Lelucon terkenal Gusdur terkait tiga entitas kepolisian paling jujur di Indonesia yakni polisi tidur, patung polisi dan Jenderal Hoegeng Iman Santoso punya konteks sejarah penting dalam dinamika sejarah Kepolisian Republik Indonesia. Kisah kejujuran dan integritas Hoegeng yang melegenda mulai terdengar ketika ia sukses memberantas cukong-cukong perjudian di Sumatera Utara.

Saat menjabat sebagai kapolri dari tahun 1968 hingga 1971 reputasi Jenderal Hoegeng sebagai polisi yang jujur dan berintegritas tidak tergoyahkan meski harus berhadapan dengan budaya politik dan lingkungan birokrasi yang korup. Kejujuran dan integritas yang pada akhirnya membuat ia harus pensiun dini pada usia 49 tahun.

Hoegeng Iman Santoso, lahir di Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921. Setamat dari Mulo atau setingkat SMP di Pekalongan Hoegeng hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan AMS atau SMA dengan penjurusan Sastra Barat. Hoegeng yang masih berdarah ningrat berasal dari keluarga Amtenar, ayah Hoegeng bernama Soekaryo Hatmojo merupakan seorang jaksa di Pekalongan.

Latar belakang keluarga ini dikemudian hari mempertemukan Hoegeng dengan kerabat ayahnya Ating Nata Dikusuma Kepala Jawatan Kepolisian Keresidenan Pekalongan. Dari sosok Ating Nata Dikusuma inilah Hoegeng terinspirasi untuk menjadi perwira polisi dan memilih melanjutkan kuliah di RHS (Rechtshoogeschool te Batavia) Sekolah Tinggi Hukum Batavia sebagai dasar untuk melanjutkan ke Sekolah Komisaris di Sukabumi.

Setamat dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian angkatan pertama tahun 1952, Hoegeng langsung ditempatkan di Polda Jawa Timur sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara atau kini dikenal sebagai Intelkam Polri. Empat tahun berselang pada tahun 1956 Hoegeng diangkat sebagai Kepala Bagian Researchcriminil Sumatera Utara.

Penugasan Hoegeng yang di wilayah yang dikuasai oleh wilayah korupsi, penyelundupan dan perjudian inilah titik awal kisah kejujuran dan Integritas Hoegeng yang melegenda dimulai. Di hari pertama menginjakkan kaki di Kota Medan, Hoegeng langsung menolak mentah-mentah gratifikasi mobil dan rumah mewah lengkap dengan berbagai perabotnya yang disuguhkan para mafia untuk menyambutnya.

Hoegeng yang geram dengan upaya suap ini memilih tinggal di hotel dan tidak sudi sedikitpun menyentuh barang-barang pemberian para mafia. Pada tahun 1960 Hoegeng ditarik ke Jakarta dan dipercaya mengemban berbagai tugas negara, salah satunya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi.

Selama menjabat sebagai Kepala Imigrasi Hoegeng murni hanya menerima gaji dari kepolisian, untuk menambah penghasilan sang istri Marry sempat berinisiatif membuka toko bunga di garasi rumah. Namun sehari sebelum pengangkatan sebagai Kepala Imigrasi Hoegeng menutup usaha kembang istrinya karena khawatir sejumlah koleganya di imigrasi akan memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu.  

Beberapa bulan sebelum pecah peristiwa G-30S tahun 1965 Hoegeng diusulkan Sultan Hamengku Buono ke-IX menjadi Menteri Iuran Negara atau saat ini dikenal dengan Menteri Keuangan dalam kabinet seratus menteri Presiden Soekarno. Pada tahun 1966 Hoegeng akhirnya kembali ke kepolisian, ia diangkat sebagai Deputi Operasi dibawah komando Jenderal Sucipto Yododiharjo.

Kecemerlangan karir Hoegeng terutama kesuksesannya dalam menangani kejahatan konvensional semasa menjadi Kepala Reskrim Sumatera Utara membuat Presiden Soeharto tak ragu mengangkatnya sebagai Panglima Angkatan Kepolisian atau Kapolri pada 1968. Tak lama setelah diangkat sebagai Pancak atau Kapolri, Hoegeng melakukan pembaruan struktur organisasi di tubuh kepolisian.

Istilah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia atau AKRI diubah menjadi Kepolisian Republik Indonesia atau POLRI melalui Kepres No. 52 tahun 1969. Selain itu istilah Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia turut diubah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau KAPOLRI melalui perubahan ini Polri sepenuhnya berdiri sendiri dan bisa menjalankan fungsinya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat tanpa intervensi dari Angkatan Bersenjata.

Keibjakan lain dari periode kepemimpinan Hoegeng di Polri yang hingga kini terus diterapkan adalah penggunaan helm bagi pengguna sepeda motor, berbekal kebiasaannya turun ke lapangan dan melihat realitas tingginya angka kematian akibat kecelakaan sepeda motor Hoegeng terilhami untuk mencetuskan kebijakan ini.

Kebijakan mewajibkan pemakaian helm bagi pengguna sepeda motor ini sempat menuai kontroversi, sebagian masyarakat menuding Hoegeng hendak mengintervensi hak dan wewenang DPR. Sebagai pemimpin tertinggi kepolisian sosok Hoegeng kala itu dinilai sejumlah kalangan mampu mempresentasikan seorang polisi sipil yang dekat dengan masyarakat.

Selain terbuka dengan pers keaktifan Hoegeng bermain musik bersama grub The Hawaiion Seniors sempat membuatnya dijuluki The Singing Jenderal dengan menyanyi sembari menggunakan seragam polisi lengkap Jenderal Hoegeng berhasil menghapus kesan sangar yang biasa melekat pada aparat kepolisan.

Selama menjabat Kapolri, integritas sosok Hoegeng terus diuji melalui beberapa kasus yang ia tangani. Sosoknya yang dikenal tak mempan disogok seolah menjadi antithesis dari rezim kepemimpinan presiden Soeharto saat itu. Salah satu kasus yang ditangani Hoegeng adalah penyelundupan mobil mewah oleh Robi Cahyadi, Hoegeng menemukan kejanggalan ketika timnya menggerebek aksi penyeludupan mobil mewah Robi di pelabuhan Tanjung Priok.

Robi dan kakak sulungnya Sigit Wahyudi digelandang polisi ke Komdak VII Jakarta Raya berikut delapan Mecedes seludupannya namun hanya beberapa jam mendekam di sel atas intervensi dari orang kuat keduanya langsung bisa menghirup udara bebas. Meski Robi bebas Hoegeng tetap meminta izin Presiden Soeharto untuk menyelidiki Robi Cahyadi.

Setelah mengantongi izin dari Soeharto, Hoegeng langsung membentuk tim dan melakukan investigasi. Namun ketika hendak melaporkan hasil penyelidikannya kepada Soeharto, Hoegeng menyaksikan Robi Cahyadi baru saja keluar dari rumah Soeharto, karena merasa dibohongi Hoegeng batal menyampaikan hasil temuan yang diperoleh oleh tim kepolisian.

Dari hasil investigasi yang dilakukan tim kepolisian berhasil membongkar jaringan yang lebih besar dibalik aksi penyeludupan yang dilakukan Robi Cahyadi. Jaringan melibatkan sejumlah nama pejabat seperti Kepala Badan Intelegen Suptopo Yuono dan Kepala Dinas Penyeludupan Bea Cukai Tanjung Priok Abu Kiswo.

Meski divonis sepuluh tahun penjara Robi Cahyadi hanya menjalani masa hukumannya selama dua setengah tahun, setelah keluar dari penjara Robi kembali berbisnis dalam sektor tekstil dan bermitra dengan keluarga Cendana.

Pada bulan oktober 1971 Hoegeng dipensiunkan dini oleh presiden dengan alasan peremajaan meski penggantinya adalah Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Hasan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Pasca penanganan kasus Cahyadi dan Sum Kuning isu pencopotan Jenderal Hoegeng dari jabatan Kapolri santer terdengar.

Melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Maraden Panggabean, Hoegeng diberikan surat pemberitahuan sekaligus penunjukannya sebagai Duta Besar Kerajaan Belgia. Hal yang terdengar ganjil karena masa bakti Hoegeng saat itu belum habis. Meski kala itu Presiden Soeharto dikenal membuang secara halus petinggi yang mengancam rezimnya dengan menugaskannya sebagai Duta Besar, Hoegeng tetap bersikeras mencari jawaban pemberhentiannya, langsung kepada presiden Soeharto di rumah pribadinya Jalan Cendana 8 Menteng.

Saat akhirnya bertemu Soeharto penguasa orde baru itu tetap menawarkan jabatan Duta Besar kepada Hoegen dengan alasan tidak ada lagi tempat baginya di Indonesia. Mendengar pernyataan Soeharto ini Jenderal Hoegeng dengan lapang dada memilih keluar dari Institusi Polri.

Setelah tak lagi menjabat sebagai Kapolri Hoegeng mengisi masa pensiunnya melalui berbagai kegiatan seperti melukis, bermusik dan menyanyi. Di Hawaiian Seniors kala itu menjadi sarana Hoegeng menyalurkan hobinya kembali yang sempat digeluti semasa SMA. Hoegeng kembali mengisi layar kaca melalai tembang hawaiiannya selama sepuluh tahun.

Akibat penyakit struk yang dideritanya pada tanggal 14 Juli 2004 Hoegeng Iman Santoso meninggal dunia. Sesuai permintaannya sebelum meninggal, Jenazah Hoegeng dimakamkan di pemakaman umum berdekatan dengan makam para kerabatnya yang telah meninggal.

Meski telah berpulang hingga kini jejak langkah dan karakter pribadi Hoegeng Iman Santoso bisa menjadi teladan nyata bagaimana polisi menjadi representasi dari masyarakat. Sosok Hoegeng yang merakyat, sederhana, jujur dan anti korupsi hingga kini masih dirindukan dalam tubuh kepolisian.