Pada hari Ahad, 20 Maret 2022, seorang ibu bernama Kanti Utami menggorok leher ketiga anaknya yang menyebabkan salah seorang di antaranya meregang nyawa. Dalam pembelaannya, sang ibu beralasan ingin membebaskan anak-anaknya dari penderitaan akibat realitas hidup. Beban yang tak lagi dapat ia panggul tanpa dukungan orang dekatnya.

Tiga tahun lalu, suatu hari di bulan Juli 2019, Aulia Kesuma menyewa pembunuh bayaran untuk mengeksekusi suaminya sendiri beserta anak tirinya. Ia kalap karena terlilit hutang dan sebelumnya meminta suaminya untuk membatunya dengan menjual rumah. Sang suami menolak dan terjadilah peristiwa menyayat hati tersebut. Juni setahun kemudian, ia dijatuhi hukuman mati.

Seiring waktu berjalan, jumlah dan tingkat kejahatan semakin bertambah. Sehingga membuat kita penasaran tentang apa yang merasuki pelaku hingga tega melakukan hal keji terhadap sesamanya. Kata kejahatan atau sifat jahat seakan tak cukup lagi mewakili tindakan amoral. Modus yang dijalankan pelaku terbilang sangat keji hingga membuat setan mengernyitkan dahi.

Pelaku kejahatan atau sosok yang dikenal karena sifat jahat disebut penjahat. Namun sebutan tersebut menarik untuk dipahami secara konstruktif. Apakah setiap kejahatan melahirkan penjahat? Apakah sifat jahat itu tak dapat dihilangkan? Atau mungkin, apakah kejahatan diperlukan untuk mewujudkan suatu kebaikan? Memahami istilah dapat membantu kita mewaspadai kejahatan. Atau paling tidak menjauhinya.

Kita perlu melihat dengan jelas batasan-batasan antara yang jahat dan yang baik. Sehingga kita tidak asal menilai atau malah mengaburkan kejahatan dengan kebaikan. Di saat semua orang tampaknya hanya peduli pada apa yang menguntungkannya, kita perlu mewaspadai lingkungan toxic yang mungkin secara tidak sadar kita ciptakan. Seperti kata Erich Fromm di Akar Kekerasan-nya, ketika lingkungan tak lagi menopang potensi manusiawi, manusia akan menjelma menjadi ganas dan brutal.

Agama dan Konsep Kejahatan

Sebagai salah satu pijakan moral, agama tentu menjadi rujukan dalam menilai kejahatan. Agama bahkan sedari dulu berkutat dengan problematika kejahatan. Hal itu berasal dari bagaimana penganut agama memahami konsep ketuhanan. Menurut kepercayaan monoteisme, misalnya, Tuhan dipersepsi Maha Segalanya. Namun bila demikian, mengapa kejahatan masih ada? Tak mampukah Tuhan melenyapkannya?

Melihat kilas balik sejarah, sulit untuk menerima kenyataan bahwa terlampau banyak kejahatan kemanusiaan yang Tuhan biarkan. Genosida, kelaparan, inses, terorisme, pembunuhan massal, hingga perang yang membawa nama Tuhan sendiri. Jika Tuhan Maha Baik, kenapa kejahatan itu dibiarkan? Jika Tuhan Maha Kuasa, apa susahnya menciptakan kedamaian?

Paradoks Maha Segalanya memang menjadi senjata utama para kritikus terhadap Tuhan agama monoteisme. Pembelaan terhadap masalah ini umumnya melalui argumen kebebasan berkehendak. Bahwa Tuhan menjamin kebebasan bagi manusia untuk berkehendak dan bertindak sehingga Tuhan tidak perlu memaksakan kekuasaannya. Sebab bila terkungkung dalam kekangan, apa gunanya hidup? Tuhan bahkan tidak bakal mengizinkan manusia untuk memikirkan paradoks Maha Segalanya.

Nah, sebagai kompensasi dari hilangnya campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia, kebebasan berkehendak melahirkan sisi negatif yaitu kejahatan. Manusia bebas melakukan hal yang diinginkan termasuk menyakiti sesamanya. Sehingga kejahatan berkembang seiring kreativitas pelakunya. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana agama memberikan metode untuk menilai sesuatu jahat atau tidak.

Perang adalah kejahatan besar terhadap kemanusiaan. Tetapi tidak sedikit penganut agama yang mendukung invasi militer Rusia ke Ukraina dengan mengesampingkan korban jiwa di kedua belah pihak. Di penghujung Perang Dunia 2, tidak sedikit pula yang menilai bom atom di Hiroshima dan Nagasaki itu perlu. Terkadang kita sepakat terhadap apa itu kejahatan tetapi masih menyisakan bias terhadap tindakan kejahatan terhadap kelompok atau ras tertentu.

Doktrin yang diajarkan oleh teks-teks keagamaan ternyata tak cukup menjadi pijakan seseorang memandang suatu bentuk kejahatan. Tak jarang justru kita temui pemuka agama yang mempromosikan dan menghalalkan kejahatan dengan bersandar pada teks-teks suci. Sementara yang lain mencela tindakan tersebut menggunakan teks yang sama. Sehingga masalahnya bukan pada teks tetapi pada oknumnya.

Bila ditilik dengan seksama, kejahatan akibat pembacaan keliru terhadap teks-teks keagamaan hanya mungkin dilakukan oleh pengecut. Sebab ia secara sadar menggunakan keistimewaan kebebasan berkehendaknya tetapi menyandarkan akibatnya kepada Tuhan. Padahal Tuhan sendiri tidak pernah berkenan apalagi menyuruh perbuatan keji seperti itu.

Namun bukan cuma penganut agama yang terjebak dalam bias menilai wujud kejahatan. Ateis dan kaum sekuler pun tak terkecuali. Christopher Hitchens dalam obituarinya terhadap Osama bin Laden menyebutkan bahwa tokoh jihadis itu merupakan personifikasi paling nyata dari kejahatan. Ia pun sampai menyimpulkan bahwa Jihad Islamiah merupakan suatu bentuk kejahatan.

Menelusur Asal Kejahatan

Menilai kejahatan memang terkadang dilematik. Di satu sisi, semua pihak dapat sepakat bahwa perbuatan tertentu jelas merupakan kejahatan. Pemerkosaan anak, pembegalan, hingga pembantaian adalah sekian dari contohnya. Di sisi lain, kejahatan dapat pula dipersepsi secara subjektif. Pandangan setiap orang berbeda dan dapat bergantung pada ideologi, agama, budaya, hingga pengalaman hidup.

Umumnya, kejahatan dikenali saat melihat kejadian atau peristiwanya. Kita melihat kecurangan atau menyaksikan pencurian lalu melaporkannya ke pihak berwajib sebab menilai keduanya sebagai tindak kejahatan. Namun cara ini juga menjebak kita pada relativisme moral. Sebab pelaku boleh saja bersikeras membenarkan tindakannya sebagai sesuatu yang perlu.

Perang adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Namun apakah Putin merasa berbuat jahat dengan menyerang Ukraina? Atau pendahulunya Timur Lenk yang memenggal sekitar 90.000 penduduk saat penaklukan Baghdad di tahun 1401 Masehi? Saat ini Putin malah memanen sanjungan dari netizen Indonesia seperti Timur Lenk yang dianggap pahlawan oleh masyarakat Uzbekistan sampai membangun monumen untuknya di Tashkent.

Konsep relativisme moral benar-benar menguji putusan kita saat membaca sejarah. Bagi Al-Qaeda dan ISIS, Osama bin Laden adalah teladan tetapi bagi Amerika Serikat dan sekutunya justru menuduhnya sebagai teroris. Banyak tokoh sejarah yang menuai sanjungan tetapi bagi sejarawan yang dengan tekun meneliti kehidupan sang tokoh justru bersikap antipati terhadapnya.

Bagi saksi hidup yang menyaksikan peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984 apakah bisa menerima dengan lapang dada slogan Piye kabare, isih penak jamanku to? dengan foto Bapak Soeharto sebagai latarnya? Sekarang pun jelas pihak keluarga korban dan Polri berbeda pandangan soal peristiwa KM 50 apakah sebuah kejahatan atau suatu tindakan yang perlu. Belum lagi penimbun stok minyak goreng hingga pejabat publik yang menikmati privilese kebal hukum.

Perdebatan tentang menilai suatu tindakan itu jahat atau tidak, jika merujuk ke pandangan masing-masing individu, tidak akan berujung pada satu titik konsensus. Kejahatan perlu ditilik dari latar belakang atau setidaknya alasan mengapa seseorang menjadi atau bertindak jahat. Menilai tindak kejahatan membutuhkan penjelasan runut dan berterima. Jika tidak, menuduh Putin jahat tanpa mengurai alasannya hanya akan semakin mengaburkan konsepsi kejahatan yang kita anut.

Tristen Taylor dari Stellenbosch University menawarkan dua sudut pandang mengenai penjabaran konsep kejahatan. Yang pertama, sudut pandang filosofis, merujuk pada dialog Platon berjudul Crito yang menggali konsepsi Sokrates mengenai kejahatan. Menurut gurunya itu, tak satu pun orang yang melakukan kejahatan secara sadar ataupun secara rasional. Sebab jika bisa mengenal perbuatan baik, contohnya menanggung pangan orang miskin, kita tidak mungkin melakukan hal sebaliknya yaitu secara sengaja membiarkan orang miskin kelaparan.

Mereka yang mampu menahan diri dari berbuat jahat itu disebabkan mereka mampu membedakan antara yang baik dari yang jahat. Bagi Sokrates, pelaku kejahatan bertindak atas dasar ketidaktahuan atau setidaknya memiliki sudut pandang keliru yang meneguhkan hatinya bahwa ia sedang berbuat baik. Meski yang terjadi adalah sebaliknya. Simpulan dari dialog Crito yang disuguhkan Platon adalah bahwa kejahatan lahir dari ketidaktahuan atau kebodohan.

Sokrates seakan mengajak kita merenungkan pertanyaan berikut. Jika Hitler tumbuh besar di komunitas Yahudi atau setidaknya pernah berbagi makanan dengan sahabat karib yang merupakan orang Yahudi, apakah mungkin ia tega melakukan genosida terhadap komunitas/sahabat karib Yahudinya itu? Jika pun iya, tentu ada kesalahpahaman serius yang membuatnya tidak melihat satu aspek sehingga membuatnya buta terhadap keputusan yang dibuatnya.

Meski demikian, hal ini tidaklah semudah kedengarannya. Sebab filsuf kenamaan pun pernah terjebak dalam dilema putusannya. Adalah Martin Heidegger, filsuf Jerman yang mempromosikan Führerprinzip, dengan mengatakan bahwa Fuhrer adalah Jerman itu sendiri. Sehingga Fuhrer berada di atas hukum dan menaatinya adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Mengikuti titah Fuhrer, apapun konsekuensinya, harus dimaknai sebagai sesuatu yang baik.

Sekarang, apakah kita juga akan terpancing menuduh Heidegger jahat karena mendukung seorang fasis? Ingat bahwa saat itu Jerman berhasil bangkit dari keterpurukan akibat kekalahan di perang dunia pertama. Melalui Mein Kampf, Hitler memacu restorasi dengan menyulut nasionalisme radikal yang mengedepankan nama baik bangsa ketimbang ego individu. Bahkan di pengadilan atas kejahatan perangnya pada 1945-46, Hermann Göring masih kukuh pada doktrin Führerprinzip.

Baca Juga: Dalang Kejahatan

Hari ini tidak banyak berubah. Banyak kejahatan yang diwajarkan karena kekolotan yang disemai oleh budaya. Pemerkosaan, contohnya, masih diuntungkan oleh patriarkat. Tak peduli sebejat apapun pelakunya, yang disorot selalu perempuan.

Pernah dengan kasus seorang gadis yang diperkosa oleh enam pemuda lalu ditinggalkan begitu saja? Dan setelah berupaya dengan tubuh berbalut luka mencapai rumah malah diusir dengan alasan mempermalukan nama keluarga? Bahkan orang yang menampungnya, seorang pemuka masyarakat, masih saja sempat mencuri kesempatan untuk memperkosa korban. Tak berhenti sampai di situ, untuk menormalisasi kejadian itu, sang korban akhirnya dinikahkan ke pemerkosanya yang notabene seorang tua renta.

Ya, saya pun seperti anda, ingin rasanya menemui Sokrates dan menanyainya, apakah pemerkosa itu menikmati kejahatannya hanya karena kesalahan pola pikir? Atau karena kebodohannya? Apakah kejahatan cuma terjadi karena kekeliruan penalaran terhadap masalah-masalah moral? Saya tidak perlu menyebutkan kasus lain, silakan pembaca membuat daftar sendiri. Yang saya tahu, oknum Bupati tidak mungkin mengerangkeng budak di era 4.0 hanya karena ketidaktahuannya terhadap problematika moral.

Penjelasan Neuropsikologis

Ingat bagaimana misi khilafah pertama kali didengungkan? Pembaca Al Qur'an tahu betul akan hal ini. Al Baqarah ayat 30 jelas menyebutkan bahwa manusia akan memimpin penghuni bumi membangun peradaban semesta. Sebuah grand plan yang membuat para Malaikat pesimis. Bagaimana mungkin ras perusak dan pembantai mewujudkan misi itu?

Namun peradaban tetap datang silih berganti dengan pencapaiannya masing-masing. Homo Sapiens pun, dengan kerjasama baik, malah mampu mengatasi virus polio. Bumi pun tidak akan mengalami keseimbangan ekosistem jika manusia tidak turut campur tangan. Tapi tetap saja soalan kejahatan ini menjadi semakin pelik. Dalam perkembangan taraf kesejahteraan hidup, kejahatan terkadang dipersepsi sebagai bagian penting yang tidak dapat dihindari.

Korupsi yang menjadi pelumas perputaran ekonomi, bom atom yang mengakhiri perang dunia, hingga tumbal lab untuk kemajuan sains, sejatinya seluruh perangkat dan institusi yang pernah diciptakan manusia dilandasi necessary evil.

Namun tiap necessary evil ini punya nilai tawar. Uang sebagai akar semua masalah punya nilai praktis yang efisien. Demikian pula negara sebagai mimpi buruk bagi kebebasan individu justru merupakan elemen penting dalam bangunan konsep identitas individu.

Kejahatan selalu membayangi kebaikan, demikianlah hidup terus membangun optimisme. Namun kejahatan yang murni dan destruktif memang menjadi musuh kemanusiaan. 

Apa nilai tawar dari pemerkosaan anak? Apa pelajaran yang terinspirasi dari mutilasi? Peradaban seperti apa yang ditawarkan terorisme? Tindakan kejahatan tertentu terjadi bukan semata karena kekeliruan penalaran. Boleh saja muncul akibat korsleting di unit pusat penalaran itu sendiri: otak.

Henri van Breda yang membantai keluarganya sendiri merupakan fenomena sakit jiwa atau kondisi kejiwaan akibat konsumsi obat-obatan. Para ahli saraf percaya bahwa kejahatan dapat diakibatkan oleh kondisi kejiwaan atau kerusakan di bagian otak tertentu. Kondisi otak abnormal tentu akan menghasilkan pikiran yang tak normal pula. 

Masalahnya, penjelasan materialistik yang merujuk kondisi fisik sebagai pemicu sifat jahat juga kurang memuaskan. Tidak semua pelaku kejahatan menderita kelainan mental atau kerusakan pada bagian otak. Sebaliknya pula, statitistik menunjukkan bahwa penderita sakit jiwa masih kalah dari orang sehat dalam hal jumlah tindak kejahatan. 

Ketika menjalani sidang di Israel pada tahun 1961 akibat kejahatan perang, Adolf Eichmann sama sekali tidak menunjukkan raut penyesalan di wajahnya. Bahkan filsuf Hannah Arendt menerangkan bahwa yang bersangkutan dalam kondisi waras dan tidak menunjukkan gejala kelainan jiwa. Artinya, kejahatan yang dia lakukan selama masa perang ditujukan untuk mencari kesenangan atau kepuasan batin.

Di sisi lain, sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak melulu kelainan mental memicu tindak kejahatan. Banyak penderita kelainan jiwa yang justru terobsesi berkontribusi untuk komunitas dan masyarakatnya. Demikian pula, kecanduan narkotika tidak selalu membuat seseorang menjadi pembunuh berantai atau setidaknya psikopat. Sehingga unit pusat penalaran atau otak bukanlah kandidat tunggal pemicu tindak kejahatan.

Selain itu, kondisi kejiwaan tidak serta merta membuat kita memahami bentuk kejahatan dengan sempurna. Sebab kejahatan masih bisa dinilai secara subjektif atau kontekstual. 

Sebagai contoh, pesta orgi atau pendekatan seksual ke remaja putra yang hari ini dianggap sebagai kejahatan moral serius. Padahal, pesta orgi pernah menjadi hal wajar pada karnaval saturnalia Romawi Kuno dan pendekatan seksual terhadap remaja putra bukan hal tabu di zaman Yunani Kuno.

Simpulannya, ada kontribusi variabel kohesi sosial. Bahwa jika masyarakat sepakat atas perilaku tertentu dan diadopsi sebagai bagian dari budaya, hal itu boleh jadi tidak dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan. 

Perundungan (bullying) pun merupakan tindakan kejahatan serius. Tetapi kelompok sosial tertentu, netizen Indonesia misalnya, menganggap hal itu sebagai hal yang biasa saja. Sehingga di medsos manapun, mereka masih bebas merundung tanpa merasa bersalah.

Respon terhadap tindak kejahatan yang secara subjektif kita pahami, bahkan menurut A.J. Ayer tidak lebih dari fenomena emotivisme. Konsep yang dicetuskan filsuf Adolf Eichmann ini mendikte bahwa respon yang kita tunjukkan pada tayangan atau postingan medsos yang menurut kita adalah tindak kejahatan tidak lebih dari ekspresi emosional. Peliknya lagi, hal ini bisa dipersepsi secara kolektif. Bagi masyarakat Indonesia, kumpul kebo adalah penyakit sosial dan pelakunya divonis penjahat moral yang pantas dipersekusi tetapi bagi masyarakat Eropa hal itu adalah hal wajar.

Bagi Sigmund Freud yang beranjak dewasa dengan menyaksikan perang, ia berkesimpulan bahwa sudah menjadi bagian dari tabiat manusia untuk melazimkan nihilisme, sadisme, masokisme, kekerasan, sikap agresif, hingga membinasakan diri sendiri. Freud mengistilahkannya dengan Thanatos, terinspirasi dari dewa kematian Yunani Kuno, yaitu kehendak terhadap mengatasi hidup dengan menuntun nilai-nilai kemanusiaan kepada kehancuran total.

Hiburan, liburan, dan seni memang sejenak mampu mengalihkan kita dari hiruk pikuk dunia yang semakin hari makin sulit kita mengerti. Sejalan dengan itu, kita tanpa sadar juga turut menikmati kehancuran lingkungan akibat sikap acuh tak acuh kita sendiri. 

Kita menjelajah hutan, terumbu karang, hingga padang Savannah mengangumi keagungan Pencipta melalui ciptaanNYA tetapi pada saat bersamaan kita meninggalkan sampah dan emisi karbon yang lambat tapi pasti menghancurkan keindahan yang kita kagumi itu.

Kita tidak benar-benar peduli akan sikap dan perilaku kita sendiri. Kita memupuk ketakutan akan kiamat, akhir kehidupan yang menandai kehancuran dunia. Namun justru sibuk turut mempercepat kehancuran dunia sebelum waktunya. Melalui Faust, gubahan JW von Goethe menyinggung kita cibiran kita terhadap segala bentuk kejahatan tetapi menanggapinya dengan bentuk kejahatan lainnya. Seakan Goethe ingin berkata bahwa kita semua pada dasarnya jahat, hanya berbeda sudut pandang saja.

Sayangnya, kita terlampau mengandalkan Tuhan untuk memberi petunjuk mengatasi kejahatan yang kita ciptakan sendiri. Sikap yang justru membuat kita mengabaikan sisi mendasar dari kemanusiaan. Secara kolektif, manusia cenderung melazimkan genosida. Secara individual, setiap manusia berpotensi berlaku jahat terhadap sesamanya.

Kejahatan, sebagaimana kebaikan, tak lebih dari sekadar konsep. Namun dampaknya begitu menyeramkan. Ia adalah sisi gelap yang mestinya kita akui keberadaannya dan tidak bermasa bodoh mengingkarinya. Setidaknya kita jujur pada diri sendiri saat melakukan kejahatan dengan mengenalinya dan tidak mengalihkan tanggungjawab kecuali kepada diri sendiri.