Alam sedang menyiapkan musim semi. Burung-burung utusan Dewa Kesuburan berterbangan menyebar butiran-butiran biji, kupu-kupu dan banyak serangga lainya menelusup kedalam bunga-bunga mengambil madu dan membantu proses pembuahan pada tumbuhan.

Di tepi sungai berdiri rumah kayu kecil, hidup seorang petani jagung dan istrinya yang sedang sakit parah. Kata seorang tabib istrinya harus segera makan daging. Dia sangat menyayangi istrinya, bersedia melakukan apapun demi istrinya.

Pagi itu juga si petani keluar membawa busur dan anak panah berniatan untuk berburu. Tadi malam hujan badai hewan-hewan pasti berlindung pada pohon-pohon rimbun dikedalaman hutan. Sepi sekali, tidak ada satupun kancil atau rusa yang terlihat. Ikan-ikan di sungai sudah hanyut oleh arus tadi malam.

Ditangkapnya seekor burung warna biru yang terjebak ranting semak-semak pinggir sungai. Dia memandang burung itu dilihat matanya berair sepertinya sudah dari pagi berharap ada yang melepas kakinya yang tersangkut. Hari mulai petang petani bergegas pulang dan berbuat sesuatu untuk istrinya.

Dilangit yang merah seekor burung betina terlihat gelisah. Melihat-lihat setiap sudut hutan tapi pasanganya tak kunjung terlihat. Burung betina mulai pasrah berdoa merapal janji-janji pada dewa untuk mengutuk siapapun yang menyentuh pasanganya. Tentu Dewa akan mengasihi setiap siapa yang kehilangan.

"Ada apa dengan kakimu?" Tanya seorang wanita yang sedang terbaring lemah sambil mengunyah bubur dan daging. "Sedikit luka tadi saat berburu, darahnya tidak mau berhenti jadi aku balut saja dengan kain." Si petani tersenyum seolah berkata semua baik-baik saja, pun istri balas tersenyum menyampaikan bahwa dirinya akan segera sembuh.

Petani pincang menggarap tumbuhan jagung yang mulai mengembang menuju musim semi. Lukanya tidak kunjung mengering, justru semakin berair sepertinya segera membusuk. Ada seekor burung biru diam diatas pohon, si petani merasa diperhatikan. Dia teringat istrinya, adakah marabahaya yang menyakiti istrinya? Petani bergegas lari terseok-seok pulang.

Pintu depan terbuka, petani dengan sigap masuk rumah mengecek setiap sudut ruangan. Istrinya tidak ada, petani menangis berteriak. Kakinya sakit sekali darah mengalir menembus kain yang mebalut lukanya. Dari jendela belakang rumah dia melihat istrinya lari dibelakang laki-laki bermahkota menggandeng tanganya.

Matanya mendelik kemudian mengejar mereka. "Seruni! Seruni kau mau kemana? Kumohon berhenti! Jangan tinggalkan aku, Seruni!" Terus berlari mati-matian menyeret kakinya yang sepertinya sudah tidak bernyawa. Mereka berhenti ditepi danau, petani melambat terus menangis terisak tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan?

"Saka, aku bangun dari tidurku benar-benar tanpa rasa, begitu saja tapi itu nyata terjadi padaku. Lalu hati yang mana yang tidak mengejar sesuatu yang mengisi ruang kosongnya?" Saka melirik melihat lelaki bermahkota yang menggandeng istrinya.  Dengan tangis dan air mata yang menderas Saka merintih .

"Tuhan tolong jangan Kau biarkan mahkota dan berlian lelaki itu menyilaukan mata istriku." Seketika mahkota pangeran berubah menjadi ranting kering dan dedaunan, kalung dan perhiasanya berubah menjadi batu-batu. Kain sutranya berubah menjadi kain putih keruh yang lusuh.

Seruni menggeleng-geleng menangisi Saka memang rasanya sudah tidak ada. Seruni melepas batu-batu itu dari leher pangeran. Melempar mahkota ranting dan dedaunan kering ke danau. Merapikan kain, mengelus-elus meyakinkan pangeran bahwa dia yang ada dihati. 

"Apa kamu jijik Seruni? Kamu risih dengan kaki busukku? Aku potong saja!" Saka bringas mengambil golok yang selalu ia selipkan dipinggangnya. 'Crattt!' Darahnya muncrat mengenai wajah dan baju Saka. Seruni teriak histeris Saka penuh darah, kakinya putus sudah terpisah dari dengkulnya. 

Keadaan berpesan percuma Saka! Rumahmu sudah hilang! Terdengar suara sedu Saka memaksa bersuara "Seruni maafkan aku, aku memotong betisku untukmu harap kau bertahan hidup." Seruni menganga menangis melepas genggaman pangeran " Jadi siapa yang dikutuk? Kamu yang kehilangan dirimu atau hatiku yang kehilangan rasa cinta?"

"Mencintaimu adalah bagian dari diriku Seruni." Saka sudah tidak berdaya, dia menyandarkan tubuhnya ditumpukan bebatuan menghadap langit tatapanya kosong melihat burung-burung biru berterbangan. "Tuhan! Tolong beri tahu aku, sudahkah aku mencintaiMu melebihi aku mencintai Seruni? Jika tidak, maka betapa laknatnya kisah cintaku dengan manusia."

"Seruni, aku hanyalah bangkai burung kering dipucuk gunung, yang bangkit hidup dari rasa kehilangan. Mengapa kau begitu yakin atas kelanjutan hidupmu dengan meninggalkan Saka bersama rasa kehilangannya?" Seruni kebingungan apakah pangeran ini adalah jelmaan burung yang ia lempari tongkat kayu karena berisik berkicau dan bertengger di jendela kamarnya?

Dipucuk gunung ada pohon beringin rimbun, benalu kuning panjang-panjang merambat disetiap ranting dan daunya. Beberapa bunga anggrek hidup nyaman dibatangnya. Kupu-kupu, capung, dan kumbang merah sedang mengitari bangkai burung kering. 

Ada luka dipelipisnya, tapi dia mati kelaparan kakinya terlilit benalu pohon beringin. Serangga-serangga itu terus berterbangan sambil membawa bunga mengantar kepergian burung dengan wangi bunga musim semi. Burung betina datang, begitu terpukul melihat pasanganya tidak lagi berwarna biru cantik, sudah berubah coklat menghitam. 

Burung betina mematuk-matuk kepala bangkai itu, berharap masih membuka mata. Para serangga berhenti terbang, menaruh dan menyelimuti bangkai burung dengan bunga-bunga. Si betina menangis memohon kepada dewa, bukan untuk dihidupkan kembali kekasihnya itu tapi diberi kekuatan bertahan hidup tanpa yang terkasih. 

"Seruni lihatlah!" Lemah lembut tutur pangeran. Seruni menoleh terbelak melihat tubuh pangeran meluruh seperti pasir pantai yang dijatuhkan dari genggaman "Tubuhku melebur dibawa angin aku akan hilang, kekasihku sudah mengikhlaskanku tiada. Seharusnya untuk mengisi kekosongan hatimu tidak harus dengan yang lain."

Seruni merengek berusaha memeluk menggapai tubuh pangeran yang semakin habis menjadi partikel-partikel atom-atom kecil tak tersentuh. Berteriak menghadap danau dia kehilangan segalanya. Meski kemudian pangeran menjadi peran diruang kosong hatinya, sebelum pangeran hadir Seruni baik-baik saja. 

Sekarang tidak ada yang tersisa. Hatinya lebih dari kosong, hancur tak berbentuk. Seruni menghampiri Saka memangku kepalanya mengusap dan menyeka air mata Saka. "Hatiku sudah dikutuk menjadi batu."