Istilah “apalah arti sebuah nama” dari William Shakespeare mungkin ada benarnya.

Apalah arti nama “Budi” kalau kelakukannya tidak berbudi atau apalah arti nama “Bunga”, tetapi lupa memakai wewangian kala nongkrong. Sebuah “nama” belum tentu menggambarkan karakter. Bagus tidaknya seseorang bukan tergantung pada “nama”, tetapi pada sikap dan tingkah lakunya.

Meskipun terkadang perilaku bertolak belakang dengan nama, nama tetap penting. Antropolog William R. Bescom memaknai nama sebagai projective system, perncerminan masa depan.

Selain memiliki sistem proyeksi, sebuah nama memiliki dimensi histori, mengandung makna, dan menyimpan harapan dari orang yang memberikannya. Nama adalah doa. Doa agar kelak yang bersangkutan memiliki keluhuran budi sesuai nama yang dimilikinya.

Jika menghubungkan nama manusia dengan nama wilayah, maka mekanisme pemberian nama agak berbeda. Setidaknya ada dua alasan penyematan nama pada suatu wilayah, seperti yang dituliskan Amrina (2017), yakni berdasarkan kondisi “sosiocultural” dan penampakan “bentang alam”.

Lalu pertanyaan besarnya adalah nama “Kendari” mengikuti pola yang mana? Apakah nama Kendari mengandung makna dan doa atau disematkan lantaran keadaan sosiokultural dan penampakan bentang alamnya?

Basrin Melamba mengkaji dan menuliskan cukup lengkap asal-usul nama Kendari. Tulisannya adalah gugatan atas penulisan sejarah Kendari yang lebih dulu ada dan diakui. Tulisan-tulisan itu menyebutkan nama Kendari bermula dari tahun 1831 atau 1926, tetapi menurut Melamba, nama Kendari bermula sejak abad ke 16.

Kajian Melamba diperkuat bukti tekstual laporan Controleur Kendari bernama L. Fontjine dan tulisan J. Paulus serta Martinus Nijhoff. Rujukan yang digunakan adalah catatan sejarah yang mungkin belum sempat dirujuk penulis-penulis sebelumnya. Catatan sejarah yang ditambah dengan kemampuan membaca dokumen sejarah menjadi dua modal Melamba menulis ulang sejarah Kendari.

Menurut penelusuran Melamba, nama “Kendari” berasal dari peristiwa yang terjadi antara warga lokal dan orang Portugis pada abad ke-15.

Ketika hendak berlayar menuju Maluku untuk ekspansi dagang, kapal Portugis singgah di sebuah teluk yang berada di Pulau Sulawesi bagian Tenggara. Orang pertama yang mereka jumpai adalah warga yang sedang membawa rakit bambu dengan menggunakan dayung panjang. Dengan menggunakan bahasa negaranya, orang Portugis bertanya perihal nama daerah yang mereka singgahi.

Si pembawa rakit kegeeran. Ia mengira ditanyai mengenai apa yang sedang dikerjakannya. Ia pun menjawab "kandai" yang artinya adalah dayung atau (mekandai) mendayung.

Jawaban warga dicatat oleh orang Portugis sebagai nama daerah persinggahan. Bergantinya waktu dan perubahan silat lidah nama “kandai” berubah haluan menjadi “Kendari”.

Sejak itu, nama Kendari cukup terkenal. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah masih dikenal, minimal oleh masyarakat Indonesia sendiri?

Ketika bertanya kepada puluhan mahasiswa apakah di antara mereka ada yang mengetahui di mana letak Kota Kendari, kelas seketika membisu. Mereka saling tatap-tatapan. Seolah-olah di bola mata kawannya menyimpan jawaban. Diam-diam di antara mereka (mungkin) ada yang bertanya kepada Google.

Sebelum bertanya tentang letak Kendari, saya mengawali perjumpaan itu dengan memperkenalkan nama diri. Memperkenalkan diri di hadapan seseorang kurang afdol rasanya bila hanya memberitahukan nama panjang dan nama pendek. Perkenalan akan terasa mendalam bila menyebutkan asal daerah. Kalaupun nama diri terlupakan, paling tidak nama daerah terekam jelas di memori mahasiswa.

Namun sangat disayangkan, saat memberitahukan asal daerah dan mengajukan tanya, kediaman mereka, keheningan kelas, dan tatapan kosong mahasiswa membuat saya bersenyum kecut. 

Peristiwa yang berlangsung hanya sepersekian detik itu terasa lama bagi saya. Antara malu dan prihatin, saya lalu mengajukan tanya kepada diri sendiri. Apakah Kendari kurang populer?

Kendari seharusnya menjadi kota terkenal berkat deretan pencapaian warganya. Minimal kecipratan tenar dari mereka yang hilir mudik di layar kaca.

Ari Kriting dan Raim La Ode, misalnya, mengharumkan nama daerah melalui Stand Up Komedi. Fildan mengibarkan nama berkat talentanya di ajang dangdut D'Academy. Dalam beberapa tahun terakhir ini, nama mereka kerap nimbrung menghiasi layar gadget di genggaman melalui beragam acara.

Selain prestasi yang ditorehkan kawula muda, pencapaian terbaik lainnya adalah ketika jemari elite politik daerah berjabat erat dengan tangan dingin KPK. Setelah Gubernur diberikan penghargaan untuk mengenakan rompi orange, wali kota dan mantan wali kota seolah tak mau ketinggalan. Keduanya ikut-ikutan mengenakan rompi kebanggaan politisi se-Nusantara. 

Dasar watak manusia Sultra yang baik hati, banyak warga berduyun-duyun mengirim ucapan selamat.

Dukungan warga tampak dari komentar yang membanjiri media sosial. Bahkan saat di masa pemilu, kendati sang calon telah berpindah kamar dari ibu kota provinsi ke ibu kota negara, dukungan warga terus mengalir. 

Kealpaan sang pujaan di pesta demokrasi daerah bukan alasan untuk menyurutkan dukungan. Penghormatan warga bukan hanya bertumpu pada rupa dan keberadaan fisik, tetapi pada rasa.

Pemimpin-pemimpin itu menggunakan strategi yang nyaris mirip dengan strategi yang digunakan selebritas jagat maya. Kalau kurang mampu melalui prestasi, gunakan sensasi. 

Strategi sensasi tampaknya meraup untung besar. Nama sang tokoh bukan saja viral di pemberitaan nasional, tetapi juga sulit terkikis dari ingatan para pendukungnya di daerah. Ketokohan mereka adalah rasa yang mengkristal dalam sanubari pendukungnya.

Melalui gempuran sensasi, rasanya sungguh keterlaluan kalau Kendari masih kurang populer di telinga mahasiswa. Kalau masih kurang terkenal, apa mungkin berkaitan erat dengan asal muasal nama Kendari yang berawal dari kegeeran seorang warga?

Agar kekacauan segera berakhir, saya menjelaskan kepada mahasiswa bahwa Kendari adalah Ibu Kota dari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Mahasiwa dengan legah kompak menanggapi, “Oh, Sulteng!”