Sudah tiga hari aku tidak menghubungi Zhafira. Sejak dia menolak bertemu denganku, amarah mengendalikan emosiku. Perasaan jengkel dan muak terhadap bualannya terus merongrong akal sehatku. Egoku mematahkan keinginan menghubungi perempuan berhidung mancung dan bermata belok itu.

Sementara jauh dalam lubuk hati yang paling dalam, rindu terus berontak. Sesekali rindu itu menggoda hasrat agar segera menghubungi Zhafiratul Hilwah, kekasihku. Perasaan tak selaras terus berkecamuk. Saat teringat penolakannya malam itu, amarah seketika bangkit. 

Tapi ketika ingat lidahnya yang menari di leher dan telingaku, rindu kian menggebu. Di tengah perang antara marah dan rindu, perlahan egoku melunak.

Setelah menimbang dan seterusnya. Memperhatikan dan seterusnya. Maka kuputuskan mengubungi Zhafira. Kulihat WAnya online. Foto profilnya baru saja diperbaharui. Kini perempuanku itu mengenakan baju muslimah putih berpadu dengan kerudung pink. Warna kesukaanku. Zhafira sangat tahu itu.

Posisinya duduk dengan kaki bersilang. Kedua tangannya bergelantung di atas paha yang aduhai. Senyumnya mengembang. Giginya yang tertata rapi sedikit menyembul di sela bibirnya yang tipis. Manis. Sangat manis. Tatapan tajamnya merobek pertahanan egoku. Amarahku luntur seketika. Tanpa berpikir panjang, ku kirim pesan singkat.

"Assalamualaikum Nona Zhafira, masih sibukkah dirimu hari ini," tanyaku.

"Waalaikumsalam Ndra, tidak terlalu sibuk. Biasa masih ngurus anak-anak. Mbak Romlah belum datang. Dia akan kembali dari kampung setelah peringatan hari ke tujuh kepergian ibundanya," kata Zhafira runut dan jelas.

"Hari ini aku tidak bekerja. Andai tidak menganggu waktumu, kuharap bisa bertemu,"

"Ya sudah main ke rumah saja ya, toh tidak ada Nur," jawabnya.

Nur, suaminya masih berada di Jepang. Bahkan, lelaki culun berambut cepak itu dikabarkan akan lebih lama berada di Negeri Sakura. Rencana membangun bisnis butik bersama temannya ada sedikit kendala. Proses perizinannya sangat lamban. Seluruh kantor pelayanan di Jepang tutup akibat wabah korona.

Pelayanan akan kembali dibuka 15 hari lagi. Nur harus mengurus perpanjangan visa kunjungannya ke Kantor Imigrasi setempat. Sebab visanya hanya berlaku 15 hari. Sementara dia butuh waktu tambahan 15 hari lagi. Maka genaplah sebulan penuh lelaki berkulit kuning langsat itu meninggalkan istrinya.

Senyum kemenangan mengembang di bibirku. Pikirku berkata, selama Nur di Jepang, permaisurinya adalah milikku. Seutuhnya milikku. Jiwa raga dan waktunya adalah milikku, Andra Anindita, maharaja yang menguasai singgasana hati Nona Zhafiratul Hilwah. Hilwah dalam Bahasa Arab berarti manis. Sama seperti senyumnya. Sangat manis.

"Tidak bisakah kita bertemu di luar sayang. Apa kata orang kalau aku main ke rumah perempuan bersuami yang sedang tinggal sendirian," kataku.

"Tidak apa-apa. Tetanggaku tidak pernah mengurus hidupku," katanya ketus.

"Aku tidak enak sayang. Bagaimana kalau ada orang melihatku main ke rumahmu. Lalu orang itu laporan pada Nur, pasti masalahnya akan runyam,"

"Ya sudah kita ketemu di tempat biasa. Mumpung anakku tidur siang. Tapi tidak bisa lama-lama takut mereka bangun,"

Persetujuan Zhafira terasa lebih dahsyat dari sekadar referendum kebebasan suatu bangsa. Hatiku yang berkecamuk terasa merdeka. Dinasti kerinduan yang beku akan segera runtuh diterjang serdadu permaisuri manis dari negeri cinta. Tak sabar aku menantikan tarian lentik lidahnya. Aku bergegas siap-siap berangkat ke tempat yang kami setujui dengan perasaan berbunga.

***********

Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit aku untuk merapikan penampilanku. Aku sudah siap berangkat bertemu sang pujaan hati. Rambut kutata rapi dengan bantuan pomade yang baru kubeli. Seluruh tubuhku dilumuri parfum merk Hind al-Aud. Parfum ternama dari Uni Emirate Arab (UEA) yang sering dipakai para pangeran saat mengahdiri acara kenegaraan. Parfum itu racikan Muhammad Hilal. Pengusaha sukses di UEA.

Bahan yang digunakan dalam racikan parfum itu adalah bahan-bahan istimewa seperti patchouli, bergamot, cyclamen, dan almond. Parfum yang disukai para pangeran itu mampu memikat hati setiap perempuan yang menciumnya. Parfum itu juga pernah mendapat penghargaan dari Dubai Economic Department.

Menggunakan parfum itu, aroma tubuhku persis aroma tubuh para pangeran pewaris tahta negeri terkaya di dunia itu. Zhafira sangat menyukai lelaki harum. Lidahnya akan bergerilia riang dileherku karena godaan aroma parfum bercampur keringatku. 

Dia mengaku sangat tergoda dengan aroma perpaduan parfum dan keringatku itu. Bagi dia, aroma itu sangat khas. Sangat menggairahkan. Jantungnya berdegup kencang saat mencium aroma itu.

Aku yakin, pertemuan ini akan meruntuhkan gunung es kerinduan yang menggumpal. Senyum terus tersungging di bibirku. Membayangkan betapa Zhafira akan kehilangan akal sehatnya. Membayangkan perempuan bermata belok itu akan melakukan hal gila yang tak bisa dijangkau nalar dan pikiran. Tak ingin menunda terlalu lama pertemuan itu, akupun berangkat.

Jalanan cukup lengang. Truk tronton bergendengan mesra menyusuri jalan dengan kecepatan pelan. Melihat adegan itu, hatiku kian berbunga. Tak sabar ingin segera bertemu kekasih hati, Zhafiratul Hilwah. Bidadari surga berwujud manusia.

Aku lebih dulu tiba di lokasi. Lima menit berselang, Mobil Pajero Sport warna putih tiba. Cukup lama pengemudinya tidak turun. Mungkin sedang memperbaiki lipstiknya. Atau sedang melumuri sekujur tubuhnya dengan parfum agar sama-sama harum. Ah, pikirku bergumam. Sementara botol parfum Hind al-Aud terus ku genggam sembari menunggu sang putri turun dari kencananya

Kaki putih bersih berbulu dibalut sepatu sport warna putih menginjak bumi. Disusul tubuh sensual dan senyum renyah dari perempuan berhijab itu. Tubuhnya sangat anggun dibalut kebaya putih sedikit pink. Kerudungnya menjuntai nyaris menyentuh tanah. Wajahnya teduh menenangkan. Auranya terpancar sangat menggairahkan.

"Assalamualaikum Ndra," sapanya dengan nada halus nan indah didengar.

"Waalaikumsalam Nona," jawabku.

Kami lalu berbincang ringan. Bibirku tak perlu dikomando saat berbagi cerita. Sementara dua bola mataku menggerayangi liar seluruh Zhafira. Rambut pirang sedikit keluar dari kerudungnya yang indah. 

Duh, pemandangan itu sungguh membuat hasratku bangkit. Rinduku kian membuncah. Tanpa banyak basabasi, langsung kupeluk erat tubuhnya. Jadilah tubuh kami menyatu dalam erat, dalam pikat, dalam nikmat.

Aku masih menikmati peluk erat itu. Menikmati diam yang dalam. Hanya detak jantung dan denyut nadi yang terdengar. Tiba-tiba HP milik Zhafira berdering. Memaksa peluk erat tubuh kami berpencar. Denting HP itu membuatku kecewa karena membuyarkan nikmat dalam peluk erat. Tapi aku mempersilahkan Zhafira mengangakat panggilan telponnya. Khawatir ada keperluan penting.

Mataku sempat melihat layar HP milik Zhafira. Panggilan dari Rocky. Nama yang tidak asing bagiku. Aku kenal dengan pria itu. Tapi baru tahu kalau kekasihku juga mengenalnya. Aku penasaran. Sejak kapan mereka saling kenal. Ada keperluan apa sampai menghubungi kekasihku yang larut dalam pelukan itu.

Yang tak kalah membuatku penasaran, sikap Zhafira setelah tahu ada panggilan dari Rocky. Raut wajahnya berubah. Bicaranya gelagapan. Salah tingkah seperti ada yang ditutupi dariku. Aku yakin ada yang ditutupi.

Keyakinanku semakin kuat setelah Zhafira meminta izin mengangkat telpon dari jarak jauh. Kalau tidak ada rahasia, mengapa harus menjauh saat menerima telpon dari Rocky. Aku berusaha mengendalikan rasa penasaranku. Mengizinkan Zhafira menjauh.

Dari kejauhan, tampak jelas bekali-kali Zhafira tersenyum. Sesekali bibir atasnya digigit oleh barisan gigi bawahnya. Aku tak tahu pasti apa yang dibicarakan. Volume suaranya sangat rendah. Seperti sengaja direndahkan agar percakapannya tidak terdengar. Penasaranku kian berontak. Marah mulai bersemi.

"Kenapa harus menjauh padahal aku kan kekasihnya. Harusnya tidak ada yang ditutupi dariku," gumamku kesal.

Hampir 15 menit mereka berbicara melalui sambungan telpon. Tidak ada tanda-tanda percakapan itu disudahi. Aku mendekat ke tempat Zhafira menelpon. Sadar aku datang, Zhafira langsung menutup teleponnya. Padahal aku tahu perbincangannya belum tuntas. Sikapnya semakin bikin aku penasaran. Dia gelagapan dan salah tingkah.

Telponnya kembali berdering. Zhafira membiarkan benda kecil itu melengking. Raut wajahnya semakin tegang. Aku yakin telpon itu dari Rocky.

"Kenapa dibiarkan, angkat saja teleponnya," desakku.

"Tidak usah. Tidak penting,"

"Angkat saja. Kasihan itu telpon bunyi terus,"

"Ah, tidak usah,"

"Ya sudah sini HPnya. Biar aku yang angkat,"

"Jangan. Tidak usah. Sudah kubilang, tidak penting,"

"Tadi kamu ngobrol dengan dia lama. Sambil senyum-senyum. Sekarang bilang tidak penting. Angkat !!!," kataku dengan sedikit bernada tinggi.

Zhafira tetap kukuh tidak mau mengangkat telpon. Alasannya tidak penting. Sementara HPnya terus melengking. Jadilah cekcok mulut antara aku dan perempuan yang mengenakan baju putih itu. Aku tersulut emosi. Aku berusaha merebut telepon genggam yang berdering itu.

Sementara pemiliknya tidak mengizinkan. Terjadilah adegan tarik menarik. Bahkan rasanya ingin ku tampar wajah perempuan ayu itu saat bilang urusan telpon bukan urusanku. Harusnya aku tidak ikut campur.

"Plak!!" HP dibalut silikon warna merah maroon itu jatuh. Segeralah tanganku memungut lalu mengangkat telpon yang sudah lima kali tidak terjawab itu. Dengan sigap aku pencet tomblol pengeras suara.

"Sayang kok langsung dimatiin. Aku telpon berkali-kali gak diangkat-angkat. Ada apa?"

Kalimat "sayang" yang diucapkan lelaki dibalik telpon itu membuatku tersentak. Kaget bukan kepalang. Rasa tak percaya muncul. Akal warasku mengatakan tidak mungkin perempuan terhormat seperti Zhafira menjalin hubungan dengan Rocky pemuda berandalan tak tahu etika itu.

Apalagi, Zhafira telah menjalin hubungan denganku. Dia tidak mungkin mengkhianati cintanya yang begitu besar padaku. Pikiran sepintas membantah kekasihku berlaku serong. Tapi kenyataan berkata lain. Lelaki pemabuk dan suka main perempuan itu mengawali kalimat tanya dengan kata sayang. Berarti mereka berdua ada hubungan spesial.

Aku terdiam mematung. Zhafira menundukkan kepala. Wajahnya datar seolah tidak ada sesal. Sesekali dia menggerakkan mulutnya seolah menantang. Ingin sekali kugampar muka nyolot perempuan berkacamata itu.

"Apa ini maksudnya? Kenapa Rocky panggil kamu sayang. Ayo jelaskan!!" kataku dengan nada tinggi.

"Tidak perlu ada yang dijelaskan. Semua yang kamu dengar itu benar. Aku sekarang menjalin hubungan dengan Rocky. Memangnya kenapa? Apa ada masalah?," katanya dengan muka judes.

"Rocky adalah lelaki baik. Dia sangat baik padaku. Setiap aku butuh bantuan dia selalu ada. Bahkan jam berapapun aku butuh makanan, dia siap antar tanpa meminta bayaran. Dia sangat baik. Rocky sangat baik,"

"Dia tidak seperti kamu. Menghubungiku saat butuh. Sementara saat aku butuh kamu tidak pernah ada. Aku dituntut selalu ada saat kamu rindu. Tubuhku harus selalu siap melayani nafsumu. Kamu bebas menjamah tubuhku kapan saja. Sementara aku tidak dapat apa-apa,"

Kata demi kata yang keluar dari mulut Zhafira seperti sembilu yang berkali-kali menyayat kalbu. Penjelasannya seperti petir yang membuat seluruh syarafku tersengat. Amarahku tak tertahan. Aku berteriak lalu melempar botol parfum Hind al-Aud yang sedari tadi ku genggam erat.

Lemparan keras itu mengenai kaca besar di ruangan tempat kami bertemu. Zhafira hanya diam. Dia seperti menikmati kondisiku yang sekarat akibat khianat yang dilakukan. Perempuan itu tidak peduli. Kedua tangannya sibuk main HP. Ruangan seketika hening. Lama kemudian, mulutnya berujar.

"Maaf aku telah mengkhianatimu,".

Dia meminta maaf tapi mukanya datar persis seperti orang tak berdosa. Kedua tangannya masih sibuk main HP. Sesekali dia terseyum pada HPnya. Bahkan kadang tertawa kecil. Dia asyik dengan HP di tangannya. Tidak peduli kondisiku yang belum bisa menerima kenyataan.

"Kenapa kamu lakukan ini disaat sepenuh cintaku kuserahkan padamu. Kenapa kau khianati aku. Apa salahku. Kamu jahat," gumamku.

"Iya aku jahat. Aku minta maaf," selorohnya.

"Harusnya kamu menghargaiku. Jika aku tidak layak dihargai, minimal kamu hargai perasaanku. Jika perasaanku juga tidak layak dihargai, minimal kamu menghargai bahwa aku pernah ada di hatimu,"

"Luka atas penolakanmu waktu itu belum sembuh, kini kau sayat kembali pakai sembilu. Sungguh perih. Sungguh sakit. Kamu jahat Ra... Kamu jahat, kamu jahat, kamu jahaaaaat," aku berteriak.

Perlahan memoriku memutar kembali kenangan bersama Zhafiratul Hilwah yang biasa aku paling Nona Rara Hilwah, atau Rara Manis. Panggilan Nona kusematkan sebagai panggilan sayang sebagai wujud aku sangat menghargainya. Setiap sudut jalan yang pernah kami lalui tiba-tiba terputar dalam memori.

Beberapa angan yang belum terpenuhi tayang dalam bioskop besar ingatanku. Senyumnya yang manis. Manjanya. Raut wajahnya saat merajuk. Matanya, hidungnya, bibirnya, dadanya dan semua lekuk tubuhnya satu persatu hadir dalam ingatan.

"Lupakan semua tentang aku. Lupakan semua tentang kita. Semua sudah berakhir. Rasaku telah mati. Kini bersemi di hati Rocky. Lelaki yang sangat baik padaku. Lelaki yang siap kapanpun membantuku saat aku butuh," katanya.

"Selamat tinggal," katanya.

Sebelum pergi, Zhafira meludahi mukaku yang basah akibat kucuran air mata. Rara lalu beranjak menuju mobil Pajero Sport miliknya. Bunyi knalpot itu perlahan menjauh dari pendengaran. Tambah jauh, semakin jauh sampai sama sekali tidak terdengar.

Sementara aku masih tergeletak. Seluruh energi di tubuhku terasa dilucuti. Dadaku semakin sesak. Kepala pusing. Penglihatan buram terhalang air mata yang mengalir bak mata air.

Botol parfum Hind al-Aud yang kulempar pecah. Isinya muncrat mengenai beberapa benda di ruangan. Sayangnya, aroma berkelas parfum para pangeran itu tidak tercium sedikitpun.

Sebab, di ruangan itu ada bangkai lelaki yang tergeletak tak berdaya ketika mengetahui kekasihnya tak lagi setia. Di ruangan itu ada sampah berwujud raga lelaki yang belum percaya bahwa kekasihnya telah berkhianat. Lelaki itu terkulai seperti comberan menjijikkan. Sementara sang permaisuri sudah pergi jauh bersama dambaan hatinya yang baru.