Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872), seorang filsuf terkenal, merupakan pemikir otentik yang membawa pencerahan ke dalam sejarah filsafat Jerman. Namun, di antara Zaman Pencerahan abad ke-18 dan Feuerbach terdapat periode filsafat Idealisme yang dipelopori oleh Kant sampai Hegel. 

Feuerbach juga termasuk salah satu dari Hegelian Sayap Kiri. Pada mulanya, Feuerbach belajar teologi Protestan di kota Heidelberg. Kemudian seiring berjalannya waktu, Feuerbach beralih ke filsafat dan berguru kepada Hegel di Berlin. 

Feuerbach kurang diterima dalam jabatan akademis, kemudian karena hal inilah dia belajar sendiri dan mulai menulis. Salah satu karya yang paling penting dan terkenal dari Feuerbach adalah Das Wessen des Christentums (Hakikat Agama Kristen). 

Selain itu, Feuerbach juga menulis Das Wesen der Religion (Hakikat Agama) dan beberapa karya lainnya. Di dalam karya-karyanya dipenuhi dengan sikap radikal dan kritis terhadap religiusitas manusia yang diagung-agungkan dalam idealisme Hegel, terutama yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan.

Filsafat Hegel

Hegel (1770-1831) berpendapat bahwa di dalam kesadaran manusia, Tuhan mengungkapkan diri. Gagasan fundamental Hegel ini secara umum mengungkapkan bahwa semua orang merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera mereka, akan tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya. 

Walaupun di tingkatnya sendiri manusia bebas dan mandiri, tetapi lewat kemandiriannya itu roh semesta menyatakan diri. 

Hegel menggunakan term keilahian Akal Budi (dei List der Vernunft). Lewat berbagai keputusan dan berbagai usaha manusia, besar kecil masing-masing roh semesta mencapai tujuannya. 

Seolah-olah manusia adalah boneka dengan kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, sedangkan penggerak boneka tersebut adalah di tangan roh semesta. 

Oleh karena itu, roh semesta merupakan pelaku sejarah yang sebenarnya, tetapi seolah-olah di balik layar. Manusia yang sebagai pelaku tidak sadar bahwa mereka digerakkan oleh roh semesta tersebut.`

Idealisme menjadi Materialisme

Pendapat Hegel tersebut menjadi sasaran kritik Feuerbach. Bagi Feuerbach, Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seolah-olah yang nyata adalah Tuhan yang tidak terlihat, sedangkan manusia yang terlihat ini merupakan bonekanya. 

Padahal sesungguhnya yang tidak terbantahkan adalah manusia. Manusia bukanlah pikiran Tuhan, tetapi Tuhan adalah pikiran manusia. Menurut Feuerbach, manusia yang inderawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia. 

Dengan demikian, Feuerbach juga menyangkal klaim Hegel yang mengangkat agama ke dalam rasionalitas filsafat. 

Menurut Feuerbach, filsafat roh sebaliknya justru merupakan kemenangan agama terhadap rasionalitas, karena tetap diandaikan begitu saja bahwa Tuhan adalah yang pertama, dan manusia yang kedua. 

Bahwa Tuhan oleh Hegel disebut roh semesta tidak akan mengubah kenyataan itu. Oleh karena itu, inti kritik Feuerbach adalah bahwa hakikat filsafat Hegel sesungguhnya merupakan kepercayaan agama yang terselubung. 

Kritik terhadap pemikiran fundamental Hegel ini berdasarkan pengandaian Feuerbach bahwa realitas yang tidak terbantahkan adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif.

Tuhan dan Agama sebagai Proyeksi Manusia

Menurut Feuerbach, pada hakikatnya Tuhan merupakan proyeksi dari manusia sendiri. Hal ini berasal dari pemikiran Feuerbach yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan berpikir, kebebasan, dorongan mencari kebaikan, dan cinta. 

Namun, karena keterbatasan yang dimiliki manusia, dia pada akhirnya memproyeksikan diri pada suatu kekuatan adikodrati yang melampaui kemampuan manusiawinya. Dari hal inilah manusia mulai memproyeksikan dirinya dalam bentuk atau sesuatu yang selama ini dinamakan sebagai Tuhan. 

Perilaku memproyeksi diri ini adalah sebuah bentuk keterasingan diri manusia. Alienasi diri ini membawa manusia pada akhirnya menjadi pribadi yang dirinya merasa lebih rendah, hina, berdosa, jahat, dan kotor. 

Sedangkan terdapat suatu kuasa dan sesuatu hal yang lain yang lebih besar, suci, tinggi, dan maha baik dibandingkan manusia. Proyeksi itu membuat manusia sangat mengasingkan dirinya.

Teori proyeksi tersebut membuat manusia melemparkan hakikatnya keluar dirinya dan memandang produk objektivasi dirinya ini sebagai entitas mandiri yang terpisah darinya dan menyebutnya Tuhan. 

Dalam arti lain, bukan Tuhan menciptakan manusia seturut citra-nya, tetapi sebaliknya, manusia menciptakan Tuhan menurut citra manusia itu. Di dalam Tuhan, manusia menemukan sifat dan hakikatnya yang terindah dan terluhur. 

Apa yang menyebabkan Tuhan disebut memiliki cinta, keadilan, dan kebijaksanaan? Semuanya itu hanyalah sifat-sifat manusia sendiri.

Feuerbach juga mengatakan bahwa agama juga merupakan sebuah proyeksi manusia. 

Tuhan, malaikat, surga, neraka tidak memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri, jadi berupa angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri. 

Akan tetapi kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu hanyalah ciptaannya sendiri. Dalam hal ini, Feuerbach hendak mengatakan bahwa agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaannya sendiri, namun yang tidak disadari lagi sebagai hasil ciptaan. 

Apa yang sebenarnya hanya angan-angan dianggap memiliki eksistensi pada dirinya sendiri, maka manusia akan merasa takut dan perlu menyembah dan menghormatinya sebagai Tuhan. 

Dengan demikian, sebenarnya manusia menyatakan keseganannya terhadap hakikatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya. Oleh karena itu, manusia mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Maka, agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. 

Feuerbach menjelaskan bahwa “Agama sekurang-kurangnya agama Kristiani, adalah perilaku manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terdapat hakikat sendiri, akan tetapi perilaku terhadap hakikatnya seperti terhadap makhluk lain. 

Hakikat ilahi tidak lain hakikat manusia, atau lebih tepat: hakikat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya. Oleh karena itu semua ciri hakikat ilahi merupakan ciri hakikat manusia.

Perspektif Feuerbach ini berdasarkan suatu anggapan tentang bagaimana manusia menjadi diri: supaya menjadi diri sendiri manusia harus menjadi objek bagi dirinya sendiri. Jadi dia harus memproyeksikan diri keluar dari dirinya sendiri agar dapat menghadap dan melihat hakikat itu. 

Di dalam pikiran manusia harus membayangkan atau merepresentasikan diri, kemudian baru dapat melihat diri, maka mengenal diri dan menemukan identitasnya.

Berdasarkan pendapat Feuerbach itulah yang terjadi di dalam agama di mana kepercayaan religius manusia kepada Tuhan adalah kepercayaan manusia kepada ketidakterbatasan dan kebenaran hakikatnya sendiri, yaitu hakikat ilahi, hakikat manusia dan secara subjektif manusia dalam kebebasan dan ketidakterhinggaan mutlak.

Agama bagi Feuerbach memiliki nilai positif karena termasuk proyeksi hakikat manusia. Di dalam agama, manusia mampu melihat siapa dia. Namun, sayangnya, manusia tidak ingat bahwa proyeksi tersebut adalah dirinya sendiri. 

Dia sangat begitu terkesan oleh proyeksi itu, sehingga manusia menganggap hal tersebut sebagai realitas yang mandiri. Proyeksi pada hakikatnya adalah sangat sempurna. 

Oleh karena itu, manusia yang menganggapnya sebagai sesuatu yang bereksistensi sendiri, menjadi takut dan menyembah proyeksi dirinya yang sebenarnya tidak nyata itu. Karena manusia menjadi ketakutan, dia seolah-olah menjadi lumpuh. 

Dia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Daripada berusaha merealisasikan hakikatnya, manusia secara pasif berharap akan berkat daripadanya sehingga manusia berdoa kepadanya. 

Dengan demikian, agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Lewat agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu diwujudkan oleh manusia menjadi menghilang karena manusia mengusahakan dan mengharapkan dari sana. 

Daripada berupaya menjadi kuat, baik, adil, tahu sendiri, dia mengasingkan sifat-sifat itu kepada Tuhan dan menyembah Tuhan sebagai maha kuat, maha baik, maha adil, maha tahu, dan lain-lain. Secara sederhana, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari Tuhan dan kesempurnaannya di surga. 

Bagi Feuerbach, hal tersebut secara khusus mencegah manusia dari merealisasikan hakikatnya yang sosial, maka manusia beragama sering terlihat tidak toleran dan fanatik. 

Sama dengan pendapat semua orang ateis, Feuerbach meyakini bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

Oleh sebab itu, Feuerbach beranggapan bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri jika dia meniadakan agama. Dia harus menarik agama ke dalam dirinya sendiri. 

Dia harus menolak kepercayaan kepada Tuhan yang maha kuat, maha baik, maha adil, dan maha tahu, agar dia sendiri menjadi kuat, baik adil, dan tahu. Manusia harus membongkar agama supaya dia dapat merealisasikan berbagai potensinya. Teologi harus menjadi antropologi.

Kritik Tuhan dan Agama sebagai Proyeksi Manusia

Pemikiran Feuerbach tentang Tuhan sebagai proyeksi manusia hendak menunjukkan bahwa Feuerbach berusaha memberikan dasar ilmiah kepada ateisme. Teori proyeksi Feuerbach ini hanya berbicara mengenai fungsi agama, bukan hakikat agama, yakni Tuhan yang disembah dalam agama itu. 

Bagi Feuerbach, agama memiliki fungsi psikologis sebagai proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tidak kesampaian, dambaan ini kemudian dipersonifikasikan sebagai Tuhan. Dari hal ini, terdapat dua titik kritis dalam ateisme Feuerbach. 

Pertama, ateisme yang berdasarkan teori proyeksi ini tidak menyentuh pertanyaan mendasar apakah Tuhan itu ada pada dirinya sendiri atau tidak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ajaran Feuerbach ini tidak bisa meyakinkan bahwa Tuhan itu tidak ada. 

Sebaliknya adalah benar bahwa jika dengan proyeksi manusia, manusia menempelkan sifat-sifat baiknya kepada Tuhan, maka dengan fakta itu sebenarnya sudah mengakui bahwa Tuhan itu ada, yakni sebagai tempat di mana berbagai sifat manusia itu dapat dilekatkan. Tanpa kesungguhan ada-nya Tuhan, proses proyeksi tidak berlaku.

Jika Tuhan memang ada, bukankah sangat masuk akal kalau manusia menyembah, memuji serta memohon pertolongan Tuhan? 

Serta jikalau ada Tuhan, tentu Tuhan memang pencipta  semua hal yang ada  di dunia ini, dan jikalau demikian, maka menghormati dan menyembah Tuhan Sang Pencipta tentu tidak mungkin menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. 

Mengapa seperti demikian? Karena diri manusia sendiri memiliki dasar pada Tuhan, maka dia justru akan menemukan diri jika dia menemukan Tuhan. Jadi pendapat Feuerbach bahwa agama hanyalah proyeksi manusia, tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan umum. 

Bisa saja ada proyeksi, bisa saja ajaran suatu agama hanyalah cerminan cita-cita, atau prasangka-prasangka manusia, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya. 

Vonis Feuerbach bahwa agama hanyalah proyeksi manusia merupakan kesewenang-wenangan. 

Berhadapan dengan Feuerbach tetap harus ditegaskan bahwa jika Tuhan ada, beragama merupakan sikap manusia yang paling tepat, paling masuk akal dan paling akan membantu manusia dalam mewujudkan hakikatnya.

Kedua, ateisme Feuerbach berhubungan dengan pandangan bahwa gagasan manusia mengenai Tuhan timbul dari proyeksi daya fantasi manusia atas kesempurnaan hakikat manusia. 

Misalnya saja, Pengertian Tuhan itu Maha baik muncul karena manusia memiliki ideal tentang kesempurnaan mengenai apa yang baik. Namun, pertanyaan yang timbul adalah dari manakah manusia dapat menemukan kata maha yang kemudian diproyeksikan kepada Tuhan? 

Kata “maha” itu mengacu tidak hanya kepada sesuatu yang lebih dari manusia, tetapi lebih daripada itu menunjuk pada sesuatu yang lain dari manusia, yaitu sesuatu yang tidak terhingga dan melampaui manusia. 

Justru sosok “Yang Maha” semacam ini tidak akan pernah ditemukan dalam pengalaman konkret inderawi atau empiris dari manusia.

Kemudian, mengapa manusia sanggup mengenal Tuhan sebagai “Yang Maha,” padahal dia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengalaman inderawi tentang-Nya?  

Dalam hal ini Feuerbach seharusnya mengakui bahwa manusia dapat percaya kepada Tuhan justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-inderawinya. 

Atau dalam bahasa antropologi filosofis modern: manusia merupakan makhluk yang mempunyai dimensi transenden justru karena dia memiliki jiwa sebagai prinsip unifikasi yang immaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada “ada,” bahkan pada “Ada yang Tertinggi,” yaitu Tuhan sendiri.

 

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Tuhan sebagai proyeksi manusia justru semakin membuktikan bahwa Tuhan adalah benar-benar ada. 

Kemudian, teori proyeksi yang digagas oleh Feuerbach gagal di dalam menjelaskan apa yang paling hakiki dalam pengalaman beragama di mana manusia-manusia berhadapan dengan realitas tak terhingga. Ternyata teori Feuerbach memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. 

Tidak hanya dia tidak dapat membuktikan bahwa semua ciri yang diyakini dimiliki Tuhan adalah proyeksi manusia, tetapi terutama dia tidak mampu menjelaskan bagaimana manusia dapat membentuk konsep pengada yang tidak terhingga dan maha dalam segala-galanya. 

Sebagaimana yang kita ketahui, tidak ada konsep ketidak-terhinggaan dalam pengalaman empiris manusia.  

Daftar Pustaka:

Sumber Buku

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme:Tinjauan Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Tjahjadi, Simon Petrus L.,”Ateisme sebagai Dasar Etika: Sebuah Studi atas Filsafat Sensualistik Feuerbach,” dalam F. Budi Hardiman (ed.), Dengan Nalar dan Nurani: Tuhan, Manusia, dan Kebenaran, Jakarta: Kompas, 2016.