Saat ini kita hidup di era pasca kebenaran, di mana pertimbangan rasional dikalahkan oleh keyakinan yang sifatnya emosional. Kebenaran bukan lagi berdasarkan fakta yang terverifikasi. Suatu informasi dipercaya sebagai kebenaran karena mendukung apa yang menjadi keyakinan individu.
Era ini ditandai oleh penyebaran masif informasi-informasi menyesatkan atau hoax. Informasi-informasi ini mampu membentuk opini publik yang menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi.
Persoalan hoax menjadi perhatian banyak pihak, terutama dalam mencari solusi pemecahannya. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah, akademisi, LSM, maupun organisasi agama adalah literasi digital.
Sudah banyak praktik literasi digital yang dilakukan, pertanyaannya, “sudah efektifkah literasi digital dalam mengatasi persoalan hoax?”
Potret “Kritis” Netizen Indonesia
Mari kita lihat hasil survey Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) tahun 2017. Menurut survey, sebagian besar responden menerima hoax setiap hari (44.30% responden menerima satu kali sehari dan 17.20% menerima dua kali).
Data tersebut mengindikasikan bahwa hoax memang menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari. Yang menarik adalah perilaku responden saat menerima berita heboh yang berpotensi sebagai hoax. 83.20% responden ternyata mengaku telah melakukan pengecekan kebenarannya terlebih dahulu.
Mereka melakukan beberapa metode untuk memeriksa kebenarannya. Sebanyak 83% memeriksanya melalui internet, 48.60% menanyakannya kepada orang yang dianggap tahu, 22.30% mengeceknya melalui media massa, dan 36.80% melalui media sosial. Upaya memeriksa informasi juga dirasa cukup mudah oleh 53.50% responden.
Survey Mastel menunjukkan hal yang mengembirakan. Netizen Indonesia ternyata cukup cerdas dalam melakukan self-checking terhadap informasi yang diterima. Mereka telah terliterasi dan kritis atas validitas informasi yang tersebar melalui media digital.
Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan distribusi hoax yang kian masif hingga saat ini. Menjadi pertanyaan besar, jika netizen telah terliterasi dengan baik, kenapa hoax masih merajalela?
Bagaimana Materi Literasi Digital?
Mengutip Douglas Kellner (2007), literasi merupakan upaya memperoleh pengetahuan dan keahlian dalam membaca, menginterpretasi, memproduksi teks dan artefak, juga mendapatkan perangkat dan kapasitas intelektual sehingga mampu berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan kultural dan masyarakatnya.
Kegiatan literasi adalah upaya yang menyasar kognisi individu yang menjadi target. Literasi digital merupakan sarana untuk melatih kognisi pengguna media digital sehingga dapat memanfaatkan perangkat tersebut secara tepat guna, dan bermanfaat bagi diri dan kehidupan sosialnya.
Lalu, apa saja materi yang disampaikan oleh para pegiat literasi digital dalam mengatasi persoalan penyebaran hoax? Dalam buku Bijak Bermedsos (2017), edukasi dimulai dari penjelasan apa itu hoax, bagaimana mengenalinya, hingga cara praktis menghindarinya.
Ada 8 cara yang direkomendasikan: (1) Bacalah berita hanya dari sumber yang layak dipercaya dan kredibel, (2) Baca dulu isi beritanya, baru share ke media sosial, (3) Lihat alamat situs. Bila mendapatkan informasi hoax, perhatikan nama media yang membuat berita sekaligus alamat situs. (4) Cek fakta. Perhatikan narasumber yang dicantumkan dalam berita tersebut, apakah berasal dari sumber resmi atau yang memiliki kredibilitas, (5) Jangan menelan mentah-mentah informasi yang ditemukan di internet, lakukan cross check dengan membaca informasi serupa dari situs lain, (6) Jangan percaya mitos, (7) Jangan mudah terprovokasi, (8) Selalu ingat, tidak semua yang dibaca di internet dan media sosial adalah benar.
Contoh lainnya adalah Tips Anti Hoaks yang merupakan 10 tahapan literasi digital dari Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital): (1) Kuasai cara akses informasi media digital, (2) Seleksi informasi, pastikan sumber terpercaya, (3) Pahami informasi, terbuka atas informasi lain, bertanyalah pada ahlinya, (4) Analisis informasi, perhatikan konteks sosial yang relevan, (5) Verifikasi informasi, lihat informasi lain dari sumber yang berbeda, (6) Evaluasi informasi secara kritis, (7) Hanya bagikan informasi jika akurat dan bermanfaat, (8) Produksi sendiri informasi yang akurat dan bermanfaat, (9) Berpartisipasi ajak orang lain berpikir sebelum berbagi informasi, (10) Berkolaborasi dengan orang lain untuk melawan hoax.
Berdasarkan panduan tersebut, literasi digital tentang hoax berkutat seputar perlunya self-checking saat menerima informasi. Namun bukankah para netizen sudah melakukannya?
Penyebar Hoax adalah Masyarakat Literate
Berdasarkan riset dan pengamatan penulis pada penyebaran informasi menyesatkan di media sosial, pihak-pihak penyebar hoax justru berasal kelompok-kelompok yang sudah literate.
Misalnya, seorang profesor meneruskan informasi via Whatsapp bahwa merek GAP asal Canada adalah produk pro LGBT hanya karena GAP dianggap kepanjangan dari Gay And Proud.
Ada lagi, seorang birokrat membagikan meme yang merespon pidato Jokowi saat mengutip slogan Winter Is Coming dari Serial Game of Thrones. Meme tersebut isinya kurang lebih menganggap bahwa pidato Jokowi merujuk pada film porno dengan menampakkan secuil adegan ‘pemanis’ pada serial tersebut.
Para penerus informasi menyesatkan atau co-conspirator-meminjam istilah Gunawan dan Ratminto (2018)-adalah orang-orang yang notabene literate. Apakah orang-orang seperti itu akan efektif jika diedukasi soal self-checking?
Evaluasi perlu dilakukan untuk melihat efektivitas literasi digital. Sementara itu, ijinkan saya urun rembug dengan menggarisbawahi beberapa hal.
Pembenahan Materi Literasi Digital
Menurut penulis, materi literasi digital mungkin efektif bagi kalangan tertentu, tapi belum tentu cocok untuk kalangan lainnya. Sesungguhnya Kellner telah mengingatkan perlunya kegiatan literasi yang disesuaikan dengan permasalahan masing-masing komunitas.
Permasalahan digital bagi anak-anak, remaja dan mahasiswa pasti berbeda dengan yang dialami ibu-ibu, dan dirasakan kalangan berpendidikan tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan kontekstual berdasarkan problem masing-masing target literasi.
Banyak riset yang dilakukan ahli media dan komunikasi tentang hoax sebagai problem global. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbelakangi seseorang meyakini hoax sebagai fakta, sehingga ia turut berpartisipasi menyebarkannya.
Pertama, efek algoritma internet yang menyebabkan pengguna berada dalam filter bubble, atau gelembung yang mengisolasinya dari hal-hal di luar kepentingannya.
Mungkin penerima informasi palsu sudah mengeceknya di internet, namun algoritma internet justru menggiringnya untuk mempercayai informasi tersebut sebagai kebenaran.
Kedua, mengacu teori disonansi kognitif bahwa seseorang cenderung ingin mendengar hal yang sudah dipercaya sebelumnya. Akibatnya, ia akan memverifikasi berita heboh pada orang-orang yang ia tahu akan mendukung keyakinannya.
Ketiga, ketidakpercayaan masyarakat atas informasi yang dipublikasikan media-media mainstream. Netizen sejatinya sudah paham bahwa media mainstream seringkali bias dalam menyampaikan fakta, sehingga mereka lebih mempercayai informasi alternatif.
Para pegiat literasi digital perlu mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam kegiatan literasi yang dilakukan. Pemahaman tentang logika algoritma internet menjadi pengetahuan yang sebaiknya disampaikan kepada netizen, termasuk bagaimana menyikapinya.
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan kebutuhan edukasi di tataran afeksi. Jangan lupa, era pasca kebenaran menjadikan hal-hal yang emosional mengalahkan nalar-nalar rasional.
Jadi, edukasi tidak cukup di tataran pengetahuan, tapi juga soal mengolah emosi saat menginterpretasi berita-berita yang terindikasi menyesatkan.