Masih teringat jelas dalam benak saya saat itu, dimana terdapat sekumpulan orang-orang paruh baya berbicara hal-hal yang seharusnya tidak di dengar oleh manusia seumuran saya: omongan 18+. Sebagai mahasiswa rantau yang mencari ilmu lumayan jauh dari kota asal, Bis selalu menjadi kendaraan setia yang saya gunakan.
Hari itu, saya berencana pulang setelah tiga bulan lebih tidak menginjak halaman rumah. Dari Jakarta menuju Surabaya membutuhkan waktu sekitar hampir lima belas jam. Perjananan yang panjang sekaligus melelahkan. Kebetulan, saya naik bus yang sama dengan rombongan manusia berusia paruh baya. Jika dilihat dari almamater yang melekat pada tubuh mereka, saya menduga mereka adalah rombongan pekerja pabrik.
Saya berdua bareng teman. Meskipun berdua, kami jarang membuka mulut untuk berbicara bahkan untuk sekedar berbasa-basi. Kami hanya diam. Menyimak. Bukan karena kehabisan bahan untuk bercerita, tetapi karena suasana bus begitu ramai oleh suara tawa akibat gossip-gosip yang terlontar dari mulut para rombongan manusia paruh baya itu.
Para penumpang itu tertawa, bergosip, tertawa, dan bergosip lagi. Yang membuat perjalanan itu begitu terngiang dalam imaji saya adalah topik pembahasan dalam cerita tersebut. Apalagi kalau bukan soal seks.
Rombongan manusia yang rata-rata sudah menikah itu bak menguasai seisi bus dengan cerita-cerita jenakanya tentang seks. Mereka membicarkan topik yang sama dengan berbagai plot, karakter, konflik, dan gaya bercerita. Seakan hanyut dalam segala macam cerita yang keluar dari mulut mereka, semua kata yang terceletuk tiba-tiba punya makna sensual. Misalnya kata “berdiri”, “kecepetan”, dan “keluar” seketika bisa membuat seluruh isi bus tertawa terbahak-bahak.
Waktu itu, jujur saya begitu naif. Mengira bahwa perbincangan mengenai hal-hal berbau konten 18+ hanyalah milik para anak muda tanggung yang berjibaku dengan pubertas, yang baru faham tentang seksualitas. Lucunya, makin tua ternyata malah makin menjadi.
Pembahasan tentang seks bagai tepung crispy yang mengubah arah pembicaraan menjadi lebih gurih, kriuk, tetapi penuh dengan lemak berbahaya. Kata “ibadah”, contohnya, akan terasa lebih spesial dan lebih erotis ketika dibicarakan di jumat pagi setelah malam yang oleh sebagian besar orang dianggap waktu terbaik untuk berhubungan badan suami-istri. Kata, makna, dan segala macam tatanan bahasa berlutut dihadapan birahi.
Pornofikasi Budaya
Seorang professor Sosiologi, Gall Dines pernah menuliskan kisah perjalanannya saat mengunjungi pusat hiburan terkenal di Las Vegas. Ia mengunjungi konvensi porno paling akbar di dunia bertajuk Adult Entertaiment Expo.
Dalam tulisannya, ia menceritakan bagaimana para pemodal besar, banker, produser software, produser film, hingga jaringan hotel berkumpul bersama untuk membicarakan sebuah bisnis besar.
Berjam-jam duduk dan berdiskusi dengan berbagai macam orang yang hadir, sang professor menyadari satu hal, alih-alih membicarakan konten porno, gelaran akbar itu justru mengupas tentang bagaimana cara meraup uang dan laba sebanyak-banyaknya.
Mereka dengan sedemikian rupa merancang pornografi menjadi sebuah budaya populer. Agar seks dan pornografi bisa dinikmati di segala medium kecanggihan teknologi. Itulah industri triliunan dollar yang menjual hasrat liar sebagai kendaraan menuju kekayaan.
Bahkan, ironisnya, industri jual tubuh yang dulu hanya hadir sebagai hiburan, kini telah berfotosintesis menjadi agen budaya pop yang menjangkau jutaan manusia. Bagaimana tidak, saat ini, pornografi dapat dengan mudahnya diakses di segala medium teknologi.
Menurut Pamela Paul, peristiwa tersebut merupakan sebuah pornofikasi budaya. Pornofikasi yang telah tumbuh subur dan mekar.
Saat ini, konsumsi konten porno semakin tak terbendung. Di Indonesia saja, industri tersebut menjadi salah satu konten yang paling banyak dinikmati. Tercatat, pada tahun 2014, Indonesia menjadi negara dengan urutan kedua negara asal penonton situs pornhub terbanyak seiring dengan peningkatan penggunaan sosial media.
Negara sebetulnya telah mengupayakan sebuah antisipasi, akan tetapi blokade moral berupa peringatan “internet positif” tetiba menjadi lumpuh akibat hadirnya Virtual Private Network (VPN).
VPN bagaikan jalan “tikus” ketika jalan utama tidak bisa dilewati. Akses menuju konten porno mirip jalan bebas hambatan tanpa adanya penghalang sama sekali.
Hal ini semakin diperparah dengan meningkatnya angka kekerasan seksual berbasis gender. Sepanjang pandemi Covid-19 saja, terhitung mulai Maret hingga Juni 2020, jumlah peningkatan kasus kekerasan seksual mencapai 169 kasus. Naik drastis hingga 45 persen dari tahun sebelumnya.
Pandemi juga memaksa para pekerja seks untuk berkembang dan memanfaatkan teknologi. Hasilnya, banyak dari mereka beralih haluan menjadi content creator porno. Mau tidak mau, mereka dengan cepat harus beradaptasi menuju platform digital.
Semua ini pada akhirnya memperbesar kebutuhan masyarakat kita akan dunia “fantasi”. Hyperreality seakan hadir untuk mengeksploitasi hasrat kotor manusia. Pada gilirannya, hasrat itu akan semakin membuat kita manusia semakin bergantung pada konten-konten porno tersebut. Anak-anak hingga dewasa, sama-sama kecanduan.
Bahasa Sebagai Tameng
Di belantika raya budaya pornografi, bahasa kerap kali menjadi tameng penutup hasrat buas manusia. Contohnya, di mesin pencari internet, saringan awal yang dibuat oleh para ahli teknologi adalah saringan bahasa. Algoritmanya, internet “dipaksa” untuk menutup akses menuju website hitam yang dicari seperti “telanjang” atau “seks”.
Dilain sisi, kata “pemerkosaan” kerap diperhalus dengan framing bahasa “dipaksa berhubungan suami-istri”. Kata-kata straight to the point yang menunjukkan relasi seks non-konsensual seperti pemaksaan dan perbudakan seksual diperhalus menjadi “ekspoitasi” seksual.
Lagi dan lagi, bahasa dijadikan sebuah kendaraan untuk melakukan kamuflase kata atau menyembunyikan frasa kasar
Bahasa mengalami pornofikasi dengan ironi makna. Negara doyan memperhalus makna sehingga kata-kata yang seharusnya menunjukkan keterusterangan, justru membuat relasi antar makna menjadi bias. Sementara, diantara penuturnya, kata-kata seperti “besar” dan “kuat” terus mengalami pornofikasi makna dengan konteks yang sama sekali berbeda.
Kalimat tersebut seringkali keluar sebagai kelakar, tetapi tidak jarang pula digunakan sebagai ajang unjuk dominasi laki-laki atas perempuan. Menjadi masalah serius jika pornofikasi bahasa semacam ini terjadi terus menerus karena akan memperparah relasi dan politik keseharian yang dialami oleh perempuan.
Dari para oligarki, pejabat publik, hingga para pelaku kekerasan seksual semuanya didominasi oleh laki-laki. Mereka dengan sengaja mereproduksi makna dalam tameng bahasa untuk menyembunyikan hasrat jahat terselubung mereka. Secara singkatnya, patriarki saat ini dengan sangat leluasa menggunakan bahasa sebagai tameng untuk tujuan hasrat seksual mereka saja.
Patriarki seakan menutup mata pada sebuah kebiadaban yang menganga lebar. Parahnya lagi, mereka membebankannya pada sebuah alat komunikasi bernama bahasa.
Bahasa memang bukanlah sebuah sistem yang statis, melainkan dinamis. Bahasa adalah negosiasi yang tidak akan pernah berhenti atas makna yang ada pada masa lalu dengan maknanya hari ini.
Serupa kolam yang berisi makna tak terbatas dan akan terus berkembang di setiap masanya. Akan tetapi barisan makna tersebut kini kian diperkeruh dengan adanya internet yang secara tidak langsung membantu patriarki mengeksploitasi hasrat seksualnya.
Kekerasan seksual melalui bahasa sebagai medium tak lagi bisa terlacak oleh hitungan statistik, bahkan oleh aparat penegak hukum. Terlalu banyaknya orang, termasuk saya, seperti saat berada di kendaraan kala itu.
Mendengar penumpang lain melempar jokes tentang gaya-gaya bersetubuh, saya justru diam. Sialnya, sesekali ikut tertawa, tak jarang pula ikut menikmati. Kita masih terkungkung oleh kuasa patriarki yang dibalut manis oleh permainan kata dan makna.