Kadang, untuk melihat suatu percikan kebenaran, seseorang diharuskan untuk melihat masa lalu atau sejarah dan mencicipi buah-buah kesalahan yang pernah ada. Tanpa melihat, mereka terkadang masa kini menjadi buram dan masa depan menjadi gelap gulita.
Delapan tahun yang lalu, ketika mendapat sebuah ide untuk menulis suatu novel. Seingat saya saat itu kira-kira baru ada 10 novel fiksi yang pernah saya baca, selainnya buku-buku mata pelajaran semasa sekolah yang isinya saya pahami hanya sebatas ujian akhir semester saja. Selepasnya? Biasanya memudar dan terlupakan.
Saya gak punya pengalaman terkait tulis-menulis. Sebab itu, saat ingin memulainya, saya bingung harus bagaimana. Makanya, ketika jalan pikiran saya kurang lebih 100 persen sebab-akibat ialah di tangan Yang Maha Kuasa, saya pun berdoa secara rutin berharap ada salah satu orang dari suatu penerbit memimpikan seseorang yang punya karya yang akan mendunia, yakni saya.
Alhasil saya dibuat kecewa karena doa itu ditolak mentah-mentah oleh diri-Nya, padahal saya selalu berdoa dengan jerit tangis dan kepasrahan.
Dalam sebuah buku yang ditulis Tara Westover berjudul Educated, ada salah satu quote Tara di bagian pertama bukunya yang bikin saya terkesan. Karena kata-katanya jelas mewakilkan perasaan saya waktu itu dan kadang-kadang di masa kini.
Kurang lebih begini dalam bahasa Indonesia, “Memori terkuat yang saya ingat justru bukanlah memori, melainkan suatu hal yang saya bayangkan, kemudian teringat seolah-olah itu pernah terjadi.”
Secara bahasa, memori sendiri mewakilkan peristiwa yang sudah pernah terjadi dan secara nyata ya, bukan hanya imajinasi. Dan terkait konflik saya sebelumnya, saya punya memori ketika saya membayangkan ‘seseorang’ dari penerbit ini menyambangi pagar rumah saya yang berwarna hijau, lalu saya menengok dari jendela kamar saya yang percis menghadap ke arah tersebut.
Ya, itu itu cuma imajinasi saya yang menjadi memori terkuat saya hingga saat ini. Hingga pada akhirnya saya sadar itu hanya imajinasi yang terlihat nyata dalam pikiran, tapi secara fisik tidak akan pernah saya genggam.
Dari sanalah saya mulai kecewa dengan imajinasi saya sendiri, hingga suatu hari, saya ingat betul kejadian itu sehabis salat magrib. Saya mencari buku tulis sekolah yang gak terpakai dan sebuah pulpen. Mulailah saya menulis.
Enam bulan kemudian, saya selesai pada akhir cerita novel yang saya tulis, dan rasanya Woah.
Kalau mengingat peristiwa tersebut, saya jadi rindu diri saya yang berani meluncur dalam proses suatu ‘kesuksesan’, tanda kutip arti kesuksesan tersebut dalam konteks mengawali menulis dan menyelesaikan. Ya, saya sukses untuk menyelesaikannya.
Tapi, untuk mendapatkan ‘kesuksesan’ karya yang mendunia, sepertinya saya butuh menjalani proses lagi untuk mendapatkannya. Dan proses itu belum saya mulai.
Dan jika melihat keinginan tersebut dalam kacamata saya di hari ini, tampaknya ‘mendunia’ hal yang konyol mengingat sebuah tulisan bisa mendunia, didukung dari beberapa faktor, terutama persoalan nikmat dari pembacanya. Bagaimana saya dapat meyakinkan banyak pembaca bahwa buku saya memiliki cerita yang menarik?
Tapi pertanyaan yang paling penting ialah, apakah cerita di dalam buku yang saya tulis merupakan jenis buku yang disukai kebanyakan orang?
Kesuksesan menjadi salah satu topik yang mulai menjadi sebuah konflik hidup dalam menginjaki tahap “Quarter-life”. Salah satu pertanyaan yang selalu buat saya merinding ialah “apa yang ingin kamu lihat dari diri kamu di 5 atau 10 tahun lagi?”. Pertanyaan itu juga sempat ditanyakan oleh salah satu dosen filsafat politik di saat sedang makan siang di kantin. Uh, bukan main merindingnya.
Pertanyaan dan kegelisahan akan, “Bagaimana kalau kesuksesan tidak pernah saya raih? Apakah pada akhirnya saya akan mengecewakan orang tua dan orang-orang dekat saya? Apa pada akhirnya saya akan menjadi individu yang tidak berguna? Kecemasan yang menurut saya masih dalam keadaan manusiawi.
Tapi kecemasan yang datang dari pikiran dalam ruang kebebasan saya sebagai manusia tak lain suatu kesadaran-kesadaran yang muncul sebagai alarm atau pengingat jiwa saya yang terkoneksi dengan penggambaran kehidupan yang ingin dicapai di masa mendatang.
Dan mengingat kecemasan hal yang manusiawi, maka usaha mencapai hal di balik apa yang membuat cemas tersebut juga suatu hal rasional nan manusiawi yang harus dilakukan.
Kesuksesan secara etimologi sendiri dimulai dari penggunaan bahasa Latin sebagai akar dari bahasa Indo-European kebanyakan, yakni morfologi dari kata “sub” yang berarti next to, after, dan kata “cedere” yang berarti go, move.
Kemudian menjadi kata “succedere” (verb). Dan menjadi kata “success” yang digunakan sekitar awal abad ke-15 an untuk mewakilkan peristiwa “what comes next” dari hasil yang sudah dicapai.
Melihat pengertian kata secara etimologi atau makna dasar kata itu sesungguhnya saya nilai cukup penting untuk menilai pengertian kata itu secara emosional. Mengingat terkadang banyak diksi yang makna emosionalnya berubah dari makna etimologi akarnya karena konteks tertentu.
Misalnya, penggunaan kata radikal yang dilihat secara etimologi berasal dari bahasa Late Latin “radicalis” yang berarti “of or having roots”, kemudian dari bahasa Latin “radix” yang berarti “root” atau akar. Kata ini selanjutnya digunakan dalam kebanyakan aspek politik, sebut saja penggunaan radikalisme di awal abad ke-18 di Britania Raya yang merujuk pada gerakan radikal yang mendukung gerakan reformasi parlemen.
Kemudian, berbicara tentang paham radikalisasi yang sering dikaitkan dengan tindakan kekerasan atau terorisme. Tapi, tentunya pemahaman ini pun akan menjadi ironi sebab “radikal” yang jika dikontektstualisasikan ke aspek agama berarti “akar” atau dasar-dasar bukankah seharusnya mengarah kepada tindakan “baik” ajaran-ajaran agama itu sendiri?
Tapi perilaku mereka justru memorak-porandakan sebuah “paham radikal” yang justru membawa dampak negatif bagi orang-orang yang menganut ajaran agama yang sama tersebut. Sebab tidak semua orang dengan paham “agama radikal” akan mengarah kepada terorisme, dan tidak semua terorisme juga melakukan tindakannya atas nama paham radikal agama tersebut.
Yang jelas kata radikalisme harus dikerucutkan maknanya secara jelas agar nantinya tidak salah sasaran kepada kelompok dengan paham “radikal” atau bahkan justru labelisasi terhadap agama tertentu baik dalam ranah moral-sosal dan hukum.
Nah, balik lagi ke kata sukses yang sebelumnya sudah sedikit dipaparkan secara etimologi.
Kesuksesan yang saya lihat maknanya secara emosional jelas sudah tidak terkait dengan pengertiannya secara etimologi. Kesuksesan di era modernisasi sekarang lebih diartikan dengan beragam cita-cita mengenai financial freedom, strata pendidikan, pernikahan, perusahaan, dan lainnya yang mungkin terlintas dipikiran Anda tentang kesuksesan itu sendiri.
(Tanpa berusaha untuk memunculkan generalisasi dalam penjelasan yang saya tulis) Di zaman teknologi di mana hal serba cepat tersebut tersedia, baik dalam ranah komunikasi sampai aspek industrial bisnis seperti pengiriman paket, makanan.
Tak banyak beberapa orang bisa memberikan keluhan akan kecepatan jika tidak memenuhi aspek yang dijanjikan. Bahkan terkadang kita bisa mengeluhkan internet atau Wi-Fi yang super lambat dikala kita sudah terlanjur membeli makanan atau minuman di suatu café atau restaurant ke pihak manajemen.
Begitu pentingnya aspek kecepatan dalam aspek kehidupan di era modern sekarang yang seketika terhambatnya aspek kecepatan tersebut rupa lalu-lintas pekerjaan kita juga akan terganggu. Sasaran menjadi tidak semaksimal dari yang sudah diekspetasikan secara strategis.
Tapi, ironi era modern tersebut nyatanya tidak bisa mengajak kesuksesan masuk ke dalamnya. Kesuksesan tidak bisa dikeluhkan jika tidak diraih sebagaimana yang diinginkan layaknya kita mengeluhkan Wi-Fi lemot di café yang sering kita kunjungi ketika terlanjur membeli IDR 100 makanan dan minuman disana.
Kepada siapa kita ingin mengeluh dan bersumpah serapah kepada ketidaksempurnaan pencapaian kesuksesan yang kita inginkan? Seseorang yang tidak menghargai kita di dalam proses pencapaian kesuksesan kita? Seseorang yang menolak hasil proses kita? Kepada Dia yang disana yang menjawap keluhan kita dengan memasukan aspek waktu di dalamnya?
Seperti halnya pemahaman radikalisme yang harus dikerucutkan agar tidak mengalamani generalisasi dalam realisasi pemahamannya, kesuksesan pun harus diusahakan pemaknaannya agar dikerucutkan menjadi hal yang paling diinginkan dalam kehidupan seorang manusia dalam rentang eksistensinya agar kesuksesan itu jelas untuk dijalani prosesnya akan seperti apa.
Lucu bahwa dalam eksistensinya, diri manusia yang sering menjadi hambatan bagi kesuksesan itu sendiri. We are human dealing with something we want but something undesirable through the process about what we want.
Kesuksesan tidak menjadi sukses tanpa proses yang menopang kemegahan sukses yang kita dapatkan. Kepedihan, depresi, kegagalan, harga diri, tangis, mereka yang nyatanya membuat sukses begitu takjub untuk diceritakan bagi orang yang masih dalam proses menggapai kesuksesannya.
Coba cari “How successful people define success” dan sebuah ironi ketika jawaban rata-rata mereka bukan sekedar financial freedom, kekayaan, tapi justru sebuah kebahagiaan, kebijaksaan, dan menggapai passion dalam rasa antusias yang stabil walaupun “kegagalan” merundung proses kesuksesan kita.
Melihat definisi kesuksesan dari orang-orang yang sukses menjadi sebuah paradoks bagi banyak orang yang justru menginginkan hal-hal material menjadi kesuksesannya. Hal tersebut tentu wajar, tapi pertanyaan yang akan muncul ialah “Bagaimana Anda bisa mendapatkan kesuksesan tersebut ?”
Karena mengingat orang-orang tersebut mendapatkan ‘kekayaan’ melalui ciptaan atau karya yang mereka ciptakan sebagai alat kesuksesan. Misalnya, Gates, Jobs, Musk, Zuckerberg, Bezos, ada patutnya sebelum melihat jumlah kekayaan mereka menjadi suatu kewajiban untuk mendengar cerita kesuksesan mereka.
Nyatanya kesuksesan bukan diskusi mengenai apa yang dicita-citakan itu sendiri. Satu hal yang mungkin bisa memberikan kita sedikit cahaya akan kesuksesan itu sendiri ialah mengenai persoalan “berkelanjutan” dalam capaian kesuksesan itu sendiri.
Makna “after”, “go”, “move” menjadi pengertian fondasi dari kesuksesan itu sendiri secara etimologi yang bukan tanpa alasan kosong. Makna tersebut seperti mengingatkan proses kesuksesan yang harus selalu dijalani dengan memulainya dan membentuknya secara berkala.
Kesuksesan tak lain bagi saya pribadi sebuah proses menciptakan eksistensi diri. Kesuksesan tak bisa berjalan ke arah di mana kita berduduk sekarang, melainkan kita yang harus sedikit berjalan dan banyak berlari ke arahnya. Dan anehnya secara inheren jalan manusia dalam eksistensinya dihadapi oleh hal yang menantang dirinya sendiri, tapi dalam kapasitas tersebut manusia secara inheren juga diberikan akal untuk mencari pintu keluar.
Hal menarik dari pintu keluar ini ialah manusia selalu diberikan catatan akan proses sebelumnya agar di tantangan setelahnya manusia tidak mengulang kesalahan yang sama.