“…. jauhi orang-orang yang mencoba meremehkan ambisi Anda, sementara orang-orang hebat membuat Anda merasa bahwa Anda bisa menjadi salah satu dari mereka.” (Ibrahim Al Fiqi)
Illiyyin dan Beni, dua siswa SMA yang sudah lama berteman, berbincang-bincang asik terkait cita-cita.
Illiyyin bilang, “Aku ingin jadi pengusaha.”
“Susah lho dadi pengusaha,” timpal Beni.
“Pokonya aku ingin jadi pengusaha, titik,” tegas Illiyyin.
“Aku masih bingung mau mengambil kedokteran atau informatika,” sambung Beni.
Beni yang masih galau akan pilihannya bukannya mendukung karibnya, tetapi dia justru melakukan penggembosan. Illiyyin nampak teguh atas keputusannya dan berusaha untuk tidak tergoda oleh Beni. Mereka, sahabat lama dengan pandangan yang berbeda. Entah lingkungan mana yang telah menempa mereka terkait pilihan cita-citanya.
“Lingkungan”, satu kata yang begitu familiar bagi setiap orang dan sering bersingguhan dengan kehidupan (hidup), bahkan sering keduanya disandingkan sebagai “lingkungan hidup”.
J. McNAughton dan Larry L. Wolf menjelaskan bahwa pengertian lingkungan hidup adalah semua faktor eksternal. Faktor yang dimaksud adalah baik yang bersifat fisika atau bersifat biologis. Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh langsung kepada kehidupan. Seperti pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas-aktivitas reproduksi.
Pola pikir anak akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan semakin banyaknya informasi yang mereka terima. Mereka akan membaca atau mendapat "input" dari lingkungan di mana mereka tengah tumbuh berkembang.
Dengan panca indranya (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba) mereka membaca dan mengenali berbagai hal yang disajikan oleh lingkungan.
Taman bacaan yang luas, lengkap dan spektakuler karya semesta dihamparkan oleh "lingkungan". Di sinilah berbagai data akan masuk pada diri anak-anak.
Lebih lanjut data-data tersebut akan digodok (diolah) oleh pikiran (pikir), kemauan (sir) dan daya ciptanya (cipto) yang menghasilkan berbagai informasi dan kesimpulan yang akan membentuk pola pikir dan kepribadian anak sang “murid kehidupan”.
Foto seyum keluarga Kalam, bagian dari belajar kehidupan
Secara umum anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan; keluarga, teman bermain, sekolah dan lebih luas lagi lingkungan dunia maya. Lingkungan manakah yang lebih dominan berpengaruh pada pola pikir dan kepribadian anak-anak?
Orang tua, pihak yang paling berkepentingan terhadap pertumbuhan anak. Sebagai guru yang paling utama (madrasatul ula), orang tua sangatlah menentukan arah pembentukan kepribadian anak. Adalah tugas besarnya memberi dan memilihkan lingkungan positif sebagai fondasi dasar pertumbuhan fisik dan psikis anak-anak.
Terlebih lagi di jaman globalisasi yang seakan tidak ada sekat. Digenggamannya berbagai informasi dapat diakses. Adalah begitu berisiko melepas anak pada lingkungan yang lebih luas tanpa bekal yang memadai.
Foto tertawa riang Astra (Asrama Putra) Salman - Bandung
Teman bermain, tidak kalah penting. Mereka bisa begitu saling terbuka, bahkan bisa melebihi dari sesama keluarga. Terkait berteman, Ibrahim Al Fiqi menganjurkan, “Jauhi orang-orang yang mencoba meremehkan ambisi Anda, orang-orang hebat membuat Anda merasa bahwa Anda bisa menjadi salah satu dari mereka.”
Selain faktor eksternal (lingkungan), perkembangan pola pikir anak tentu dipengaruhi juga oleh faktor internal (diri pribadi). Mana faktor yang lebih dominan berpengaruh, “eksternal atau internal”? Hal ini masih sering menjadi bahasan atau bahkan perdebatan hangat bagi pemerhati perkembangan dan pertumbuhan anak.
Menurut hemat saya, "Lingkungan yang paling berkesan mendalam sampai ke alam bawah sadar akan berpotensi besar membentuk pola pikir dan kepribadian anak."
Di masyarakat terdapat berbagai dinasti; politik, pengusaha, dokter dan lain-lain. Ada dinasti yang semakin popular, ada pula yang mulai memudar. Jika generasi penerusnya bahagia, mereka tertarik meneruskannya. Apabila tersiksa, mereka akan mencari dinasti baru atau jika cukup berjiwa petualang bisa jadi akan membuat dinasti baru.
Secara umum, “Kita akan cenderung seperti atau bahkan antipati terhadap lingkungan di mana kita tumbuh kembang.”
Terkait pilihan bidang minat sekolah, saya mempunyai pengalaman merasa tertantang dengan ilmu kimia. Di mana saat SD, saya mendapati pelajar SMA merasa kesulitan pelajaran kimia.
Saya tanya,"Sulit mana kimia atau matematika?"
"Demitan kimia," jawab siswa SMA.
Kejadian ini hanya sesaat (secara kuantitas) tetapi begitu membekas (secara kualitas) hingga membuat begitu penasaran dengan yang namanya “kimia”. Jadi sejak SD, saya sudah berhasrat kuat pada pelajaran SMA (kimia), yang akhirnya mengarahkan masuk SMA hingga kuliah di jurusan kimia.
Dalam hal ini, menurut saya faktor internal lebih berbicara dibanding kejadian eksternalnya. Sekalipun peristiwanya tidak menyenangkan, tetapi saya memberikan respon atau arti yang positif.
Suatu ketika ada teman SMA bertamu, dari obrolan ternyata dia resign (keluar) dari karyawan pabrik yang sudah dijalani puluhan tahun. Yang mengagetkan, sudah diputuskan resign tetapi belum ada rencana kerja selanjutnya. Dari diskusi singkat dia inginnya mandiri, sudah jenuh kerja ikut orang di pabrik. Akhirnya saya bantu membuat pilihan plan A, B dan C.
Plan A, ingin buka rumah makan karena istrinya mempunyai keahlian memasak dan masakannya disukai banyak orang.
Plan B, membuka laundry. Ada kenalan yang usaha laundry cukup sukses siap jadi mentor.
Plan C, sebagai opsi ke-3 balik kucing kembali lagi kerja di pabrik.
Selanjutnya dia akan membicarakan dengan istrinya terkait rencana tersebut. Ternyata istrinya menolak buka rumah makan dan menyetujui usaha laundry, dengan alasan jualan makanan masak terlalu berisiko.
Setelah saya telusuri ternyata mertuanya punya rumah makan dan sepertinya si istri kurang happy dengan kegiatan orang tuanya tersebut. Demikianlah lingkungan akan berpengaruh pada pemikiran dan kenyakinan orang-orang di sekitarnya.
Satu kisah yang sangat popular antara Nabi Musa AS dan Musa Samiri. Dua bayi Musa hidup di lingkungan yang berbeda, Musa AS hidup di kerajaan Fir’aun yang mengaku Tuhan. Sementara Samiri ditinggal sendirian di gua dengan malaikat Jibril AS sebagai pengasuhnya.
Musa AS menjadi seorang Utusan Allah yang diperintahkan untuk mengajak Fir’aun ke agama Tauhid. Sementara Samiri menjadi bagian dari pengikut Nabi Musa AS yang berhasil selamat dari kerjaran Fir’aun, yang pada akhirnya justru menyesatkan Bani Israil untuk menyembah patung anak sapi.
Buat umat manusia tidak ada hukum yang berlaku mutlak, jika sudah memberi dan memilihkan lingkungan yang baik pada anak, lantas pasti membentuk pola pikir dan kepribadian yang baik. Bisa ya, bisa juga tidak. Tugas orang tua berikhtiar memberikan suasana dan lingkungan yang terbaik, selebihnya berserah diri kepada yang Maha Kuasa.
Adalah tugas mulia “guru kehidupan” menggelar lautan bacaan. Membaca, merenungi, memahami dan menyimpulkan sampai pada sari pati ilmu adalah kewajiban para murid kehidupan.
Ingat dibalik ikhtiar, ada tangan Yang Maha Berkendak yang selalu terlibat dalam hamparan semesta ayat-ayat (tanda-tanda) kehidupan.
Selamat belajar sang murid kehidupan.