Hai ...
Perkenalkan, aku Sintia Rikardo. Adalah seorang mahasiswi yang sudah terlalu sering mengatakan bahwa hidup ini berdinamika.
Well, sedikit bercerita bahwa aku berkuliah dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah, yakni beasiswa Bidikmisi. Sebagian kalian mungkin sudah tahu bahwasanya beasiswa ini diperuntukkan untuk lulusan SMA yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki kemampuan yang baik dalam belajar dan memiliki prestasi. Seluruh biaya kuliah ditanggung sampai tamat (aku 4 tahun karena S1), plus dikasih biaya hidup 650K per bulan yang cair tiap satu semester.
Itu sekedar pengetahuan singkat tentangku.
Yang ingin ku ceritakan disini adalah ...
Bahwa kuliah tak sebercanda itu. Sebercanda apa emangnya?
Aku melihat teman-temanku tiap hari di kampus. Mereka memiliki tipikal yang berbeda-beda. Mulai dari teman yang sangat rajin membuat tugas, ada yang rajin menyalin tugas, ada yang aktif bangat di organisasi, ada yang pasif sekedar kuliah doang kagak pernah ikut kegiatan, ada yang tergila-gila fashion kekinian, ada yang suka haha-hihi nongkrong di kafe, dan beragam 'ada' lainnya yang akan sangat banyak jika disebutkan satu persatu.
Lalu apa masalah dengan itu semua? Dimana letak bercandanya?
Sedikit memberikan informasi bahwa bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan menyediakan kemudahan untuk generasi kita. Kita saat ini harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka. Ini artinya, semakin bertambah zaman, semakin banyak saingan.
Saat ini pun kita ketahui banyak bermunculan jenis-jenis pekerjaan dan profesi-profesi baru yang tidak ditemukan di zaman bapak ibu kita. Programmer, Web Developer, Blogger, de el el. Ini artinya akan ada jenis pekerjaan yang tergantikan. Orang-orang akan beralih kepada sesuatu yang canggih.
Pekerjaan kasir dan teller bank mungkin tak memerlukan tenaga manusia lagi di masa depan nanti. Pekerjaan wartawan media cetak, atau loper koran mungkin akan mengalami nasib yang sama. Iyakah? Iyya. Buktinya, sekarang kalian lebih banyak membaca berita dan artikel dari media online, koran dan majalah sudah jarang bahkan hampir tak pernah lagi, bukan?
Dengan semakin menantangnya zaman, apakah cukup bagi kita hanya kuliah (disini saya berbicara sebagai mahasiswa). Belajar di kelas, pulang kuliah nongkrong sana-sini. Syukur-syukur 'ngerjain tugas'. Biasanya palingan 'nyalin tugas temen', itupun dilakukan pagi hari di menit-menit kedatangan dosen.
Belajar? Gak ada, karena gak sempat, ini aja tugas banyaknya minta ampun.
Trus ketika ujian gimana? Gampang, selalu ada kemudahan asal 'pandai-pandai'. Yap, kita bisa memanfaatkan temen yang pinter. Atau bikin jimat nonmistik yang disematkan di tempat-tempat ghaib di area tubuh, pas ada kesempatan langsung liat. Dan yang terpenting adalah kompak ama temen sekelas.
Hei, kuliah tak sebercanda itu!
Orangtua nguliahin anaknya bukan untuk itu. Bukan untuk sekedar dapat nilai IPK yang lumayan (Alhamdulillah kalo tinggi). Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya. Lulus bisa dapat pekerjaan yang baik, memenuhi kebutuhan hidup dan mandiri.
Tapi sekarang faktanya malah pengangguran terbanyak disumbang oleh lulusan-lulusan sarjana yang ber-IPK tinggi.
Kuliah tak sebercanda itu, kan?
Orang tua kita menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk biaya kita selama kuliah. Uang kuliah dari awal masuk sampai tamat coba hitung. Uang jajan bulanan/mingguan, ditambah uang beli buku yang tak berniat untuk kita baca. Uang kontrakan atau kos, dan uang-uang tak terduga lainnya yang dengan mudah kita minta ke orang tua. Tak butuh waktu lama untuk uang tersebut sampai ke rekening kita. Coba hitung. Angkanya besar. Kita tak mungkin dapat menggantinya dalam waktu lima tahun kalo kita gak punya pekerjaan yang mumpuni selepas lulus kuliah.
Makanya, kuliah tak sebercanda itu.
Kalo kita selama kuliah cuma mentingin IPK doang, gak mau bersusah-susah dan berlelah-lelah untuk belajar lebih, gak mau mendobrak keterbatasan diri, kita tak dapat bersaing.
Kalo kita selama kuliah hanya berorientasi pada nilai kuantitatif, tidak berusaha mencari skill lain, mengasah keterampilan lain, kita tertinggal.
Kalo kita selama kuliah hanya menjadi penyumbang ramainya instastory di instagram, atau WAstory di WA, atau apapun sejenis itu, posting kegiatan jalan-jalan haha-hihi ama temen-temen, atau posting kegiatan lagi rayain ultah temen di kafe sambil megang balon polkadot lope lope, sekali lagi, kita bakal tertinggal.
Sekarang, mulailah menyadari bahwa kuliah tak sebercanda itu.
Kita pada dasarnya tengah menanggung beban. Beban untuk memenuhi harapan orang tua kita. Beban untuk membalas kebaikan orang tua kita. Beban untuk membahagiakan orang tua sebagaimana mereka membahagiakan kita dari kecil.
Ditambah lagi dengan beban kita di masa depan. Beban untuk menjadi kepala keluarga yang baik (bagi laki-laki), dan beban untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik (bagi perempuan). Beban untuk memajukan peradaban.
Itu semua butuh modal materi dan ilmu. Kita tak mungkin dapat memenuhinya jika keberuntungan belajar di perguruan tinggi tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Tidak belajar dengan serius. Tidak memanfaatkan peluang dan kesempatan menambah skill yang ada. Sehingga ketika hengkang dari kampus kita gak tau mesti berbuat apa. Mencari pekerjaan tak semudah yang dibayangkan.
Sekali lagi, pikirkan kembali bahwa kuliah tak sebercanda itu.
Mulailah menyadari bahwa kita adalah orang yang beruntung bisa mengecap bangku perguruan tinggi.
Jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Jangan memilih terlena dengan menjadi pengekor kecanggihan teknologi namun tak menghasilkan manfaat dari sana.
Allah udah ciptakan manusia itu sama. Sama-sama BERPOTENSI.
"Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk" (QS. A-Tiin: 4)
Pertanyaannya adalah, apakah kita telah menggunakan potensi tersebut dengan baik?
Mungkin kita dapat belajar dari intan dan arang. Intan dan arang tersusun dari unsur yang sama, yaitu karbon (C). Namun Intan keras, gak gampang hancur, gergajinya keras. Sementara arang rapuh, gampang dipukul dan mudah hancur. Intan nilainya tinggi alias mahal, sementara arang gak ada nilainya, murahan.
Kenapa bisa demikian? Padahal keduanya berasal dari unsur yang sama.
Jawabannya adalah, karena prosesnya berbeda. Intan dihasilkan dari proses yang sangat panjang dan suhu yang sangat panas. Sedangkan arang dihasilkan dari proses yang sangat pendek dan suhu seadanya.
Persis sama seperti manusia.
Allah udah ciptakan manusia sama. Sama-sama berpotensi.
Kalau mau sukses, jangan mau instan. Berproses dulu. Bersakit-sakit dengan perjuangan. Jangan malas. Jangan menyerah. Nikmati prosesnya.
Dan...
Perkuliahan adalah tempat dimana kita bisa menempa diri layaknya intan.
Jadi, jangan jadikan kuliah sebuah candaan.