itu perlahan hilang. Bayang lelaki berjubah putih itu juga lenyap. Aku terbangun. Ternyata aku tidak lagi berada dibelakang kendali kemudi mobil milik Rara. Badanku tersungkur di dekat got. Ternyata nuraniku benar, di mata Rara, aku hanyalah segumpal daging hina yang dengan lancang telah mencintainya.

Air mata terus berderai. Ingin segera menemui Tuhan lalu menceritakan semua sakit yang kurasakan. Aku masih termenung. Badanku masih lemas. Sementara hatiku? Ah, tidak perlu ditanyakan, tentu masih hancur berkeping-keping. Sungguh inilah luka yang sempurna.