Saya setuju dengan pendapat Mas Andi Fardian yang memandang bahwa “kuliah harus kembali modal.” Karena mau tak mau kegusaran sosial itu sangat menentukan standar hidup seseorang. Sangat memastikan perubahan seseorang. Dan sangat menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan seseorang. ”Hidup ini mas Fahrudin Ahmad tidak ada yang gratis, tidak ada yang idealis. Semuanya realistis, butuh materi. Butuh rupiah, dan butuh modal. Masuk TK-SD, SMP dan SMA saja butuh duit”. Apalagi masuk kuliah?
Pada intinya, semua konsekuensi pekerjaan dan aktivitasnya nalar manusia butuh makanan dan minuman. Itu semua tak ada yang gratis, tak ada yang Free, semunya butuh nilai tukar, butuh transaksi. Butuh tukar tambah. Anda masuk WC saja tidak ada yang bebas. Kalau tidak bayar, air minum yang Anda pakai akan jadi air kencing bagi pikiran dan pembicaraan orang banyak.
“Itu anak yang pakai jaket merah, enak aja masuk gratis, padahal saya tiap hari bersiin tu kamar mandi.” Kata penjaga WC
Demikian pula apa yang dimaksud oleh Andi Fardian, tidak ada narasi yang disudutkan, pandangan yang dibutakan, dan opini yang digurui. Semua pada intinya sama dan saling ter-korespondensi (terhubung antara satu idea dengan satu-kesatuan materi).
Kalau Anda gusar dengan opini Mas Andi bahwa “kuliah harus kembali modal”. Bahwasanya idealisme harus terpisah dari materi. Berarti Anda tak berubah; jalan di tempat saja.
“Apabila kau berhenti berubah, berarti kau sudah selesai.” (Benjamin Franklin)
Tetapi sayangnya, narasi apa yang Mas Fahrudin sampaikan itu tak relevan apa yang menjadi idealisme Andi Fardian. Ia lebih produktif, lebih komprehensif menganalisis suatu masalah ketimbang Anda hanya idealis, lari di tempat tanpa berkutak pada perubahan dan perkembangan.
Anda tak bisa bayangkan sederet jumlah buku yang beliau hasilkan. Itu sangat bernilai fantastis bagi saya. Dengan Nem, IPK dan Rangking yang nilainya terbilang cukup rendah. Itu dapat mudahnya beliau gantikan 26 Buku yang sudah terpapar di rak, meja dan di berbagai toko-toko penjual buku online. Anda boleh buka situs manapun. Jika kalau ingin mengakses apa yang Anda mau.
Karena beliau menilai manusia; “hampir semua orang yang mengejar ijazah adalah rata-rata agar segera mendapatkan uang untuk kemakmuran hidupnya, ketimbang menghasilkan banyak karya.”
Betul apa yang menurut beliau maksud, karena dilihat dari Indeks Prestasi Pembangunan Manusia (IPM) saat ini di Indonesia lebih khususnya bagi umat Islam yang mayoritas beragama. Itu masih sangat sedikit yang memproduksi buku, masih sangat kurang daya minat membaca. Di bandingkan dinegara-negara Asean dan Eropa. Itu jauh bumi dengan langit. Dibanding kita semua.
Berdasarkan hasil temuan The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Khususnya di negara Timur Tengah dan Asia, yang menduduki di posisi teratas adalah Cina (440.000 publikasi). Kemudian diikuti Rusia (120.512) dan India (90.000).
Sementara negara Islam di tingkat literasi berada diperingkat paling buntut. Sekitar 45 – 60 dari 61 negara yang diteliti adalah negara Islam yang paling bodoh. Paling suka menyalahkan sesama. Dan paling heboh membuat masalah. Hasil temuan The World’s Most Literate Nations ( 2016).
Salah satu bukti lainya adalah ditingkat Asia. Jepang mendapatkan peringkat 10 besar berada dirangking ke-enam dengan jumlah 24 pemenang nobel. Posisinya jauh di atas Rusia, Swiss, Malaysia dan Belanda. Berbeda halnya dengan Islam adalah pencapaiannya kurang dari 1 % . Padahal umat Islam, secara garis besar adalah populasi penduduk terbesar di dunia.
Artinya apapun jenis perspektif Anda, tentang pendidikan, modal, materi, dan finansial adalah mungkin menilai bahwa Mas Andi tipikal orang Pragmatis-Materialistik. Yang kadang kala setiap urusan, publikasi, pembacaan, karya dan jenis pekerjaan itu butuh uang, dan butuh materi.
Terus terang saya katakan; “iya memang butuh materi, uang.” Tetapi ia tak menjadikan kebutuhan materi dan uang sebagai bentuk penghambaan terhadap materialistik.
Jadi apa yang Anda beli. Tidak seperti apa yang Anda jual. Dari karya yang dia ciptakan akan menjadi harga jual bagi karya-karya yang selanjutnya. “Ia bagaikan roda berputar, yang ketika ia berhenti akan menjadi ancaman bagi produktivitas literasi, dan pemberdayaan dibidang kemanusiaan.” (Paulo Coelho)
Ia tak sebanding apa yang Anda pikirkan, Ia tak semudah apa yang Anda bayangkan, seperti cinta dalam mimpi yang tak bertua. Seperti mimpi-mimpi tanpa kenyataan. Di bandingkan Anda sendiri yang hanya getol menuai ide tanpa kepastian bukti dan kenyataan yang konkrit.
“Jika seandainya seseorang hidup sekedar hidup, monyet pun hidup dihutan. Jika seandainya pula manusia kerja sekedar kerja, kerbau pun kerja di sawah.” (Buya Hamka)
Cocok dengan apa yang menjadi kompas pemikiran dan pernyataan Anda. Membaca tanpa adanya indikasi melihat. Pertanda bahwa pengetahuan Anda, dangkal memahami literasi dan pertumbuhan pemahaman seseorang. Sangatlah cacat idealisme yang diciptakan tanpa kendaraan materialisme yang pasti. Sangatlah mustahil seorang perempuan, jika menikah tanpa harus menafkahi.
Lebih lanjut, Anda harus tahu bahwa idealisme tak akan hidup tanpa power materialisme yang kuat. Makanya saya sangat usang membaca opini yang Anda maksud. Itu bersebrangan langsung dengan mindset pola pikir kebaharuan dan kemajuan jaman yang berkembang. “Hidup itu mas Fahrudin seperti sepeda, jika Anda berhenti, dimungkinkan Anda akan jatuh, tetapi kalau Anda terus berjalan, dipastikan bahwa Anda akan maju.” ( Albert Einstain)
Kemajuan dan keberhasilan itulah yang menentukan kehendak dan kebebasan seseorang terhadap cita-cita dan keinginan yang akan ditempuh. Kalau mimpi sekedar mimpi, babi pun mimpi di siang bolong. Artinya idealisme saja, belum cukup Mas menentukan taraf, pekerjaan dan kemahsyuran seseorang. Kalau tanpa didasari dengan materi, karya dan finansial yang cukup.
Seperti pepatah mengatakan; “Bekerjalah di waktu pagi, agar Anda bisa makan di waktu siang, bekerjalah di waktu siang, agar engkau bertahan di waktu sore. Tetapi istirahatlah di waktu petang, agar engkau tenang, —tidur di waktu malam.”
Sangatlah nyeleneh, jika Mas Fahrudin menggunakan ilmu dan pengetahuan sebagai bentuk penindasan anti Materialis-Pragmatistik pada manusia. Padahal Anda setiap saat butuh makanan dan minuman.
Seandainya hidup ini tanpa adanya kebutuhan, pastinya Anda lari dari kenyataan. Karena dari sudut pandang dan pernyataan tegas, sinis saudara mengindikasikan diksi yang berlebih dan narasi yang buntut.
Banyak orang yang menyangka, keberanian Anda mengkritisi dan memilih diksi semacam itu adalah bentuk daripada ekspresi kejujuran dan keterbukaan kepada sesama. Tapi bagi saya malah sebaliknya, diksi-diksi yang bermakna fanatisme tak lain hanyalah opini yang mencerminkan mas-Nya sebagai orang yang pesimis.
Tak ada karya yang bisa dibuktikan secara nyata. Fahrudin Ahmad hanya bicara, tapi belum memahami makna. Fahrudin Ahmad hanya lantang bersuara, tapi tak berani turun lapangan. Aina weli sahe di ndano; Dalam linguistik Bima mengandung makna. “Jangan beli kerbau di Rawa-rawa.” Soalnya pernyataan sinis dan sarkasme saudara masih dalam kandungan kata-kata, belum jadi bukti nyata (Idealisme).
Jadi, bicara soal pendidikan bukan hanya dibutuhkan idealisme yang semata. Tapi harus realis-bukti nyata. Orang-orang hidup di Era masa kini. Semua bergantung pada materi. Omong kosong, kalau tidak dengan uang. Uang memang bukan segalanya. Tapi, yang harus Mas Fahrudin tahu bahwa segalanya butuh uang.