Permainan batu, gunting, dan kertas diam-diam menyimpan filosofi tersendiri. Hompimpa ala Jepang ini memberi gambaran bahwa ada beberapa tipe kepribadian manusia diwakili oleh sifat batu, gunting, dan kertas.

Manusia bertipe batu yang cenderung dimaknai keras kepala dan cepat marah tidak dapat dilawan dengan batu atau gunting yang sama-sama keras. Batu hanya bisa diluluhkan dengan benda yang lembut seperti kertas.

Orang yang bertipe kepribadian batu dapat dilunakkan dengan satu dekapan atau rangkulan lembut yang sifatnya diwakili oleh kertas. Ibaratnya aku batu, maka Rama adalah kertasnya.

Rima, Rama, dan Ramba, ‘Trilogi R’ orang menyebut kami. Kata orang, kami tiga entitas yang saling bertaut dan bergantung. Sulit dipisahkan.

Di antara kami bertiga, Rama yang paling klasik sekaligus unik. Pria retro aku menjulukinya. 

Bagaimana tidak, saat yang lain mengakses berbagai informasi dari gawai, dia yang paling hobi beli dan baca koran. Saat aku dan Ramba lebih banyak menulis catatan di tools gawai kami, dia yang masih setia mencatat semua hal penting di atas helai kertas catatannya.

Aku pernah bertanya, mengapa Rama lebih suka gaya sekonvensional itu padahal teknologi menawarkan kemudahan?

"Kamu belum mengerti asyiknya mencumbu aroma khas kertas yang mengusik imajimu tanpa batas," jawabnya dengan santai.

Aku juga pernah bertanya, mengapa dia lebih suka menuangkan tinta di helaian kertas putih padahal bisa memilih jalan yang praktis dan cepat dengan mengetik di gawai atau laptop?

Ia jawab dengan sekenanya, "Mungkin kalian bisa mengetik dengan cepat, tetapi boleh diadu ingatan siapa yang paling kuat."

Rama yang paling rajin mengarsipkan berbagai hal yang berhubungan dengan kertas, entah apa alasannya. Saat itu dia bilang, “Jangan buang kertas tak berdosamu. Bisa jadi itulah kenangan terakhir yang menghubungkan antara engkau dan orang yang kau sayangi.”

Ah, dia lelaki langka, yang mungkin hanya lahir dalam lima abad sekali.

***

Rama tak seperti lelaki pada umumnya, yang hanya mencintai wanita dari fisik saja. Dia bukan lelaki visual. Malah, menurutnya, setiap wanita itu cantik dengan daya pikatnya masing-masing.

Ada yang memesona karena parasnya. Ada yang anggun dengan kecerdasannya. Ada yang elok dengan sederetan prestasinya. Ada juga yang memikat karena kebaikan dan kecantikan hatinya. Kadang dua hal ini sering terlewat, padahal ia kunci bagi lelaki untuk lama menetap.

“Cantik itu mahaluas spektrumnya. Kaum Hawa-lah yang mengotak-ngotakkannya. Mana mungkin kecantikan itu terwakili oleh kata kurus, langsing, putih, dan tinggi? Bukan itu esensinya, kisah Rama.

Baca Juga: Pengantin Kertas

"Wanita rela diet ketat, padahal lebih penting bertubuh sehat. Getol berolahraga, tetapi lupa dengan asupan nutrisi yang harus ikut dijaga,” tambahnya sembari menarik nafas panjang.

“Hobi bergaya miring ke kiri dan ke kanan, agar terlihat molek di depan kamera. Berbangga dengan semua filternya, tak sadar cantik mereka untuk siapa sebenarnya? Bagi para likers-kah atau pasangan yang memberi nafkah sepenuh jiwa? Ah, heran!” Nada bicaranya mulai kesal.

Begitulah Rama, lelaki irit kata, tetapi seketika boros menuai semua buah pikirannya dalam helaian kertas. 

Berbeda dengan Ramba tentunya. Dia lelaki visual, banyak juga bicaranya. Ramba seperti gunting. Ucapannya kadang ‘memotong dan memecah’ sesuatu yang utuh. Aku sering sekali beradu urat leher dengannya. Mungkin karena watak kami yang sama-sama keras.

Nah, lucunya, dua lelaki ini akur. Apa pun yang diucapkan Ramba, dengan seksama didengarkan Rama. Kata Rama, kepribadiannya justru terbentuk oleh berbagai tindakan yang dilakukan Ramba.

Padahal mereka adalah dua kepribadian yang berbeda. Ramba lelaki ekstrovert, agresif, dan egois, sementara Rama lelaki introvert, penyabar, dan bijaksana.

Mereka berdua telah berteman lama, tentu sebelum aku masuk dalam hidup mereka. Biar bagaimanapun buruknya aku menilai Ramba, dalam sudut pandang Rama, Ramba adalah teman yang baik dan setia.

***

Kini lelaki kertas itu pergi. Sang pemilik senyum minimalis itu telah menghadap ke bawah duli Tuhan untuk selamanya. Ah, apakah setiap perpisahan selalu saja membawa luka?

Banyak para petakziah yang juga tak percaya bahwa Rama telah meninggal. Semua orang berkabung. Langit sore pun mendung, seakan ikut berbela sungkawa.

Aku tak ingin berlama-lama di sini. Aku berpamitan, sekuat mungkin tak meneteskan air mata di hadapan keluarga Rama. Berat, iya. Tetapi siapa yang bisa mencegah takdir yang kuasa?

Sebelum pulang dari rumah duka, Bhoomi, adiknya Rama, memberikan sesuatu padaku. “Mas Rama nitip ini ke saya, Mbak. Katanya, buat mbak. Tolong diterima, ya, Mbak.” Aku mengangguk pelan, tersenyum, dan bergegas pergi dengan air mata yang tertahan.

***

Aku buka pemberian Bhoomi di kamarku. Aku terbelalak, tak percaya bahwa Rama memberikan buku catatannya. Buku rahasia yang siapa pun tak boleh membacanya. Bahkan kepada Ramba saja, tak ia izinkan menyentuhnya.

Aku mulai buka halaman demi halaman dalam catatan itu. Sesekali tersenyum, kadang tertawa, lalu semua bulir hangat di sudut mataku tumpah seketika di halaman terakhirnya.

Baca Juga: Lelaki Kardus

Hai, gadis kepala batu! Senang bertemu denganmu lagi di catatan terakhir ini.

Genap delapan tahun sudah aku diam-diam mencintaimu. Aku tida tahu apakah setiap detik dalam detak kebersamaan kita dapat disebut cinta?

Jika iya, kumohon bersabarlah sebentar lagi. Andai menggenggam tangan wanita bukanlah sebuah dosa, aku ingin menggenggam tanganmu yang lembut dengan balutan wudu itu. Membayangkan, akankah seniscaya itu menggenggam masa depan?

Aku ingin sembuh, untuk melanjutkan kisah dalam lembaran kertas ini. Kelak, kita akan isi semua halaman dengan kisah kita berdua, meski tak akan mungkin. Tetapi mungkin bila kau isi dengan nama orang lain, selain aku. 

Kau tahu, Ramba sangat mencintaimu, lebih besar dariku. Aku tidak berbohong. Sebab hatiku kerap hancur saat dia justru memujimu di hadapanku, dan meminta amin-ku untuk kalian.

Aku tidak pernah ikhlas. Tetapi hari ini, aku rida, ikhlas bila kau dengannya atau dengan siapa pun. Kau berhak bahagia. Jangan bodoh dengan mencintai lelaki tak bernyali sepertiku. Berbahagialah, aku akan ikut bahagia.

Aku rengkuh buku catatan Rama dalam dekapanku, air mata tak ingin berhenti menetes. Hari ini tepat tiga hari kematian Rama. Leukimia yang merenggut nyawanya.

Ya, aku mungkin tak pernah lagi bisa menjawab dan membalas cinta Rama. Laki-laki yang juga delapan tahun belakangan ini kucintai dalam diam. Tapi untuknya, cinta tak pernah usai, tak hendak padam.

Malam kian larut, sementara aku masih hanyut dalam dunia Rama, dalam catatannya. Aku ingin terus bercengkrama, memeluk erat semua liku dan luka hidupnya yang ia sembunyikan dari dunia, di balik semua kertas putih miliknya.